Pertanyaan di atas diajukan oleh seorang ibu pada saat saya memberikan ceramah tentang keluarga. Menurut dia, ketundukan istri kepada suami tidak perlu diperintahkan, karena seyogyanya didasarkan pada cinta dan saling membutuhkan. Karena istri mencintai dan butuh suaminya, maka ia secara alamiah akan tunduk kepada suaminya.
Ada poin positif dalam pernyataan si ibu. Ketundukan istri kepada suami bukan lahir dari sebuah paksaan. Istri dengan sukarela menghormati dan menaati suami. Walaupun demikian, secara keseluruhan pandangan ini tidak tepat.
Pertama, Alkitab menyatakan dengan jelas bahwa dosa telah merusak relasi suami-istri. Sebagai hukuman terhadap Hawa, Allah mengatakan: “engkau akan berahi kepada suami, dan suami akan berkuasa atasmu” (Kej 3:16). Kata ‘berahi’ di sini dalam teks Ibrani secara hurufiah berarti ‘mengingini’, tetapi apa yang diinginkan tergantung pada konteks. Berdasarkan paralel dengan ‘suamimu akan berkuasa atasmu’, kita sebaiknya memahami bahwa yang diinginkan adalah kekuasaan. Kata Ibrani yang sama juga muncul di Kejadian 4:7 tatkala Allah memperingatkan Kain untuk berhati-hati karena dosa ingin menguasai dia, dan TUHAN memperingatkan dia untuk menguasai dosa. Dari penjelasan Alkitabiah ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa ketundukan yang benar dari istri kepada suami tidak mungkin muncul secara alamiah.
Kedua, motivasi ketundukan istri dalam pandangan si ibu tadi tidak tepat. Jikalau dasar ketundukan adalah cinta dan kebutuhan, maka ketundukan secara permanen akan sulit dicapai. Cinta pasangan suami-istri dapat menjadi dingin dan pudar. Suami juga belum tentu dapat terus-menerus memenuhi kebutuhan istri. Selain dasar ketundukan ini bersifat tidak pasti dan sementara, ketundukan semacam ini bersifat manipulatif. Artinya, kita hanya tunduk untuk kepentingan kita. Kita ingin mendapatkan sesuatu dari orang lain melalui ketundukan kita. Ini jelas bukan motivasi yang Kristiani.
Ketiga, Alkitab mengajarkan dasar ketundukan yang teosentris. Efesus 5:22-24 mencatat tiga keterangan tentang ketundukan istri Kristen: (1) seperti kepada Tuhan; (2) karena suami adalah kepala istri; (3) seperti jemaat tunduk kepada Kristus. Penjelasan inilah yang membedakan ketundukan istri-istri Kristen dari istri-istri lain yang bukan Kristen. Secara budaya waktu itu (dan juga sebagian budaya sekarang), ketundukan istri seringkali hanyalah tuntutan sosial (kebiasaan, adat istiadat, atau norma masyarakat). Bagi para perempuan Kristen, ketundukan sangat berkaitan dengan Allah. Ketundukan adalah devosi kita kepada Kristus (‘seperti kepada Tuhan’). Ketundukan bersumber dari pengaturan ilahi waktu penciptaan laki-laki dan perempuan (‘karena suami adalah kepala istri’). Ketundukan merefleksikan relasi Kristus dan jemaat (‘sama seperti jemaat tunduk kepada Kristus’). Mengingat dasar ketundukan yang benar bersifat teosentris, ketundukan perlu diperintahkan. Manusia berdosa tidak mungkin tunduk secara alamiah, apalagi dengan dasar yang benar.