Apakah Ketidaksetiaan Bangsa Israel Meniadakan Kesetiaan Allah?

Posted on 25/03/2018 | In QnA | Leave a comment

Sekilas pertanyaan ini tidak terlalu sukar untuk dijawab. Alkitab berkali-kali menandaskan bahwa Allah adalah setia. Mazmur 146:6 berkata: “Dia yang menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya; yang tetap setia untuk selama-lamanya”. Bahkan di tengah ketidaksetiaan kita pun ada sebuah kebenaran teologis yang manis: “Jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya” (2Tim. 2:13).

Jika diteliti lebih mendalam, pertanyaan di atas tetap layak untuk diajukan. Tidak semudah yang dibayangkan. Sebagai contoh, seandainya bangsa Israel adalah umat perjanjian, mengapa hampir semua generasi pertama yang keluar dari Mesir tidak berhasil memasuki tanah perjanjian? Mengapa sebagian dari mereka mati sebagai hukuman Allah atas perbuatan-perbuatan mereka? Bukan seandainya Allah itu setia, Dia akan tetap membawa semuanya ke tanah perjanjian?

Isu ini juga dapat ditemukan dalam Perjanjian Baru. Paulus sempat menggumulkan ketidaktaatan bangsa Yahudi terhadap Injil (Rm. 10:1-3). Bahkan dia sangat tertekan dengan keadaan ini (Rm. 9:1-5). Dia mengemukakan sebuah pertanyaan: “Jadi bagaimana, jika di antara mereka ada yang tidak setia, dapatkah ketidaksetiaan itu membatalkan kesetiaan Allah?” (Rm. 3:3). Tiga pasal dia habiskan untuk menerangkan posisi bangsa Israel dalam rencana keselamatan Allah (Roma 9-11).

Mengupas semua uraian Paulus di tiga pasal ini jelas tidak mungkin dilakukan di artikel ini. Bagaimanapun, hal ini tidak seharusnya menghalangi kita untuk mencoba memberikan jawaban yang memadai bagi pertanyaan di atas. Ada beberapa petunjuk dalam tulisan Paulus yang dapat mencerahkan persoalan ini.

Pertama, murka Allah atas bangsa Israel justru merupakan bukti kesetiaan-Nya. Dalam Roma 3:4-5 Paulus mengajarkan bahwa penghukuman ilahi justru menunjukkan kebenaran Allah. Bagaimana bisa?

Kita perlu mengingat bahwa perjanjian melibatkan tanggung-jawab dan hak dari masing-masing pihak. Setiap pihak harus memegang dan menaati perjanjian, termasuk konsekuensi di dalamnya. Salah satu prinsip yang termaktub dalam sebuah perjanjian adalah “taat = berkat, tidak taat = kutuk” (Ul. 11:26-32; 30:1-20). Hukuman Allah atas ketidaktaatan bangsa Israel justru membuktikan kesetiaan-Nya kepada perjanjian-Nya. Jika Dia menutup mata terhadap pelanggaran, Dia bersalah terhadap perjanjian itu.

Hal lain yang perlu digarisbawahi adalah keberadaan perjanjian itu. Allah tidak pernah membatalkan perjanjian. Tidak peduli seburuk apapun bangsa Israel, Dia tetap tidak menghilangkan perjanjian. Hanya saja, tidak semua orang Israel pada akhirnya menikmati hasil positif dari perjanjian itu.

Kedua, yang dimaksud dengan “Israel” memang tidak secara biologis maupun etnis. Kebenaran ini diutarakan dengan sangat jelas oleh Paulus di Roma 9:6-15. Tidak semua keturunan keturunan Abraham disebut Israel. Ismael bukan umat pilihan. Demikian pula tidak semua keturunan Ishak disebut Israel. Esau bukan umat perjanjian. Umat perjanjian ya umat perjanjian. Bukan ditentukan pada faktor biologis atau etnis.

Berdasarkan kebenaran ini kita sebaiknya tidak menganggap kegagalan dan kebinasaan sebagian bangsa Yahudi untuk mempercayai Kristus merupakan bukti kegagalan Allah dalam memegang perjanjian-Nya. Bukankah hampir semua orang Kristen pada generasi awal adalah orang-orang Yahudi? Bukankah Allah telah berkenan memakai mereka untuk memberkati semua bangsa seperti yang Dia sudah janjikan sebelumnya kepada Abraham (Kej. 12:1-3)? Bukankah keturunan Abraham secara rohani (berdasarkan pilihan dan iman, Rom. 4) sudah menjadi seperti bintang di langit dan pasir di laut?

Tuhan tidak pernah gagal menepati janji-Nya. Dia tidak pernah lalai memegang perjanjian-Nya. Ketidaktaatan dan ketidaksetiaan umat Allah tidak pernah mengalahkan dan membatalkan kesetiaan Allah. Soli Deo Gloria. 

Yakub Tri Handoko