Beberapa kali saya berjumpa dengan orang-orang Kristen tertentu yang belum berani atau tidak mau mengikatkan diri pada sebuah gereja lokal. Alasan yang mereka berikan sangat beragam. Ada yang bersifat teologis, ada pula yang lebih praktis.
Beberapa orang menganut konsep teologis yang rancu dan keliru. Mereka menganggap bahwa keanggotaan dalam gereja universal – di mana Kristus sebagai Kepala Gereja – adalah lebih tinggi daripada keanggotaan dalam gereja lokal. Dengan konsep berpikir semacam ini, ketidakadaan keanggotaan dalam gereja lokal dipandang sebagai tanda kerohanian. Mereka bahkan melihat denominasi (aliran-aliran gereja lokal) sebagai demonisasi (upaya setan). “Gereja seharusnya tanpa tembok,” begitu slogan mereka.
Kesalahan teologis yang lain adalah penekanan berlebihan pada firman Tuhan, tanpa disertai pemahaman yang benar. Sebagian orang Kristen sangat menggemari khotbah-khotbah yang berbobot. Hal ini patut diapresiasi. Persoalannya, mereka juga meyakini bahwa pertumbuhan rohani hanya ditentukan oleh khotbah-khotbah tersebut. Dengan konsep semacam ini, mereka asyik berkeliling ke berbagai gereja untuk mencari “makanan-makanan bergizi” tanpa mau mengikatkan diri dengan sebuah gereja lokal. Sebagian bahkan tidak mau ke gedung gereja sama sekali. Mereka hanya mengandalkan khotbah-khotbah yang dapat diakses melalui TV dan internet.
Faktor-faktor praktis juga seringkali menumbuhkan keengganan dalam diri sebagian orang untuk menggabungkan diri dengan gereja lokal. Yang paling umum adalah pengalaman traumatik di gereja lokal sebelumnya, entah itu berbentuk konflik atau kekecewaan terhadap praktek gereja atau sikap para pemimpinnya. Kekecewaan semacam ini memang menyakitkan. Mereka mungkin sudah mengorbankan segalanya demi gereja itu. Mereka mungkin sudah berupaya keras selama bertahun-tahun untuk masuk dan diterima di gereja itu. Mereka mungkin sudah menikmati kedekatan dan suasana yang ada. Tatkala mereka dikecewakan, tidak mudah mengabaikan maupun menyembuhkan perasaan tersebut. Tidak mengikatkan diri pada sebuah gereja lokal dianggap sebagai jalan teraman untuk menghindari perasaan traumatik itu bertumbuh kembali.
Faktor praktis lainnya adalah keterikatan emosional dengan gereja sebelumnya. Hal ini banyak dialami oleh mereka yang memiliki pengalaman sangat positif dengan gereja asal atau dengan hamba Tuhan yang melayani di gereja itu. Secara khusus situasi ini sering terjadi pada mereka yang sekarang tinggal di kota besar tetapi dahulu berasal dari gereja kecil di kampung halaman mereka. Meminta surat atestasi (surat permohonan untuk keluar dari suatu gereja dan bergabung dengan gereja lain) merupakan langkah yang begitu berat. Mereka kuatir hal itu mengecewakan hamba Tuhan di gereja asal. Mereka kuatir surat atestasi dianggap sebagai tanda perpisahan secara permanen. Tidak heran mereka tetap mempertahankan keanggotaan di gereja asal, walaupun mereka sudah bertahun-tahun tidak beribadah di sana.
Masih berkaitan dengan poin di atas, mereka yang sedang kuliah atau baru meniti karir di kota biasanya enggan untuk berpindah keanggotaan. Mereka belum memutuskan apakah akan tetap tinggal di kota atau kembali di daerah asal mereka. Dalam masa ketidakpastian dan penantian semacam ini, sebagian besar cenderung memilih untuk tidak berpindah keanggotaan gereja.
Apakah pertimbangan-pertimbangan di atas dapat dibenarkan? Tentu saja tidak. Keanggotaan dalam sebuah gereja lokal bukan hanya sesuai dengan ajaran Alkitab, tetapi juga memberikan banyak manfaat bagi pertumbuhan rohani kita. Sebaliknya, pola ibadah “GKKS” (Gereja Keliling-Keliling Surabaya) dan nostalgia dengan gereja asal kurang kondusif dan konstruktif untuk kerohanian.
Gereja mula-mula beribadah bersama-sama secara rutin (Kis 2:41-47). Walaupun tidak ada isu tentang keanggotaan di sini, tetapi apa yang mereka lakukan di sini – bertekun dalam pengajaran para rasul, bersekutu dengan sehati, dan berbagi harta milik – mencerminkan apa yang seharusnya ada di dalam sebuah gereja lokal. Sulit membayangkan suasana seperti ini bisa tercipta apabila sebuah gereja lokal hanya diisi oleh para simpatisan dan tamu. Bukankah ketekunan berarti kehadiran yang rutin? Bukankah kesehatian menuntut kedekatan? Bukankah berbagi harta membutuhkan simpati terhadap kebutuhan orang lain?
Di tempat lain, penulis Surat Ibrani mengatakan: “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat” (Ibr 10:25). Sesuai teks Yunani yang ada, ayat ini hanyalah anak kalimat yang menerangkan ayat di atasnya (Ibr 10:24 “Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik”). Dengan kata lain, ada hubungan yang erat antara ibadah dan kedekatan yang konstruktif (dorongan, nasihat, kasih) antara sesama orang Kristen. Ibadah merupakan sarana untuk menciptakan keintiman antar anggota. Demikian pula, keintiman yang konstruktif merupakan bagian integral dari ibadah. Keduanya tidak terpisahkan. Hal ini tentu saja sulit dibudayakan dalam sebuah gereja lokal apabila yang hadir di gereja itu hanyalah simpatisan dan tamu. Mereka pasti merasa sungkan untuk menegur dan menasihati orang lain yang tidak terlalu mereka kenal.
Dalam hal ini, ada beberapa aspek penting dalam keanggotaan gereja lokal yang perlu kita perhatikan. Pertama, identifikasi. Setiap orang mempedulikan identitas. Para remaja berada dalam masa transisi untuk mencari jati diri. Mereka ingin dikategorikan dalam kelompok komunitas tertentu (komunitas gaul, komunitas pemberontak, komunitas konstruktif, dsb). Orang dewasa menggunakan karir dan talenta untuk mengaktualisasikan diri agar dipandang oleh orang lain sebagai bagian dari kelompok komunitas tertentu (orang sukses, populer, dsb.). Cara berpakaian kita pun seringkali mencerminkan hasrat kita untuk dikategorikan dalam kelompok komunitas tertentu (orang tua/muda, orang kaya/sederhana, dsb.). Dalam taraf tertentu kecenderungan semacam ini bisa dimengerti karena manusia memang diciptakan sebagai makhluk sosial.
Masing-masing gereja lokal seyogyanya menyadari hal ini dan menawarkan sebuah komunitas yang beridentitas. Ada dua identifikasi yang penting. Kita berbeda dengan dunia (Rm 12:1-2). Identifikasi terpenting adalah status kita di hadapan Allah. Manusia memperhatikan apa yang terlihat, Allah menyelidiki jauh ke dalam hati kita (1 Sam 16:7). Dunia hanya mencari penerimaan manusia, tetapi orang Kristen sejati harus meneladani Yesus Kristus yang “makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia” (Luk 2:52).
Kita juga berbeda dengan komunitas orang Kristen yang lain. Keragaman tradisi, teologi, dan liturgi merupakan salah satu keunikan kekristenan. Kesatuan kita bukan bersifat keseragaman (bandingkan dengan agama lain yang menerapkan kesatuan dalam arti keseragaman). Dalam hal-hal yang pokok kita memang harus satu, dalam hal-hal yang tidak pokok kita boleh berbeda, dan dalam segala hal kita harus mengutamakan kasih. Keragaman dalam kekristenan tidak seharusnya menjadi sumber konflik, namun sarana untuk mencari identitas diri masing-masing. Dalam hal ini kita perlu mengenal dan mengikatkan diri dengan sebuah gereja lokal tertentu supaya kita mengerti keunikan (tidak selalu keistimewaan atau kelebihan) kita dibandingkan orang-orang Kristen yang lain. Doktrin apa saja yang kita miliki secara bersama dengan semua orang Kristen lain? Doktrin apa yang kita jadikan tempat pijakan bersama dengan gereja-gereja injili yang lain? Doktrin apa saja yang menyamakan kita dengan gereja-gereja Reformed yang lain? Apa keunikan kita dibandingkan dengan gereja-gereja lain yang bernafaskan teologi Reformed? Semua ini seharusnya menjadi obyek rasa ingin tahu kita.
Sudahkah kita mengerti pengakuan-pengakuan iman yang dipegang oleh gereja kita (Pernyataan Iman GKRI Exodus, Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Chalcedon, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel, Pengakuan Iman Athanasius, Pengakuan Iman Helvetic kedua, Pengakuan Iman Belgia, Pengakuan Iman Westminster, Kanon Dort, Katekismus Heidelberg, Katekismus Westminster, dan Pernyataan Chicago tentang Ketidakbersalahan Alkitab)? Apakah kita mengenal dan memahami nilai-nilai tertentu yang ditekankan dan diterapkan dalam gereja kita, baik dalam kehidupan berjemaat secara umum (CTM = Care, Teaching, Mission) maupun dalam konteks pelayanan secara khusus (TROH = Togetherness, Respect, Openness, Hard-work)? Sudahkah kita mengetahui visi gereja ke depan dan menjadikan itu sebagai visi kita bersama? Semua pertanyaan ini akan sulit dijawab secara konfirmatif oleh mereka yang hanya berstatus simpatisan dan tamu.
Kedua, komitmen. Kita hidup dalam sebuah zaman di mana kata “komitmen” semakin sulit didengar, apalagi disaksikan. Murid tidak berkomitmen terhadap studi mereka. Pasangan suami-istri dengan mudah kehilangan komitmen. Para karyawan hanya menjadi kutu loncat tanpa memikirkan kebaikan perusahaan secara jangka panjang. Para pengusaha hanya memanfaatan dan mengeksploitasi karyawan untuk kepentingan mereka sendiri. Di tengah kultur yang rusak seperti ini, setiap gereja lokal seharusnya tertantang untuk menghadirkan sebuah komunitas yang berbeda (counter-cultural community).
Komitmen adalah sebuah kata yang sarat makna dan padat tanggung-jawab. Tidak heran, banyak orang berusaha menghindarinya. Mereka yang berani mengambil komitmen pun tidak jarang gagal di tengah jalan. Beberapa rekan pelayanan Paulus pun tidak lulus ujian komitmen (2 Tim 1:15; 4:10a). Hanya sedikit yang bisa berujar seperti Paulus: “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir, dan aku telah memelihara iman” (2 Tim 4:7).
Komitmen tidak hanya diukur secara kuantitatif (durasi waktu) tetapi kualitatif (etos pelayanan). Nilai komitmen seringkali baru bisa dilihat ketika diuji oleh berbagai persoalan dan tantangan. Tatkala kita dikecewakan, apakah kita masih memegang komitmen kita? Pada waktu kita disalahpahami atau terlibat konflik dengan sesama pelayan, apakah hal itu menyurutkan komitmen kita? Nilai komitmen juga terlihat dari tingkat upaya yang diberikan. Sebagian orang memiliki mentalitas pemeliharaan (maintenance mentality).
hanya mempertahankan apa yang ada, tanpa usaha yang keras untuk mengembangkannya. Gereja lokal membutuhkan para pekerja yang lebih daripada sekadar penonton, kritikus, atau pemelihara. 1 Korintus 15:48 berkata: “Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.” Hal ini sulit dipenuhi oleh simpatisan dan tamu.
Jika kita tidak mengikatkan diri dalam sebuah gereja lokal, dari mana kualitas komitmen kita dapat diasah dan diuji? Jika kita menghindari konflik dengan cara tidak mau melibatkan diri dalam sebuah gereja lokal, bagaimana komitmen kita teruji oleh persoalan? Justru melalui perbedaan pendapat, kekecewaan, bahkan pertengkaran dalam pelayanan, sebuah komitmen disirami dan dibangun menjadi semakin kuat.
Ketiga, atensi. Seperti sudah disinggung di depan, manusia adalah makhluk sosial, sedangkan gereja adalah salah satu saluran nasihat, dorongan, dan kasih. Dua sisi ini seharusnya menjadi pasangan yang serasi. Ironisnya, pasangan ini seringkali tidak pernah bersua. Jemaat yang merindukan perhatian ternyata berada dalam gereja yang dingin dan cuek. Sebaliknya, beberapa gereja yang sangat getol dalam perhatian harus menahan diri karena sebagian jemaat tidak mau kehidupan pribadinya diketahui dan ditolong. Gereja akbar (mega-churches) seringkali menjadi pilihan bagi mereka yang bersikap individualistis. Kalau pun mereka memilih gereja kecil, mereka sengaja tidak mau mencemplungkan diri dalam komunitas itu supa-ya tidak dikenal dan diperhatikan.
Allah sudah mengatur keterkaitan dan ketergantungan manusia dengan sesamanya. Kita menjadi penjaga sesama kita (Kej 4:9). Manusia menajamkan sesamanya, sama seperti besi menanamkan besi agar keduanya lebih berguna (Ams 27:17). Berdua lebih baik daripada seorang diri, karena kebersamaan menyediakan pertolongan, perlindungan, dan kekuatan (Pkt 4:9-12). Kedekatan memungkinkan kita untuk memberikan nasihat dan dorongan yang penuh
kasih (Ibr 10:25). Alkitab juga mengajarkan bahwa jiwa kita dijaga oleh para pemimpin rohani kita (Ibr 13:17). Jika para pemimpin di suatu gereja tidak mengenal kita dengan baik – karena kita hanya sebagai simpatisan dan tamu – bagaimana mereka bisa berjaga-jaga atas kita melalui doa dan pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan rohani kita?
Tanpa komitmen dan kedekatan, prinsip “gereja sebagai tubuh Kristus” (1 Kor 12:12-31; Ef 4:1-16) akan sulit terwujud. Bagaimana kita dapat saling memperhatikan jika kita bergereja sesuka hati kita? Bagaimana kita bisa saling melayani secara intensif jikalau kita bukan anggota dari gereja yang sama? Kita tahu bersama bahwa hampir semua gereja lokal hanya mengizinkan posisi-posisi pelayanan tertentu bagi yang sudah terdaftar sebagai anggota, misalnya pengurus komisi (terutama ketua komisi), pelayan mimbar, diaken, dan penatua. Jangan biarkan kesempatan yang indah untuk melayani Allah dan memberkati orang lain menjadi terhambat hanya gara-gara sentimen emosional terhadap gereja asal atau ketakutan kita untuk terluka kembali! Bukankah kita tetap bisa menjalin relasi yang indah dengan gereja asal melalui cara-cara yang lain? Bukankah penderitaan (dikecewakan) adalah harga yang pantas untuk sebuah pelayanan kepada Tuhan?
Marilah kita mulai menggumulkan keanggotaan dalam sebuah gereja lokal. Jangan kuatir untuk dikecewakan. Semua manusia pasti mengecewakan.
komunitas yang tanpa konflik dan kekecewaan hanyalah mimpi yang tak mungkin terjadi (utopia). Kita semua adalah orang berdosa yang cenderung egois dan tidak peduli orang lain. Konflik pasti muncul. Tugas kita adalah meminimalisasi hal itu dan menyikapi secara bijaksana. Bagi yang sudah berjemaat secara tetap dan terdaftar sebagai anggota, marilah kita memberanikan diri mengambil komitmen dan melayani orang lain sesuai dengan kebutuhan gereja dan talenta yang Tuhan sudah percayakan kepada kita. Ingat, pelayanan tidak hanya diukur berdasarkan durasi waktu, melainkan kualitas pelayanan. Komitmen, semangat, kesungguhan, dan kerja keras; itulah yang Tuhan cari dalam diri para pelayan-Nya. Soli Deo Gloria.