Apakah Kalimat Allah Ada Bersifat Ilmiah?

Posted on 24/12/2017 | In QnA | Leave a comment

Pertanyaan yang baik dan menarik ini diajukan oleh seorang pemuda kepada saya beberapa bulan yang lalu. Baik, karena si pemuda sungguh-sungguh ingin mengetahui kebenaran di baliknya. Menarik, karena ada persentuhan antara dua domain kebenaran: relijius dan ilmiah.

Bagaimana kita sebaiknya menjawab pertanyaan ini? Pertama-tama kita perlu menyadari adanya dugaan tertentu di balik pertanyaan ini. Disadari atau tidak, sang penanya sedang mengontraskan kebenaran relijius dan ilmiah, seolah-olah keduanya tidak mungkin ada secara berdampingan. Yang satu meniadakan yang lain.

Dugaan di atas jelas keliru. Profesor John Lennox memberikan sebuah ilustrasi yang menarik tentang hal ini. Dia mengajukan sebuah pertanyaan: “Mengapa air bisa mendidih di atas kompor?” Secara ilmiah, kita bisa menjawab: “Api yang panas telah mengubah suhu air sehingga mencapai titik didih”. Ini adalah penjelasan ilmiah. Namun, ada pula penjelasan lain yang sama-sama benar, walaupun penjelasan terakhir ini tidak ilmiah. Mengapa air itu bisa mendidih? Jawabannya sederhana: “Karena seseorang ingin membuat kopi”.

Hal kedua yang perlu dilakukan adalah menerangkan validitas kriteria pembuktian ilmiah jika diterapkan pada domain kebenaran yang lain. Sebagaimana kita ketahui, kebenaran ilmiah bersifat empiris. Maksudnya, kebenaran yang bisa dibuktikan berulang-ulang di tempat yang berbeda-beda tetapi dengan variabel yang sama dan hasilnya selalu sama. Dari observasi, hipotesa, percobaan, lalu menjadi teori.

Persoalannya, apakah setiap hal harus diuji dengan cara yang sama? Ada banyak hal di dunia ini yang tidak mungkin diterangkan secara ilmiah. Bahkan di antara semua ilmu pengetahuan, tidak semua dapat diuji secara ilmiah seperti dalam ilmu alam. Sebagai contoh, bagaimana historisitas peristiwa yang terjadi masa lalu dapat dibuktikan secara ilmiah (dalam arti secara empiris)?

Adalah takabur jika seseorang menganggap bahwa sains mampu menerangkan segala sesuatu. Keyakinan Stephen Hawkings tentang “Teori Segala Sesuatu” (theory of everything) hanyalah sebuah gurauan di mata ilmuwan lain di bidang-bidang yang berbeda. Masing-masing domain memiliki kriteria pengujian sendiri-sendiri. Yang paling penting adalah konsistensi logis dan koherensi dengan realita. Jalan menuju ke sana bisa berbeda-beda.

Jika kita hanya membatasi kebenaran pada pengujian ilmiah yang sempit seperti di atas, kita akan mengalami kesulitan untuk memahami kehidupan. Bahkan hal-hal yang tampak sederhana bisa menjadi sukar. Apakah yang dimaksud dengan “cinta”? Bagaimana manusia menentukan benar atau salah secara ilmiah? Apakah pikiran dan perasaan manusia bersifat bebas atau terkondisikan oleh materi?

Sains bahkan tidak mampu menerangkan pergumulan-pergumulan mendasar dalam kehidupan. Untuk apa kita ada di dalam dunia? Mengapa kita perlu merisaukan benar-dan-salah? Apakah arti dan nilai kehidupan manusia? Deretan pertanyaan ini tentu saja masih bisa diperpanjang. Intinya, sains bukanlah jawaban untuk semua persoalan.

Dengan menyadari bahwa kebenaran ilmiah belum tentu selalu bertabrakan dengan kebenaran yang lain, dan bahwa kebenaran ilmiah bukanlah satu-satunya ukuran kebenaran, sekarang marilah kita memikirkan pertanyaan utama kita. Apakah kalimat “Allah itu ada” merupakan kalimat ilmiah? Jawabannya adalah iya.

Keyakinan tentang keberadaan Allah juga dilandaskan pada penemuan ilmiah bahwa alam semesta ini tidak bersifat kekal. Alam memiliki permulaan. Kebenaran ini berhasil diungkapkan oleh para ilmuwan. Melalui fakta pembesaran alam semesta yang cukup konsisten mereka meyakini bahwa alam semesta tidak mungkin kekal. Ada titik awal yang bisa diperkirakan melalui perhitungan terbalik (penyusutan). Melalui Hukum Thermodinamika II para ilmuwan juga sepakat bahwa energi dan massa dalam alam semesta tidak mungkin kekal. Totalitas yang ada dan durasi penggunaannya bisa diketahui, dan membawa pada kesimpulan bahwa alam semesta ini memiliki permulaan. Sampai di sini para theolog/ilmuwan theistik dan ilmuwan atheistik berbagi pengetahuan dan kesepakatan yang sama.

Mereka baru berseberangan pendapat ketika menerangkan asal dari alam semesta. Mereka yang mempercayai keberadaan Allah merasa bahwa adalah lebih rasional jikalau kita memikirkan Allah sebagai Penyebab Pertama (First Cause) dari alam semesta. Sebaliknya, mereka yang atheis mencoba mengusulkan beragam teori permulaan alam semesta yang bersifat naturalistik (tidak ada unsur supernatural di dalamnya). Apapun teori yang diusulkan oleh kedua pihak sama-sama tidak dapat dibuktikan secara empiris yang sempit (dalam arti diulang lagi melalui percobaan di laboratorium). Siapa yang bisa mengulang peristiwa permulaan alam semesta sedangkan dia sendiri merupakan bagian dari alam semesta itu?

Keterbatasan ini membuat keabsahan dari masing-masing teori perlu diuji melalui cara ilmiah yang berbeda. Tidak boleh terlalu sempit seperti di atas. Pembuktian yang diharapkan hanyalah bersifat logis dan inferensial. Bagaimanapun, hal ini bukan berarti penolakan terhadap penemuan ilmiah yang lain maupun hukum alam tertentu. Hanya saja, semua ini tidak berfungsi sebagai bukti langsung. Ada penalaran lain yang ditambahkan ke dalamnya. Ada analogi lain yang digunakan sebagai ilstrasi atau argumentasi.

Nah, di antara semua teori tentang permulaan alam semesta, doktrin penciptaan tidak boleh serta-merta diabaikan dan dianggap kurang ilmiah. Ada dasar ilmiah tertentu yang terlibat di dalamya. Ada pula area tertentu yang pembuktiannya tidak bisa 100% ilmiah (seperti yang dituntut oleh sebagian orang). Di sinilah iman juga tetap memainkan peranan (bdk. Ibr. 11:3).

Walaupun demikian, kesulitan yang sama juga menimpa teori-teori lain yang sekilas terlihat lebih ilmiah. Ada titik tertentu di mana penjelasan ilmiah sudah tidak mampu menembusnya lagi. Tidak ada pembuktian 100%. Di situlah para ilmuwan atheis juga menunjukkan iman mereka. Dengan kata lain, ada aspek kebenaran objektif dan subjektif yang ditunjukkan oleh masing-masing pihak.     

Marilah sekarang kita menganalisa tiga teori paling populer tentang permulaan alam semesta. Teori Ledakan Besar (Big Bang Theory). Alam Semesta Jamak (Multiple Universe Theory). Penciptaan (Allah sebagai Penyebab Pertama). Di luar ini masih ada beberapa teori lain, namun tiga ini sudah cukup untuk menunjukkan bahwa tingkat keilmiahan dalam doktrin penciptaan tidak kalah dengan teori-teori lain. Dalam banyak hal, penciptaan bahkan terlihat lebih kuat, baik secara logis maupun ilmiah.

Teori Ledakan Besar memiliki beberapa versi. Diperlukan jenis artikel yang lebih akademis dan lebih panjang untuk menerangkan semua variasi yang ada. Tanpa bermaksud terlalu menyederhanakan, teori ini dapat diterangkan sebagai berikut. Pada mulanya terdapat sebuah materi (energi? massa? ketidakberadaan?). Entitas ini lalu meledak (mengembang) melalui proses tertentu sehingga menghasilkan alam semesta seperti yang kita lihat sekarang.

Walaupun terlihat ilmiah dan dipegang oleh banyak ilmuwan, teori ini mengandung beberapa persoalan yang belum dituntaskan. Teori Ledakan Besar hanya menggeser persoalan belaka (dari permulaan alam semesta menjadi permulaan materi yang meledak). Jika alam semesta berasal dari materi semacam itu, lalu dari mana materi itu berasal? Teori ini juga tidak menjelaskan apakah proses yang turut mengembangkan materi tersebut seturut dengan hukum alam atau tidak. Jika seturut dengan hukum alam. Mengapa sudah ada hukum tersebut padahal alam semesta sendiri belum ada. Jika tidak mengikuti hukum alam, mengapa hasilnya begitu teratur?

Dalam taraf tertentu Teori Alam Semesta Jamak merupakan upaya mengisi kekosongan dalam teori sebelumnya. Sebuah proses yang acak dan kebetulan (tidak mengikuti hukum alam) memang hampir mustahil dapat menghasilkan sesuatu yang kompleks dan teratur. Untuk mengurangi kemustahilan ini diusulkan sebuah dugaan, yaitu proses yang sama terjadi berulang kali tanpa batas sampai terbentuklah alam semesta seperti sekarang. Mungkin ada alam semesta lain yang sekarang ada tetapi tidak dapat diketahui oleh manusia. Mungkin alam semesta yang lain itu sempat ada tetapi lantas musnah karena tidak mampu bertahan.

Tidak terlalu sulit untuk menemukan persoalan dalam teori ini. Terlalu banyak “iman” yang dimasukkan ke dalamnya. Ini hanyalah kumpulan dugaan yang coba dinaikkan probabilitasnya secara logis. Kebetulan yang tanpa batas mungkin akan menghasilkan keteraturan. Begitu kira-kira logika mereka.

Persoalannya, sampai sekarang tidak ada bukti ilmiah apapun yang mengarah pada keberadaan alam semesta yang lain seperti yang diduga. Ketidaktahuan para ilmuwan tentang keberadaan alam semesta yang lain mungkin disebabkan oleh suatu hal yang sangat sederhana: alam semesta yang diduga itu memang benar-benar tidak pernah ada! Lagipula, menaikkan penambahan jumlah percobaan tidak selalu menaikkan probabilitas dari suatu proses. Sebagai contoh, seekor monyet yang diberi sebuah laptop untuk menuliskan sebuah surat cinta. Seberapa besar tingkat keberhasilan monyet itu? Apakah dengan memberi kesempatan tanpa batas kepadanya berarti menaikkan probabilitas keberhasilannya? Tentu saja tidak! Dia tetap memiliki probabilitas yang sama dalam setiap upayanya. Selama dia tidak mengetahui cara membaca dan menggunakan laptop itu, probabilitasnya tetap akan sama, tidak peduli seberapa banyak usaha yang dia lakukan.

Teori lain yang patut dipertimbangkan adalah penciptaan. Apakah ada bukti ilmiah yang konklusif bagi penciptaan? Tentu saja tidak ada. Jika ada bukti semacam itu, mungkin semua ilmuwan akan percaya kepada keberadaan Allah. Banyak hal yang turut mempengaruhi pertimbangan seseorang tentang kualitas bukti yang ada.

Bagaimanapun, doktrin penciptaan konsisten dengan logika dan koheren dengan beberapa realita. Lebih masuk akal untuk mempercayai bahwa makhluk yang personal (seperti manusia) kemungkinan besar berasal dari agen yang personal pula (Allah). Realita mengajarkan bahwa keberadaan yang tidak berpribadi tidak bisa menghasilkan keberadaan lain yang berpribadi. Di samping itu, tingkat kompleksitas dan keteraturan di alam semesta dan tubuh manusia yang secara relatif sangat mengagumkan akan lebih masuk akal jika berasal dari agen yang personal dan bijaksana (Allah).

Terlepas dari bagaimana seseorang menyikapi doktrin penciptaan, dia tidak boleh menganggap teori ini kurang ilmiah daripada teori-teori yang lain hanya gara-gara teori ini bersifat relijius. Ini adalah stereotipe yang kurang teruji dan perlu dikaji. Semua teori tentang permulaan alam semesta mengandung unsur ilmiah dan iman dalam taraf tertentu. Pertanyaan untuk direnungkan adalah: “Teori mana yang lebih konsisten dengan logika dan lebih koheren dengan realita?” Soli Deo Gloria.       

Yakub Tri Handoko