Apakah Iblis lebih jujur daripada Allah (Kej 3:5,22)?

Posted on 14/04/2014 | In QnA | Leave a comment

               Salah satu trik Iblis untuk membujuk Hawa (dan Adam) makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat adalah dengan memberitahu mereka bahwa mereka akan menjadi seperti Allah yang tahu tentang yang baik dan yang jahat (Kej 3:5). Menariknya, di bagian akhir kisah ini disebutkan bahwa Allah seakan-akan mengakui bahwa manusia memang telah menjadi seperti Allah (Kej 3:22). Apakah dalam hal ini Iblis lebih bisa dipercaya? Apakah Allah terlalu takut untuk disaingi manusia sehingga Ia memberikan larangan yang terlihat sangat keras dan serius?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita pertama-tama perlu membandingkannya dengan bujukan Iblis yang lain, yaitu manusia tidak akan mengalami kematian (3:4). Di akhir cerita kita mengetahui bahwa kejatuhan manusia ke dalam dosa membuat mereka akan mengalami kematian (3:19). Allah bahkan memastikan kematian ini dengan cara mengusir mereka dari Taman Eden supaya mereka tidak memakan buah kehidupan dan menjadi kekal selamanya (3:22b). Jika ucapan Iblis di 3:4 adalah kebohongan, maka sangat wajar apabila ucapannya di 3:5 juga merupakan kebohongan.

Selanjutnya kita juga harus memahami apa yang dimaksud dengan “menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” Yang jelas, ucapan ini tidak merujuk pada kapasitas untuk mengetahui segala sesuatu. Seandainya ini yang dimaksud oleh Alkitab, maka obyek yang diketahui pasti tidak terbatas pada “baik dan jahat,” tetapi “segala sesuatu.” Di samping itu, pemunculan kontras “baik-jahat” yang dikaitkan dengan kata kerja “mengetahui” di bagian lain Alkitab tidak ada yang menunjuk pada kemaha-tahuan (Ul 1:39; 2 Sam 14:17; 19:35; 1 Raj 3:9; Yes 7:15).

Sesuai dengan konteks Kejadian 1-3, kita sebaiknya memahami ungkapan di atas dalam arti “kebebasan moral.” Baik di pasal 1 (ayat 4, 10, 12, 18, 21, 25, 31) maupun pasal 2 (ayat 18) hak untuk menilai apakah sesuatu itu baik atau tidak baik berada di tangan Allah. Manusia hanya perlu untuk mengamini penilaian Allah. Lagipula, kemampuan untuk membedakan baik dan jahat juga tidak relevan bagi manusia karena setelah penciptaan dunia secara lengkap Allah mengatakan bahwa semua itu sungguh amat baik. Tidak ada kecacatan atau ketidak-baikan dalam ciptaan Allah.

Apa yang dijanjikan oleh Iblis tidak lebih daripada sekadar otonomi (kebebasan) untuk menilai segala sesuatu tanpa bergantung pada Allah. Kita tidak mengetahui secara pasti apa yang ada di pikiran Adam dan Hawa pada saat mereka mendengar ungkapan “menjadi seperti Allah yang mengetahui yang baik dan yang jahat.” Apakah mereka memahami sebagai kemaha-tahuan atau otonomi moral? Mana pun yang benar, Iblis tetaplah pembohong. Manusia tidak menjadi maha tahu. Kebebasan yang dijanjikan pun tidak pernah dimiliki oleh manusia. Segala kecenderungan hati manusia adalah pada kejahatan semata-mata (6:5). Apa yang ditimbulkan manusia dalam hatinya sejak kecil adalah kejahatan (8:21b). Dalam istilah teologi kondisi ini disebut ‘non posse non peccare’ (tidak dapat tidak berbuat dosa).

  Kondisi seperti di atas pula yang mendorong Allah untuk mengusir manusia dari Taman Eden. Kecenderungan yang jahat akan membuat manusia melawan Allah, termasuk berusaha untuk menghilangkan hukuman Allah dengan upaya mereka sendiri, termasuk hukuman kematian (3:19). Manusia pasti akan memakan buah dari pohon kehidupan sehingga mereka tidak mengalami hukuman tersebut, karena itu Allah memastikan bahwa mereka tidak akan pernah memakan buah dari pohon itu dengan cara mengusir mereka dan menugaskan kerubim untuk berjaga-jaga dengan pedang yang bernyala-nyala (3:22b).

admin