Dalam artikel sebelumnya saya sudah memberikan penjelasan (dan dukungan) bagi pengadaan teleibadah secara streaming/online selama upaya mengurangi tingkat persebaran virus Corona Covid-19. Secara pribadi saya bersyukur kalau beberapa sinode telah menggunakan artikel itu sebagai acuan dalam mengambil keputusan. Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah ini: “Apakah pola ibadah ini dapat dipraktekkan secara rutin apabila keadaan di Indonesia sudah membaik?” Dengan kata lain, apakah teleibadah boleh dijadikan pola ibadah yang rutin? Apakah ibadah bersama keluarga di rumah dapat menggantikan ibadah bersama di gereja?
Untuk menjawab pertanyaan ini dengan baik, kita perlu memahami bahwa apa yang boleh dilakukan bukan berarti harus dilakukan. Kekristenan bukan tentang benar atau salah saja. Ada aspek-aspek lain yang perlu dipertimbangkan juga. Paulus memberikan nasihat yang bijak bahwa segala sesuatu yang halal (boleh dilakukan) belum tentu berguna dan membangun orang lain (1Kor. 10:23). Orang Kristen perlu mencari cara juga untuk membawa kebaikan tertinggi bagi tubuh Kristus yang lain.
Berdasarkan landasan ini saya menganggap teleibadah di rumah sendiri sebaiknya tidak dijadikan pola atau kebiasaan. Allah sudah mengatur bahwa pertumbuhan rohani bersifat personal dan komunal. Personal, karena menyangkut relasi kita sendiri dengan Allah. Komunal, karena masing-masing ditumbuhkan oleh orang lain. Maksudnya, kita bertumbuh dalam konteks tubuh Kristus (1Kor. 12:12-31; Ef. 4:11-16).
Mungkin ada yang menyanggah: “Bukankah keluarga juga tubuh Kristus?” Ya. Keluarga adalah gereja kecil. Namun, pertumbuhan dalam tubuh Kristus juga membutuhkan banyak dan beragam karunia rohani (1Kor. 12:7-11). Karunia rohani diberikan untuk kepentingan bersama (1Kor. 12:7). Semakin banyak jenis dan jumlah karunia rohani yang ada, semakin besar pertumbuhan rohani yang dihasilkan.
Poin di atas juga selaras dengan metafora tubuh. Apa jadinya jika suatu tubuh hanya terdiri dari mata dan telinga? Bukankah tubuh akan berfungsi lebih baik apabila terdiri dari banyak anggota dan setiap anggota itu memainkan peranannya?
Alasan lain mengapa saya kurang merekomendasikan ibadah sendiri di rumah sebagai substitusi ibadah bersama di gereja berhubungan dengan kesempatan untuk melayani. Walaupun ladang pelayanan tidak terbatas di gereja dan ibadah formal saja, tetapi ladang itu tetap perlu dikerjakan. Pelayanan di luar gereja bukan substitusi bagi pelayanan di dalam gereja, begitu pula sebaliknya. Ada banyak pelayanan yang bisa dilakukan dalam gereja: memimpin pujian, menasihati orang lain, bermain musik, dsb. Kesempatan-kesempatan ini mungkin tidak ada di rumah (kalaupun ada pasti sangat terbatas). Jadi, dengan beribadah bersama-sama di gereja, setiap orang memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memaksimalkan talenta dan menjadi berkat bagi orang lain.
Alasan berikutnya yang perlu dipertimbangkan adalah kelengkapan gerejawi. Yang saya maksudkan dengan kelengkapan ini adalah elemen-elemen penting dalam ibadah maupun bergereja. Misalnya, tanda gereja yang benar adalah pemberitaan firman Tuhan, sakramen dan disiplin gerejawi. Tanda pertama mungkin bisa digantikan dengan menonton khotbah secara streaming atau bahkan berkhotbah secara langsung di rumah. Namun, tanda ke-2 dan ke-3 sukar untuk dipraktekkan. Sebagai contoh, disiplin gerejawi hanya bisa dilakukan jika kasusnya diketahui oleh dan mendapat persetujuan dari jemaat (Mat. 18:17; 1Kor. 5:2-5). Bagaimana sebuah keluarga dapat mempraktekkan hal ini?
Yang terakhir, pentingnya posisi rohaniwan atau penatua. Jemaat mula-mula beribadah di rumah-rumah. Ibadah mereka tersebar di berbagai tempat. Menariknya, hal itu tidak meniadakan posisi penting dari para rasul, soko guru gereja, penatua maupun pemimpin lainnya. Dalam konteks sekarang mereka mungkin bisa dikategorikan sebagai “rohaniwan”. Mereka berfungsi sebagai penilik jemaat (Kis. 20:28; 1Tim. 3:1; Tit. 1:7). Tugas mereka adalah mengawasi pertumbuhan rohani jemaat, mengajar dan menjaga kemurnian ajaran gereja (Kis. 20:28-30; 1Tes. 5:17).
Jadi, mengadakan ibadah keluarga memang tidak salah. Hal itu bahkan sangat positif. Walaupun demikian, praktek ini tidak seharusnya dijadikan pengganti ibadah bersama di gereja. Masing-masing memiliki fungsinya sendiri yang berlainan, tetapi saling melengkapi. Gereja perlu mendorong setiap jemaat untuk memiliki mezbah keluarga. Demikian pula setiap keluarga harus mendorong anggotanya untuk rajin beribadah bersama di gereja. Soli Deo Gloria.