Apakah homoseksualitas adalah faktor genetik?

Posted on 05/07/2015 | In QnA | Leave a comment

Isu homoseksualitas sedang ramai dibicarakan di Amerika, seiring dengan pengesahan pernikahan sejenis di berbagai negara bagian di Amerika. Pro dan kontra bermunculan. Gereja-gereja pun bersilang pendapat dalam respon mereka.

Salah satu isu spesifik yang terkait adalah teori yang mengatakan bahwa homoseksualitas merupakan bawaan sejak lahir. Berdasarkan pandangan yang dinamakan “penentuan genetik” (genetic determinism) ini, pembela homoseksualitas menganggap homoseksualitas sebagai masalah biologis yang tidak boleh dinilai secara etis. Kaum homoseksual (gay) adalah korban.

Bagi sebagian orang, argumen di atas dianggap cukup meyakinkan, karena dikaitkan dengan faktor medis. Ditambah dengan alasan “belas-kasihan”, sebagian orang mungkin siap memberikan persetujuan terhadap homoseksualitas. Dalam kenyataannya, teori ini perlu dikaji ulang secara lebih mendalam.

Tanpa bermaksud terlalu menyederhanakan komplesitas isu yang terkait, saya ingin mendekati persoalan ini secara lebih ringkas dan sederhana. Pertama, teori ini secara ilmiah masih diragukan. Penelitian terhadap kembar identik menunjukkan bahwa banyak kaum homoseksual yang saudara/i kembarnya tidak menganut pola hidup yang sama. Ini menunjukkan bahwa faktor genetis tidak bersifat menentukan (determinative). Kesaksian transformasi hidup dari para mantan homseksual menunjukkan bahwa praktek ini dapat dikendali, bahkan ditinggalkan.

Di samping itu, kita juga tidak boleh melupakan faktor biologis yang lain, yaitu bentuk kelamin pria dan wanita. Pengamatan sederhana dan jujur pasti akan mengarahkan orang untuk melihat bahwa alat kelamin pria dan wanita saling melengkapi. Jika faktor biologis (genetik) dianggap menentukan, maka secara konsisten bentuk kelamin juga seharusnya dianggap menentukan. Bukankah hal ini juga faktor genetik?

Kedua, dorongan seksualitas tidak harus berujung pada tindakan homoseksual. Banyak alasan mengapa orang menjadi homoseksual: trauma masa lalu, pola pembinaan dalam keluarga, dsb. Semua faktor ini bisa memberi dorongan pada seseorang untuk jatuh dalam homoseksualitas. Namun, hal ini tidak bisa dijadikan pembenaran. Orang-orang lain yang berangkat dari situasi yang sama ternyata tetap menjadi heteroseksual. Artinya, tidak setiap dorongan harus diaktualisasikan.

Dalam hal ini Alkitab memberikan pencerahan penting. Rasul Yakobus mengajarkan bahwa tidak semua keinginan adalah dosa. Keinginan baru berubah menjadi dosa apabila dibuahi (1:14-15). Natur manusia yang berdosa seringkali mengarahkan kita pada hal-hal yang negatif, tetapi manusia tidak boleh tunduk pada dorongan tersebut. Bagi orang-orang Kristen, kekuatan untuk menaklukkan situasi ini terletak pada karya Roh Kudus dalam hati kita. Roh menghasilkan buah pengendalian diri.

Pada akhirnya, kita perlu melihat bahwa homoseksualitas merupakan perlawanan terhadap seks yang alamiah. Dalam Roma 1:26-27 mengontraskan homoseksualitas dengan persetubuhan yang wajar. Kata Yunani “wajar” (physikos) seharusnya ditafsirkan “secara alamiah” (semua versi Inggris), yaitu sesuatu yang berkaitan dengan natur. Jadi, homoseksualitas bukan sekadar pilihan seksual (prefensi seksual). Ini adalah penyimpangan seksual.

Walaupun homoseksualitas adalah dosa yang serius, sebagai orang Kristen kita tidak boleh memandang rendah para homoseksual. Kita pun adalah orang-orang berdosa. Keadaan kita tidak lebih baik daripada mereka. Hanya anugerah Allah di dalam Yesus Kristus yang membuat perbedaan dalam hal ini. Karena itu, sudah sepatutnya apabila kita mendekati isu homoseksualitas dengan sikap rendah hati, penuh kasih, dan belas-kasihan.Kaum homoseksual adalah korban – bukan korban genetik – tetapi korban dosa dan tipu daya Iblis. Dengan kasih yang besar dan kebenaran yang tanpa kompromi, kita diundang untuk meraih mereka dan mengasihi mereka. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko