Sebelum kejatuhan manusia di dalam dosa, Allah menentukan bahwa makanan manusia adalah sayuran dan buah-buahan (Kej 1:29). Mereka tidak boleh mengkonsumsi daging binatang. Memakai istilah sekarang, manusia adalah vegetarian.
Situasi ini baru berubah setelah dosa masuk ke dalam dunia. Walaupun peraturan tertulis tentang daging haram dan halal baru diberikan pada jaman Musa (Im 11), tetapi Nuh sudah tahu bagaimana membedakan keduanya (Kej 7:2, 8; 8:20). Pertanyaannya, apakah gaya hidup vegetarian pada dirinya sendiri lebih rohani dan harus dianut oleh orang Kristen? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mempertimbangkan beragam faktor.
Pertama, ukuran kerohanian. Alkitab berkali-kali menegaskan bahwa ukuran kerohanian adalah ketaatan pada perintah Allah. Allah yang memberikan tumbuh-tumbuhan sebagai makanan manusia (Kej 1:29) adalah Allah yang sama yang memberikan daging dan tumbuhan untuk dimakan (Kej 9:2). Pola hidup bertarak, termasuk masalah makanan, belum tentu menyiratkan kerohanian yang sejati (Kol 2:20-23; 1 Tim 4:3-4). Seandainya vegetarianisme adalah perintah Alkitab, maka penebusan Kristus tidak bisa sempurna karena Ia pernah berdosa dengan memakan ikan (Luk 24:42-43). Ia pun bahkan mengajak 5000 orang berbuat dosa massal pada saat Ia memberi mereka makan dari 5 roti dan 2 ikan.
Kedua, alasan di balik perintah Allah. Jika kita meneliti beragam teks Alkitab yang berkaitan dengan peraturan makanan, kita akan menemukan ide tentang pembatasan. Walaupun manusia berkuasa atas bumi (Kej 1:26, 28), tetapi mereka tidak boleh berbuat sesuka hati mereka. Mereka tidak boleh membunuh dan memakan binatang (Kej 1:29). Setelah memakan daging diijinkan pun tetap ada batasan: daging yang masih ada darahnya tidak boleh dimakan (Kej 9:4). Selanjutnya, di antara banyak binatang yang dagingnya bisa dimakan, sebagian dinyatakan haram sebagai batasan (Im 11). Tatkala semua makanan sudah dinyatakan halal (Mat 7:19b), batasan tetap ada: jangan sampai menjadi batu sandungan bagi orang lain (Kis 15:28-29; 1 Kor 8:8-9, 13). Jadi, inti dari semua ini adalah pengendalian diri.
Ketiga, belas kasihan terhadap binatang. Ijin untuk memakan binatang bukan berarti kita boleh melakukan apapun yang kita mau. Kelangsungan hidup binatang harus tetap dipertimbangkan. Salah satu contoh adalah Ulangan 22:6-7. Pada saat kita menemukan sarang burung dengan induk, telur, atau anak-anaknya, kita diwajibkan melepaskan induknya. Kita dilarang mengambil induk burung beserta dengan semua anaknya. Dengan cara yang sama kita patut menghindari penangkapan atau penyembelihan binatang dengan cara yang berlebihan. Penyiksaan binatang, apalagi yang tidak bertujuan untuk memakan dagingnya, harus dihindari.
Sebagai konklusi, pola makan vegetarian pada dirinya sendiri tidaklah lebih rohani. Namun, tidaklah salah apabila ada orang Kristen yang mempraktekkan pola hidup ini untuk beragam tujuan, misalnya menjaga kesehatan, menghindari jadi batu sandungan, upaya penjangkauan terhadap orang lain di sekitar kita, dsb. Bagi yang bukan vegetarian, ada baiknya kita belajar menguasai diri dengan cara tidak memakan daging selama beberapa waktu. Pada akhirnya, Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah (1 Kor 10:31).