Persentuhan antara teologi dan sains sudah berlangsung lama. Bapa gereja Tertulianus di abad permulaan sudah menyuarakan: “Apa kena mengena antara Yerusalem (teologi) dan Athena (filsafat)?” Situasi makin meruncing seiring dengan teori heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya) yang dipopulerkan oleh Kopernikus pada masa renaissans. Pukulan terberat datang dari teori evolusi yang dikumandangkan oleh Charles Darwin. Sampai sekarang dampak dari teori ini masih dirasakan. Sebagian pemikir Kristen mencoba menggabungkan teologi dan evolusi ke dalam sebuah posisi baru: evolusi teistik. Maksudnya, alam semesta (termasuk manusia) memang terbentuk dari proses evolusi, tetapi yang dikendalikan oleh Allah. Allah sudah meletakkan hukum alam sedemikian rupa sehingga semua proses terjadi selaras dengan hukum-hukum itu.
Bagaimana kita sebaiknya menyikapi pandangan ini? Apakah pandangan ini sesuai dengan ajaran Alkitab?
Untuk memahami isu ini dengan utuh, kita perlu mengerti beberapa aspek yang terkait di dalamnya. Paling tidak ada dua: usia bumi (tua atau muda?) dan kebenaran dari teori evolusi. Dua hal ini berkaitan, tetapi tidak identik. Orang yang memegang evolusi pasti beranggapan bahwa bumi berusia sangat tua. Namun, orang yang menganggap bumi berusia tua tidak selalu menganut teori evolusi.
Secara pribadi, saya cenderung meragukan teori bumi muda. Terlepas dari beberapa persoalan yang tidak konklusif seputar pentarikhan geologi maupun penggunaan alat ukur (misalnya karbon), usia bumi yang tua tampaknya memang sukar untuk dibantah. Apakah ini menunjukkan bahwa teori evolusi benar? Tidak selalu. Alkitab memang tidak memberi petunjuk eksplisit dan konklusif tentang usia bumi (lihat artikel saya yang lain tentang usia bumi atau makna “hari” di kisah penciptaan). Bisa saja Allah langsung menciptakan alam semesta yang terlihat tua, demi menjaga kelestariannya. Bisa saja antar fase penciptaan memang terbentang waktu yang cukup panjang, misalnya dari Kejadian 1:1-2 sampai hari ke-1 atau jarak antar hari dalam kisah penciptaan yang tidak menentu.
Walaupun demikian, saya tetap menolak evolusi teistik. Pandangan ini sangat mirip dengan Deisme yang berkembang di Eropa (terutama Inggris) pada abad ke-17 dan ke-18. Allah hanya pemberi hukum alam. Dia tidak langsung berintervensi di dalam alam semesta. Pandangan ini kurang sejalan dengan Alkitab. Allah bukan hanya ada dan menciptakan Allah semesta. Dia juga memelihara dan menopangnya (Ibr. 1:3). Berkali-kali Dia melakukan intervensi secara langsung, misalnya melalui berbagai mujizat.
Di samping itu, konsep “evolusi” dalam evolusi teistik secara fundamental berbeda dengan konsep evolusi di mata para pendukungnya yang ateis. Bagi mereka, evolusi merupakan proses alamiah yang buta (tidak terkontrol). Alam semesta yang seperti sekarang terjadi melalui rangkaian proses natural yang bersifat kebetulan. Proses yang dilalui juga tidak hanya beberapa kali. Semua bersifat materialistik.
Yang paling penting, keteraturan tubuh manusia (atau maklhuk hidup lain) maupun alam semesta jauh lebih kompleks daripada yang dipikirkan oleh banyak orang. Hampir semua ilmuwan, bahkan yang ateis sekalipun, mengakui kerumitan dan keteraturan seperti ini. Hanya saja, mereka memilih untuk menjelaskannya secara naturalistik (terjadi kebetulan melalui proses natural). Kemajuan riset di bidang biomolekuler, misalnya, menunjukkan bahwa untuk menciptakan satu sel yang paling sederhana sekalipun diperlukan kombinasi proses yang begitu rumit. Jika untuk satu sel saja sudah sedemikian kompleks, bagaimana kita menerangkan tubuh manusia yang begitu rumit? Tingkat keberhasilan dari proses ini sangat kecil sekali (jika tidak mau dikatakan mustahil).
Apakah Allah tidak mungkin menciptakan alam semesta melalui proses alamiah tertentu? Tentu saja mungkin. Walaupun demikian, jauh lebih memungkinkan jika Dia melakukannya secara langsung. Sebagai contoh, sukar membayangkan bahwa keberadaan manusia sebagai makhluk yang berpribadi dapat muncul dari proses yang benar-benar natural dan materialistik. Bagaimana pikiran manusia bisa terbentuk? Apakah pikiran itu sekadar proses alamiah yang tidak terkontrol? Jika tidak terkontrol, bagaimana kita mempercayainya? Bagaimana manusia bisa menghargai hal-hal yang non-material sedemikian rupa (keadilan, belas-kasihan, keindahan, dsb) jika mereka hanyalah hasil dari proses alamiah yang materialistik? Pendeknya, mempercayai Allah sebagai Pencipta manusia dan pemelihara alam semesta secara langsung tetap terlihat lebih selaras dengan ajaran Alkitab. Soli Deo Gloria.