Memimpin ibadah penghiburan atau pemakaman untuk anggota gereja yang meninggal dunia karena bunuh diri menjadi salah satu momen yang sukar bagi para hamba Tuhan. Apa yang harus dikatakan kepada keluarga yang ditinggalkan dalam situasi seperti ini? Masih adakah penghiburan yang bisa diberikan kepada mereka? Kehilangan orang yang dicintai saja sudah berat, apalagi jikalau kehilangan itu akibat bunuh diri.
Berbagai pertanyaan mungkin bermunculan, apalagi jikalau orang yang bunuh diri semasa hidupnya terlihat rajin ke gereja, bahkan aktif melayani. Bagaimana nasib orang yang bunuh diri? Apakah mereka pasti masuk neraka?
Topik ini jelas sangat tidak mudah, baik secara intelektual (teologis) maupun pastoral (praktis). Ada banyak aspek yang bersentuhan dan perlu dipertimbangkan. Bahkan para pemikir besar dalam kekristenan berseberangan pandangan.
Jadi, benarkah orang yang melakukan bunuh diri pasti masuk neraka?
Sebagian orang Kristen mungkin akan menjawab secara afirmatif. Semua orang yang bunuh diri pasti masuk neraka. Alasan yang diberikan ada Dua, tergantung posisi soteriologi (doktrin keselamatan) yang dipegang. Yang meyakini keselamatan ditentukan oleh perbuatan baik (golongan Arminian, Pelagian, dan sejenisnya) memandang bunuh diri sebagai dosa yang tidak dapat diampuni, karena si pelaku tidak sempat meminta ampun. Dengan kata lain, mereka mengakhiri hidupnya dengan dosa, karena itu tidak bisa masuk ke surga. Yang tidak memegang pandangan Reformed meyakini bahwa orang yang sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan Yesus tidak akan kalah dengan pencobaan (1Kor. 10:13). Bunuh diri merupakan tanda bahwa si pelaku belum bertobat dengan tulus.
Walaupun pandangan ini sangat populer, terutama di kalangan awam, perlu dikaji ulang. Topik ini tidak sesederhana yang dipikirkan. Tidak ada dukungan Alkitab yang konklusif bagi pandangan ini. Dalam banyak hal, jawaban terhadap isu ini sangat ditentukan oleh soteriologi yang dipegang.
Hal pertama yang harus dipertimbangkan adalah definisi. Sejauh mana suatu tindakan mengakhiri hidup sendiri disebut bunuh diri. Sebagai contoh, kasus Simson di akhir hidupnya (Hak. 16:23-31). Jika tindakan yang pasti merenggut nyawa Simson ini termasuk bunuh diri, paling tidak kita menemukan satu kasus tentang orang beriman yang bisa mengakhiri hidupnya sendiri (dalam Ibrani 11:32 Simson disandingkan dengan Gideon, Barak, Daud, Samuel, dan para nabi sebagai orang yang beriman). Lebih menarik lagi, ketika penulis Kitab Hakim-hakim mengisahkan tindakan heroik Simson tersebut, dia tampaknya memandang hal itu sebagai sesuatu yang positif (Hak. 16:30), walaupun hal itu mungkin tidak berkaitan dengan keselamatan rohani Simson.
Hal lain yang juga perlu dikaji ulang adalah asumsi di balik keyakinan pelaku bunuh diri pasti masuk neraka. Mereka yang memegang pandangan ini pass umumnya beranggapan bahwa masuk surga ditentukan oleh perbuatan seseorang di akhir hidupnya. Jika seseorang mati dalam keadaan berdosa dan tidak sempat memohon ampun kepada Tuhan, orang itu tidak bisa masuk surga.
Asumsi seperti ini jelas keliru. Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa keselamatan adalah anugerah Allah yang diterima melalui iman kepada Yesus Kristus (Ef. 2:8-9). Itu bukan hasil perbuatan atau pekerjaan manusia. Perbuatan baik adalah buah, bukan syarat, keselamatan.
Bahkan seandainya kita beranggapan bahwa perbuatan terakhir menentukan keselamatan, hal itu tetap problematis. Tidak ada satu orang pun yang mengakhiri hidupnya tanpa dosa. Tuntutan Allah adalah kesempurnaan (Mat. 5:48; Gal. 3:10; Yak. 2:10). Di sepanjang sejarah manusia, hanya Yesus Kristus yang hidup tanpa dosa sama sekali.
Bersambung…………