Pertanyaan ini seringkali dimunculkan oleh pasangan suami – isteri sehubungan dengan Kejadian 2:24. Di sana dituliskan: "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging". Sebagian orang Kristen memahami teks ini sebagai larangan bagi suami – isteri untuk tinggal bersama dengan orang tua/mertua.
Bagi sebagian orang, persoalan ini lebih dari sekadar persoalan theologis. Mereka benar-benar bergumul dengan relasi mertua – menantu atau orang tua – anak yang kurang baik. Banyak hal dipertaruhkan di atas penafsiran teks ini.
Apakah teks ini benar-benar melarang suami – isteri untuk tinggal serumah dengan mertua atau orang tua? Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah negatif. Teks ini bukan larangan tentang hal tersebut.
Pertama, teks ini tidak membicarakan tentang tinggal satu rumah. Yang ditinggalkan oleh laki-laki pada saat dia menikah adalah ayahnya dan ibunya. Bukan rumah ayah dan ibunya. Tidak ada kata “rumah” di sana. Bahkan kesatuan suami – isteri pun tidak dikaitkan dengan rumah. Keduanya akan menjadi satu daging, bukan satu rumah.
Kedua, secara kultural orang-orang Israel dari dahulu justru menerima mempelai perempuan ke dalam keluarga besar mempelai laki-laki. Laki-laki Israel tidak meninggalkan rumah atau keluarga besarnya. Contoh yang paling jelas adalah Ishak yang masih tinggal bersama Abraham walaupun dia sudah menikah dengan Ribka (Kej. 24-25). Justru Ribka yang dibawa masuk ke dalam keluarga besar Abraham.
Ketiga, yang dimaksud dengan teks ini adalah komitmen terhadap sebuah perjanjian. Kata "meninggalkan" maupun "bersatu" seringkali digunakan dalam konteks perjanjian. Maksudnya, pernikahan merupakan sebuah perjanjian. Perjanjian ini lebih kuat daripada relasi biologis dengan orang tua. Ketika seseorang memasuki pernikahan, dia harus mengutamakan pasangan daripada orang tuanya. Perintah “hormatilah ayahmu dan ibumu” masih tetap berlaku, namun sekarang dengan tambahan dimensi baru yang berbeda.
Keempat, teks ini menyiratkan status laki-laki sebagai kepala keluarga. Sebuah pernikahan dimulai oleh laki-laki. Dalam teks ini disebutkan: "laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya". Bukan tindakan dua arah (laki-laki dan perempuan sama-sama meninggalkan ayahnya dan ibunya). Sama seperti otoritas Adam dalam memberi nama kepada perempuan (Kej. 2:23) merupakan petunjuk bagi statusnya sebagai kepala, demikian pula tindakan laki-laki yang meninggalkan ayahnya dan ibunya.
Walaupun secara theologis tidak salah apabila suami – isteri tinggal bersama orang tua atau mertua, beberapa hal praktis tetap perlu dipertimbangkan. Sebisa mungkin pada awal pernikahan, suami – isteri tinggal sendiri. Hal ini diperlukan untuk memperlancar adaptasi. Pernikahan awal pasti membutuhkan banyak pengenalan dan pengertian. Jika ada pihak lain di rumah, proses adaptasi bisa menjadi lebih pelik.
Jikalau orang tua atau mertua benar-benar membutuhkan tempat tinggal atau pengawasan (sakit, usia lanjut, atau keterbatasan tertentu), tentu saja tidak keliru apabia suami – isteri menerima mereka di rumah. Itu adalah kesempatan yang berharga untuk mendampingi dan merawat orang tua. Bagaimanapun, situasi ini sebaiknya dipandang sebagai kasus khusus. Atau, hal ini boleh dilakukan sesudah masa penyesuaian suami – isteri.
Jadi, Kejadian 2:24 tidak melarang suami – isteri untuk tinggal serumah dengan orang tua atau mertua. Hanya saja, keputusan untuk tinggal serumah atau tidak, seharusnya dipikirkan secara seksama dan kasus per kasus. Akal budi Kristiani akan berperan penting dalam hal ini. Soli Deo Gloria.