Pertanyaan ini sangat wajar untuk diajukan. Sebagian orang memandang keberadaan beragam denominasi sebagai sesuatu yang buruk. Beberapa bahkan menciptakan permainan kata yang agak sarkastik: “denomination is demonisation”. Denominasi adalah produk Iblis. Begitu kira-kira yang ada dalam pikiran mereka.
Sikap negatif terhadap beragam denominasi biasanya dikaitkan dengan dua hal. Pertama, banyak denominasi baru muncul akibat konflik. Perpecahan dipandang sebagai esensi denominasi. Kedua, banyak denominasi berarti tidak ada kesatuan. Seandainya gereja bersatu, tentu tidak akan ada berbagai denominasi tersebut.
Untuk mendukung ide bahwa gereja yang sempurna adalah gereja yang tidak mengenal denominasi, sebagian orang mencoba menggunakan gereja mula-mula sebagai teladan. Menurut mereka, semua gereja lokal pada zaman rasuli tidak mengenal pembedaan theologi, tradisi, maupun organisasi. Intinya, denominasi adalah hal yang tidak ada pada zaman itu.
Untuk memahami pertanyaan ini secara objektif dan komprehensif, kita perlu mengikis stereotipe negatif yang biasanya muncul dari sikap menyamaratakan. Tidak semua denominasi muncul dari sebuah konflik. Tidak semua kemunculannya adalah dosa. Beberapa para penggagas denominasi yang baru merasa bahwa ada area pelayanan lain yang perlu dijangkau, tetapi upaya itu tidak mungkin bisa dilakukan karena kondisi dan keterbatasan denominasi yang sudah ada. Setiap denominasi memang memiliki keunikan, baik dalam hal tradisi, potensi, maupun visi dari Tuhan. Penambahan suatu denominasi seringkali justru bersifat komplimentaris (melengkapi).
Stigma populer lain yang perlu dikaji ulang adalah kualitas perbedaan di antara berbagai denominasi yang ada. Kita tidak boleh membayangkan bahwa denominasi-denominasi yang ada memiliki perbedaan lebih banyak dan lebih esensial daripada kesamaan-kesamaan di antara mereka. Jika kita mencoba mendalami karakteristik masing-masing denominasi, kita akan mendapati hal yang sebaliknya. Sebagai contoh, hampir semua denominasi yang ada menerima poin-poin theologi dalam Pengakuan Iman Rasuli, terlepas dari mereka membacakannya secara rutin di dalam ibadah atau tidak.
Selain mengikis stigma-stigma negatif yang lahir dari sikap menyamaratakan, kita juga perlu memahami karakteristik kesatuan Kristiani. Kesatuan yang diajarkan di dalam Alkitab bukanlah secara organisatoris. Kesatuan kita adalah kesatuan di dalam iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah (Ef 4:13). Selama seseorang mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan, dia adalah bagian dari gereja universal (1 Kor 1:2; Rm 10:9-10).
Perbedaan organisasi tidak identik dengan perpecahan. Yang mempersatukan kita bukan nilai-nilai organisasi, melainkan iman dan pengetahuan tentang Kristus. Aspek-aspek lain yang tidak terlalu penting bisa saja berbeda-beda.
Dengan kata lain, kesatuan Kristiani bukanlah keseragaman. Perbedaan tetap ada, tetapi hal itu bukan penghalang bagi persatuan. Keragaman antar denominasi justru bisa menjadi kekayaan. Setiap denominasi menjadi rekan belajar bagi yang lain.
Penjelasan ini tidak berarti bahwa saya menyetujui semua denominasi yang ada. Saya juga tidak sedang mengatakan bahwa penyebab kemunculan mereka adalah selalu positif. Ada denominasi tertentu yang berasal dari konflik, entah perebutan kekuasaan atau uang. Ada denominasi tertentu yang mengajarkan doktrin yang tidak sehat, bahkan sesat.
Maksud dari tulisan ini hanyalah untuk menunjukkan bahwa keragaman denominasi pada dirinya sendiri tidak selalu negatif. Keragaman pada dirinya sendiri tidak bertabrakan dengan prinsip kesatuan Kristiani. Semua itu menjadi keliru apabila motivasi dan cara pendirian sebuah denominasi bertentangan dengan Alkitab. Baru keliru apabila ajaran dan praktik yang diapegang melanggar firman Tuhan. Soli Deo Gloria.
Marilah kita berdiri di atas kebenaran firman Tuhan. Kebenaran itulah yang mempersatukan. Marilah kita berdiri di atas Kristus Yesus, pondasi dan batu penjuru gereja, karena itulah yang mengokohkan kita semua. Amen.