(Lanjutan tgl 22 Desember 2019)
Alasan lain untuk menolak baptisan ulang adalah analogi sunat dan baptisan. Dalam Kolose 2:11-12 Paulus menyamakan baptisan dengan sunat yang dilakukan oleh Kristus. Maksudnya, sebagaimana dahulu dalam Perjanjian Lama sunat merupakan tanda perjanjian, demikian pula dengan baptisan dalam Perjanjian Baru. Karena itu, orang-orang percaya tidak wajibkan lagi untuk disunat secara lahiriah. Jika sunat dahulu dilakukan hanya satu kali, demikian pula baptisan seharusnya juga hanya dilakukan satu kali. Sebagaimana dahulu sunat dilakukan pada bayi, demikian pula baptisan diterapkan pada bayi atau anak-anak.
Berkaitan dengan cara baptisan percik yang dianggap tidak sah, anggapan seperti ini jelas tidak dapat dipertahankan. Kata Yunani baptizÅ tidak selalu berarti “menyelamkan”. Kalaupun dibatasi pada “menyelamkan ke dalam air”, yang diselamkan ke dalam air tidak selalu seluruh badan. Sebagai contoh, kata ini bisa digunakan untuk mencuci tangan (Mrk. 7:4; Lk. 11:38). Dalam beberapa konteks bahkan kata baptizÅ tidak berhubungan sama sekali dengan air, misalnya dibaptis dalam penderitaan (Mrk. 10:38-29) atau dibaptis dalam awan dan dalam laut (1Kor. 10:2).
Bagaimana dengan argumen bahwa baptisan kita harus seperti Yesus? Bukankah Yesus dibaptis secara selam? Jika argumen seperti ini dipertahankan, maka semua baptisan orang Kristen tidak akan sah. Jika baptisan harus diselam seperti yesus, maka baptisan juga harus dilakukan di Sungai Yordan dan oleh Yohanes Pembaptis. Apakah mereka yang bersikeras dengan baptisan ulang akan mau bersikap konsisten tentang hal ini? Jika tidak, mengapa hanya cara baptisan yang dipertahankan, tetapi tempat dan subjek baptisan tidak disamakan sekalian?
Itulah sebabnya gereja-gereja di abad permulaan tidak selalu menjalankan baptisan selam. Berbagai relief di katakombe dan tulisan-tulisan kuno menunjukkan keragaman cara baptisan, misalnya baptisan tuang di sebuah bak air yang tidak terlalu besar. Soli Deo Gloria.