Dalam kultur Kristiani di Indonesia, pertanyaan di atas mungkin tidak terlalu mengusik pikiran. Kita sangat jarang mendengar frasa “memberkati Tuhan”. Walaupun demikian, sebagian orang yang terbiasa dengan Alkitab terjemahan Bahasa Inggris atau dengan lagu-lagu rohani dari luar negeri pasti berkali-kali menemukan frasa tersebut. Siapa yang tidak pernah suka dengan lagu Bless the Lord O My Soul (10,000 Reasons) yang dipopulerkan oleh Matt Redmann? Siapa pula yang tidak pernah membaca seruan yang sama di berbagai bagian Kitab Mazmur?
Dalam taraf tertentu, kebingungan tentang pertanyaan di atas memang bisa dipahami. Sebagian orang Kristen dari kalangan tertentu sudah memiliki “muatan theologis” sendiri pada saat mendengar kata “berkat”. Bagi mereka, berkat selalu merujuk pada hal-hal jasmaniah: kemakmuran, keberhasilan dan popularitas. Jika demikian, bagaimana mungkin kita dapat memberkati Tuhan?
Dari sisi arti kata, “memberkati” (Ibrani bārak atau Yunani eulogeō) secara hurufiah berarti “memberikan atau mengucapkan sesuatu yang baik”. Apa yang diberikan atau diucapkan bisa variatif, tergantung pada konteks pemunculan kata tersebut. Sebagai contoh, kata “memberkati” (jika ditujukan pada orang) seringkali dikontraskan dengan “mengutuk” (Kis. 3:26; Rm. 12:14; Yak. 3:9). Berarti “memberkati” di sini mengandung makna “mengucapkan atau mengharapkan yang baik”.
Karena makna bārak atau eulogeō tergantung pada konteks, kita perlu memahami arti kata ini ketika dikenakan pada Allah. Tidak mungkin kita memahami kata ini sebagai rujukan pada hal-hal yang jasmaniah, seperti yang sering dipikirkan oleh orang-orang Kristen dari kalangan tertentu. Para penerjemah LAI:TB sendiri tampaknya sangat memahami hal ini. Mereka memilih terjemahan “memuji” (Mzm. 16:7; 26:12) atau “mengucapkan syukur” (1Kor. 10:16). Memberkati Tuhan berarti mengucapkan hal-hal yang baik kepada-Nya (pujian, ucapan syukur, dsb.). Memberkati Tuhan juga berarti memberikan hal-hal yang baik kepada-Nya (pengakuan, penghormatan, dsb.).
Jadi, penggunaan frasa “memberkati Tuhan” seyogyanya tidak perlu dipersoalkan. Yang perlu dikaji ulang adalah konsep populer yang membungkus kata “berkat”. Kata ini tidak boleh dibatasi pada hal-hal yang jasmaniah belaka. Selama kita memahami kata bārak atau eulogeō sesuai dengan konteks masing-masing, kita bisa memilih makna apa yang sesuai untuk Tuhan. Soli Deo Gloria.