Apakah Arti “Jangan Menghakimi”?

Posted on 17/03/2019 | In QnA | Leave a comment

Larangan ini pasti sudah akrab di telinga kita. Alkitab berkali-kali mengajarkan hal ini. Tuhan Yesus melarang para pengikut-Nya untuk menghakimi orang lain (Mat. 7:1-5). Paulus mengingatkan jemaat Korintus untuk tidak menghakimi sebelum waktunya (1Kor. 4:5).

Walaupun larangan ini sudah terkenal, tetapi makna di dalamnya seringkali masih kabur bagi sebagian orang. Sebagian menyamakan menghakimi dengan menilai, dan hal ini dianggap mutlak. Siapa saja yang menilai orang lain berarti dikategorikan “menghakimi”. Tidak heran, seseorang yang menganggap orang lain bersalah seringkali diberi label “menghakimi”.

Benarkah larangan untuk menghakimi harus dipahami seperti itu? Bagaimana ajaran Alkitab yang benar mengenai hal ini?

Untuk memahami isu ini dengan baik kita perlu mengerti bahwa dalam teks Yunani Alkitab kata “menghakimi” (krinō) dalam Alkitab bisa berarti menilai, membedakan, menghukum, atau menghakimi. Arti mana yang benar tergantung konteks yang ada. Jika bernuansa negatif, kata krinō diterjemahkan “menghakimi” (dalam arti suka menyalahkan orang lain). Dengan demikian, konteks harus menjadi pedoman utama dalam memahami larangan “jangan menghakimi”.

Penjelasan di atas sekaligus menunjukkan bahwa tidak semua tindakan krinō adalah keliru. Dalam Yohanes 7:24 Tuhan Yesus menasihati: “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil”. Perkataan ini menyiratkan bahwa “menghakimi” diperbolehkan sepanjang dilakukan dengan benar.

Sekarang marilah kita mengamati konteks Matius 7:1-5 secara lebih teliti. Pembacaan yang seksama menunjukkan bahwa larangan ini bukan berarti mengabaikan penilaian terhadap kesalahan orang lain. Ayat-ayat selanjutnya justru mengingatkan kita untuk membedakan orang. Tidak semua orang adalah sama. Ada orang yang begitu bebal sehingga nasihat pun tidak pantas lagi diberikan kepada dia (7:6). Secara khusus Tuhan Yesus bahkan memperingatkan pengikutnya untuk berhati-hati dengan para nabi palsu. Mereka seumpama serigala berbulu domba (7:15-23). Diperlukan penilaian yang arif untuk mengetahui kepalsuan mereka.

Jika demikian, penghakiman seperti apa yang dilarang di ayat 1-5? Pertama, penghakiman yang tidak berbelas-kasihan (ayat 2). Manusia cenderung menggunakan ukuran yang berat pada saat menilai orang lain, sedangkan untuk diri sendiri mereka lebih fleksibel dan tidak menuntut. Ini yang disebut penghakiman yang tidak berbelas-kasihan (Yak. 2:12-13).

Kedua, penghakiman yang munafik (ayat 3-5). Munafik di sini berarti merasa diri lebih baik daripada orang lain, padahal kenyataannya tidak demikian. Ini penghakiman yang diwarnai dengan kesombongan dan ketidaktahuan. Mereka merasa orang lain lebih berdosa daripada diri mereka.

Di luar Matius 7:1-5, Alkitab juga memberikan pedoman penting dalam menilai orang lain. Kita tidak boleh terburu-buru menilai orang lain hanya dari penampilan luarnya saja (Yoh. 7:24) tanpa mempertimbangkan semua fakta yang ada (Ams. 18:13). Daftar ini tentu saja bisa diperpanjang lagi.

Intinya, menghakimi tidak sama dengan menilai. Dalam budaya postmodern yang sangat diwarnai oleh relativisme, kebenaran ini perlu ditegaskan ulang. Tidak salah untuk menilai orang lain salah, asalkan hal itu dilakukan dengan benar: tidak sombong, tidak merasa diri lebih baik, dengan lemah-lembut dan penuh kasih (Tit. 3:2). Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko