Pertanyaan ini seringkali dimunculkan oleh kaum liberal dan penganut agama lain. Mereka beranggapan bahwa kanonisasi Alkitab baru dilakukan pada abad ke-4 sesudah agama Kristen mendapatkan kekuatan politis dari Kaisar Konstantinus. Pengesahan ini dilakukan melalui pelbagai konsili gereja. Para pemimpin Kristen yang hanya mewakili aliran tertentu memutuskan kitab-kitab tertentu sebagai firman Allah dan merumuskan doktrin-doktrin tertentu yang sejalan dengan aliran mereka. Melalui keputusan-keputusan konsili ini mereka mencoba membasmi dan mengesampingkan aliran-aliran lain yang tidak sejalan. Pemegang kekuatan menindas kaum marjinal. Sejarah ditulis ulang untuk kepentingan sang pemenang. Begitu kira-kira cara pandang mereka.
Bagaimana kita menyikapi tuduhan ini? Apakah tuduhan tersebut didukung oleh bukti-bukti sejarah yang solid?
Saya ingin menjawab dengan memberikan konfirmasi terhadap beberapa hal. Memang benar bahwa Kaisar Konstantinus menjadi Kristen. Memang benar bahwa agama Kristen diberi kebebasan. Memang benar ada pelbagai konsili gereja dilakukan. Memang benar kanonisasi formal diteguhkan di sana. Memang benar beberapa doktrin dirumuskan pada konsili-konsili itu.
Walaupun data historis tadi benar, kita perlu mencermati asumsi dan kesalahpahaman yang dicampurkan ke dalam data tersebut. Pertama, tidak benar apabila proses kanonisasi baru dilakukan di abad ke-4. Sejak awal gereja mula-mula sudah bergumul dengan tulisan-tulisan religius yang beredar pada waktu itu. Rasul Petrus mengakui otoritas dari tulisan-tulisan Paulus (2Pet. 3:16). Terlepas dari siapa penulis surat 2 Petrus dan kapan surat itu ditulis, jelas tulisan itu sudah ada jauh sebelum abad ke-4. Beberapa pemimpin gereja di abad ke-2 dan ke-3 juga sudah menggumulkan isu sudah lama (misalnya Irenaeus).
Ada pelbagai alasan mengapa gereja mula-mula merasa perlu untuk mengetahui tulisan-tulisan mana yang diilhamkan oleh Allah. Pada waktu itu segala macam tulisan religius sudah beredar cukup luas. Mereka perlu mengetahui tulisan mana yang benar-benar berasal dari para rasul (2Tes. 2:1-2).
Penganiayaan juga menjadi faktor pendorong yang lain. Sejak abad ke-1 orang-orang Kristen mengalami tekanan dan penganiayaan. Mereka bahkan harus menyembunyikan identitas dan aktivitas mereka sebagai orang Kristen. Tidak ada poin jika mereka dianiaya hanya gara-gara memiliki atau mengikuti tulisan yang bukan dari Allah. Mereka pasti ingin memastikan dari awal bahwa penganiayaan itu tidak konyol.
Kematian para rasul dan persebaran kekristenan ke berbagai daerah juga mendorong gereja mula-mula untuk memiliki otoritas yang lebih permanen. Jika semua rasul mati, siapa yang akan dijadikan tolok ukur kebenaran? Jika para rasul tidak bisa mengunjungi semua daerah, bagaimana orang-orang Kristen di sana bisa mendengarkan ajaran rasuli? Jawabannya adalah tulisan-tulisan para rasul.
Sehubungan dengan doktrin-doktrin yang disahkan di konsili-konsili abad ke-4, kita perlu membedakan antara konsep (isi) dan rumusan (peredaksian). Tidak ada doktrin dalam konsili itu yang tidak bersumber dari Alkitab. Tulisan bapa-bapa gereja sebelum abad ke-4 secara umum juga selaras dengan keputusan-keputusan tersebut.
Doktrin-doktrin itu perlu dirumuskan bukan karena sebelumnya tidak ada, tetapi karena ada tantangan yang spesifik. Ada beberapa ajaran sesat (bidat) yang beredar dan perlu diresponi. Pertimbangan inilah yang mendorong para pemimpin gereja membuat rumusan-rumusan doktrinal yang secara spesifik menjawab ajaran-ajaran menyimpang di bidat-bidat itu.
Tentang tuduhan bahwa aliran tertentu menggunakan kekuatan politis untuk menindas aliran-aliran lain yang berseberangan, hal ini murni merupakan tuduhan. Tidak ada bukti historis tentang pembakaran massal kitab-kitab religius yang tidak sesuai dengan aliran ortodoks, baik sebelum maupun sesudah abad ke-4. Tidak ada bukti historis tentang penganiayaan terhadap penganut ajaran sesat pada zaman Konstantinus.
Jadi, kaum liberal dan penganut agama lain perlu menyediakan dukungan-dukungan yang lebih kuat untuk mengukuhkan tuduhan mereka. Jika tidak, tuduhan itu tidak lebih daripada sekadar dugaan belaka. Soli Deo Gloria.