Apakah 1 Petrus 2:18 Mengajarkan Ketaatan Mutlak?

Posted on 06/03/2016 | In QnA | Leave a comment

Ketaatan kepada pimpinan beberapa kali diajarkan di dalam Alkitab. Paulus memerintahkan jemaat Roma untuk menaati pemerintah (Rm 13:1-7). Para hamba dinasihati untuk menaati tuan-tuan mereka (Ef 6:5-8).

Nasihat di 1 Petrus 2:18 sedikit berbeda. Petrus secara khusus menyebutkan bahwa relasi yang baik dengan pemimpin tetap perlu dilakukan sekalipun mereka adalah “bengis” (LAI:TB). Kata Yunani skolios di sini bisa mengandung beragam arti, misalnya tidak adil (ESV), kasar (NRSV/NIV), atau tidak masuk akal (NASB). Jadi, apakah ketaatan kepada pemimpin yang seperti ini tetap berlaku secara mutlak atas orang-orang Kristen?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita pertama-tama perlu memperhatikan secara seksama bahwa di teks ini Petrus tidak sedang membicarakan tentang ketaatan. Ia lebih menyoroti ketundukan daripada ketaatan. Para hamba dinasihati untuk tunduk (hypotassō) kepada tuan mereka. Hal ini berbeda dengan nasihat Paulus kepada para hamba di Efesus 6:5 untuk menaati (hypakouō) tuan mereka.

Ketundukan dan ketaatan memang berkaitan (wujud ketundukan adalah ketaatan), namun keduanya dapat dibedakan. Ketundukan lebih kepada status dan sikap hati. Secara hurufiah, kata hypotassō mengandung arti “meletakkan diri di bawah” sesuatu atau seseorang. Dalam konteks status dan sikap hati, semua bawahan harus menghormati pimpinan mereka tanpa terkecuali.

Hal penting kedua di 1 Petrus 2:18 yang harus digarisbawahi adalah fokus pada sifat pemimpin, bukan pada perintah mereka. Kata “baik” (agathos), “peramah” (epieikēs), atau “bengis” (skolios) semua merujuk pada sifat seseorang. Yang Petrus sedang sorot di sini adalah kepribadian tuan. Ini tentang bagaimana para hamba Kristiani memperlakukan tuan mereka sebagai manusia seutuhnya.

Ayat-ayat sesudahnya tidak membicarakan tentang penderitaan orang Kristen yang dipaksa melakukan kejahatan oleh tuan mereka. Sebaliknya, Petrus justru menekankan bahwa penderitaan karena kebenaran adalah kasih karunia Allah (ayat 19). Ungkapan semacam ini jelas tidak bertentangan dengan ide bahwa Petrus mengharuskan para hamba menaati tuan mereka sekalipun perintah-perintah itu keliru. Sekali lagi, yang menjadi sorotan di sini adalah sifat tuan yang jahat, bukan perintah mereka yang salah.

Alkitab di bagian lain pun mengajarkan bahwa ketaatan kepada pimpinan tidak bersifat mutlak. Ketaatan kepada pemerintah di Roma 13:1 ditutup dengan nasihat untuk memberikan kepada tiap orang apa yang menjadi haknya (Rm 13:7). Di Kisah Para Rasul 4:19 para rasul menolak untuk menaati perintah para pemimpin Yahudi yang berseberangan dengan kehendak Allah.

Sebagai kesimpulan kita dapat mengatakan bahwa ketundukan dan hormat kepada pimpinan bersifat mutlak. Tidak peduli seperti apa sifat dan perilaku pimpinan, bawahan wajib memberikan dua hal tersebut. Namun, ketaatan kepada pimpinan hanya diberikan apabila perintah mereka tidak bertabrakan dengan ajaran Alkitab. Contoh terbaik untuk keseimbangan antara ketundukan/hormat dan ketaatan adalah Daniel dan rekan-rekannya (Dan 1). Mereka menolak untuk memakan hidangan raja yang ditetapkan bagi orang-orang buangan. Walaupun demikian, penolakan ini bukan dilandasi oleh semangat kesombongan atau pemberontakan. Mereka hanya ingin menaati perintah Allah tanpa meremehkan penghormatan dan ketundukan kepada raja. Kiranya kita diberi kerendahhatian untuk menghormati dan tunduk pada pimpinan kita. Kiranya kita juga dikaruniakan hikmat untuk menilai apakah suatu perintah seturut dengan firman Tuhan. Soli Deo Gloria. 

Yakub Tri Handoko