Internet, terutama media sosial, menyediakan begitu banyak informasi. Nyaris apa saja sudah tersedia di sana. Dengan mudah semua orang bisa mendapatkannya.
Sayangnya tidak semua yang tersedia benar-benar berisi kebenaran. Maklum, siapa saja berhak untuk melakukan unggahan tanpa saringan. Alhasil banyak slogan populer yang justru menyesatkan. Karena terkenal, banyak orang menganggap slogan-slogan itu sudah pasti benar. Apa yang wajar diidentikkan dengan apa yang benar.
Salah satu slogan populer yang perlu dikaji ulang adalah “Jadilah dirimu sendiri!” Apakah pada dirinya kalimat ini salah? Tentu saja tidak! Semua tergantung pada konteks pemakaian dan pemahaman orang yang memakainya. Jika slogan ini dijadikan sebuah nasihat agar seseorang tidak iri hati atau terintimidasi dengan kehebatan atau keberhasilan orang lain, slogan ini “mungkin” mengandung kebenaran tertentu di dalamnya. Walaupun demikian, dalam banyak kasus, kalimat ini memang diucapkan dengan konsep yang tidak benar.
Yang terutama, slogan ini bertabrakan dengan natur manusia yang berdosa. Setiap kali saya mendengarkan nasihat “Jadilah dirimu sendiri!” saya bertanya-tanya: “Diri seperti apa yang dimaksud?” Mengikuti kata hati? Hati seperti apa yang perkataannya perlu diikuti? Saya tahu kebobrokan dan kehancuran dalam diri saya. Ada momen-momen tertentu saya bahkan begitu kecewa dan tidak bisa menerima diri saya sendiri. Kalau bukan karena Injil Yesus Kristus yang melaluinya saya diterima apa adanya, saya mungkin sudah sedemikian jijik dan tidak bisa memaafkan diri saya. Saya tidak ingin menjadi diri saya sendiri! Saya ingin menjadi versi saya yang lebih baik (di mata Tuhan).
Kedua, slogan ini juga seringkali disamakan dengan sikap cuek terhadap omongan orang lain. Jadi diri sendiri berarti berbuat apa saja yang menyenangkan diri sendiri, tanpa peduli dengan perkataan orang lain. Sekali lagi, di balik slogan ini ada arogansi tersembunyi bahwa manusia mampu untuk memilih sendiri apa yang baik bagi dirinya. Ini jelas dosa yang sangat tua. Hawa terkecoh dengan godaan Iblis yang menawarkan otonomi moral seperti ini (Kej. 3:4-6). Keberdosaan dalam diri kita seharusnya menyadarkan kita bahwa kita membutuhkan masukan dan bantuan orang lain. Kita tidak selalu objektif dan tepat dalam menilai diri sendiri.
Ketiga, slogan ini seringkali dijadikan wujud otentisitas yang semu dan keliru. Para penganut slogan ini dengan bangga menganggap diri mereka otentik: berani tampil apa adanya, tidak ada yang ditutup-tutupi. Persoalannya, kita sendiri seringkali tidak benar-benar memahami diri sendiri. Sebagai contoh, pada saat kita melakukan sebuah tindakan di area abu-abu (dalam arti “bisa diperdebatkan sebagai kebajikan atau kesalahan”), hati kita pasti bergulat bergitu rupa untuk mengikuti suara hati yang mana. Ketika kita ingin menjadi otentik, kita otentik terhadap suara hati yang mana? Contoh lain, dalam banyak kasus orang menyadari tindakannya keliru, tetapi dia memilih untuk membanggakan hal itu. Nah, ketika dia mencoba menjadi otentik, dia otentik kepada bagian diri yang mana?
Terakhir, slogan ini tidak bisa dihidupi secara konsisten. Jika semua orang meyakini dan menghidupi versi otentisitas seperti di atas, dunia akan berada dalam kekacauan yang besar. Jika atas nama otentisitas maka apapun yang dilakukan adalah benar, dunia akan hancur berantakan. Bayangkan seorang teroris yang mengikuti suara hatinya yang sudah dibentuk oleh ideologinya yang salah. Dia merasa bahwa ideologinya memberi pembenaran untuk memusnahkan nyawa banyak orang. Dia hanya mengikuti suara hati dan keyakinannya. Akankah kita akan memuji “otentisitasnya”? Seandainya tindakan teroris ini menimpa Si X yang mengadopsi slogan “Jadilah dirimu sendiri!” apakah Si X juga akan menghargai versi otentisitas teroris tadi?
Di samping itu, tidak ada manusia yang benar-benar hidup secara otentik, dalam arti mengikuti suara hati sepenuhnya, tanpa tekanan dari luar. Kita perlu memahami bahwa suara hati tidak netral. Ada banyak faktor yang turut membentuk hati dan keyakinan seseorang. Ketika seseorang menganggap dirinya “otentik dengan suara hati,” dia sebenarnya terkondisikan oleh faktor-faktor penentu di balik sikap itu. Bahkan ketika dia ikut-ikutan tren untuk menjadi diri sendiri, dia sedang gagal menjadi pribadi yang otentik (menurut versi dia). Dia terpengaruh oleh tekanan dari luar.
Di dalam Injil Yesus Kristus Allah menawarkan otentisitas yang sejati. Kita tidak perlu berpura-pura dan ingin tampil sempurna. Kita bisa menjadi diri kita yang sebenarnya, dengan semua kehancurannya. Namun, kasih karunia Allah tidak hanya mau menerima kita apa adanya. Itu bukan kasih. Itu tanda menyerah. Allah tahu bahwa kita, dengan anugerah dan kuasa-Nya, bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Allah tidak hanya menerima kita apa adanya, tetapi dia juga ingin mengubahkan kita menjadi seperti Anak-Nya. Itulah kasih karunia yang utuh! Soli Deo Gloria.