Apa arti hari di dalam kisah penciptaan?

Posted on 26/06/2016 | In QnA | Leave a comment

Kejadian 1 secara keseluruhan didominasi oleh kemunculan kata ‘hari’ (yom). Kata ini telah menimbulkan berbagai macam pendapat di antara para penafsir. Apakah yom di Kejadian 1 merujuk pada hari dalam arti 24 jam? Seandainya benar, bagaimana penghitungan hari ke-1 sampai ke-3 (sebelum penetapan matahari dan bulan)? Seandainya tidak, apakah yang dimaksud dengan yom di pasal ini?

Pandangan tradisional yang dianut oleh sebagian besar orang Kristen menganggap yom di Kejadian 1 sebagai hari dalam pengertian 24 jam. Ada beberapa alasan yang biasanya dipakai oleh penganut pandangan ini. Pertama, kata ‘petang dan pagi’ lebih mengarah pada hari dalam arti 24 jam. Kedua, asal usul pengudusan hari Sabat (Kel 20:11) didasarkan pada kisah dari Kejadian 1:1-2:3. Keluaran 20:11 “sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya”

Sebagian kecil sarjana menolak pandangan tradisional di atas. Mereka mengusulkan bahwa di pasal 1 hanya sekedar menunjukkan enam hari Musa mendapatkan  visi dari Allah tentang penciptaan, bukan enam hari Allah mencipta.

Sarjana lain mencoba memahami yom secara sastra. Mereka mengatakan bahwa hari-hari yang digambarkan di Kejadian 1 tidak boleh dipahami secara kronologis, melainkan dipahami dari segi keindahan struktur sastranya. Keindahan ini tersirat dari paralelisme (kesejajaran) yang ada: hari 1-3 merupakan persiapan (tempat), sedangkan hari 4-6 merupakan pengisian.

Pandangan lain yang mulai banyak dianut oleh para sarjana adalah pendapat yang menyatakan bahwa yom merujuk pada periode waktu tertentu yang panjangnya bervariasi. Yom menurut penganut pandangan ini hanya dipahami sebagai ungkapan yang menunjukkan periode kerja Allah saja. Seberapa lama periode tersebut tidak dibahas dalam teks, sehingga kita tidak perlu berspekulasi tentang rentang waktu tersebut. Penjelasan di bawah ini akan membuktikan bahwa pendapat ini lebih bisa diterima daripada pendapat yang menganggap yom selama 24 jam.

Hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah bahwa Kejadian 1 ditulis bukan untuk menunjukkan berapa lama Allah menciptakan alam semesta. Kejadian 1 ingin menunjukkan bahwa Allah yang memimpin perjalanan bangsa Israel di padang gurun (Keluaran-Ulangan) adalah Allah yang sama yang menciptakan alam semesta. Tujuan lain adalah menunjukkan bahwa benda-benda yang biasa disembah bangsa-bangsa kafir waktu itu (matahari, laut, binatang tertentu) hanyalah ciptaan saja, bahkan lebih rendah daripada manusia. Bertolak dari hal ini, yom lebih baik diinterpretasikan sebagai periode tertentu yang tidak spesifik, karena penulis kitab Kejadian juga tidak menekankan hal itu.

Alkitab juga memberikan bukti bahwa kata yôm tidak selalu berarti 24 jam. Yôm bisa berarti jangka waktu yang tak tentu (bdk. Kej. 2:4; 5:1; 29:7; 35:3). Pemunculan kata yôm di Kejadian 2:4 juga mendukung pendapat bahwa yôm bukan 24 jam. Kejadian 2:4 “pada hari (LAI:TB tidak menerjemahkan kata ini) Allah menciptakan langit dan bumi”. Penggunaan yôm di sini jelas memiliki rentang waktu (durasi) lebih dari 24 jam (lima hari? enam hari?).

 Dari sisi tata bahasa Ibrani, kata yôm menunjukkan periode waktu yang tidak tertentu. Hal ini bisa dilihat dari ketidakadaan artikel di depan kata yôm (ASV/RSV/NASB). Terjemahan yang lebih hurufiah terdapat di Young Literal Translation. YLT menerjemahkan “hari satu”, “hari dua”, dst., (bukan “hari ke-1”, “hari ke-2”, dst.), karena yôm di sini memang berbentuk cardinal number (angka biasa), bukan ordinal number (angka urutan).

Penyelidikan yang lebih teliti terhadap aktivitas penciptaan di hari ke-6 menunjukkan bahwa hari ke-6 pasti lebih dari 24 jam.

Kejadian 2:18 menyiratkan durasi waktu tertentu selama Adam menjalankan tugasnya (memelihara dan mengusahakan taman Eden), hingga akhirnya Allah melihat ‘tidak baik manusia seorang diri saja’ untuk melakukan perintah di ayat 15.

Rasa kesepian dan kebutuhan terhadap seorang pendamping yang dialami Adam (2:20)  pasti merupakan suatu proses panjang.

Tindakan Adam ‘menamai semua bintang’ (2:19-20) pasti membutuhkan waktu lebih dari 24 jam.

Dalam Kejadian 2:23 ada satu keterangan waktu yang tidak diterjemahkan oleh LAI:TB, yaitu kata hapa’am, yang seharusnya diterjemahkan “sekarang setelah sekian lama” (“‘now at length” atau “this at last”, RSV). Kejadian 29:34 “sekali ini (hapa’am) suamiku akan lebih erat kepadaku”. Hapa’am dalam teks ini merujuk pada waktu setelah melahirkan tiga anak (ayat 34b). Kejadian 46:30 “sekarang (hapa’am) bolehlah aku mati”. Hapa’am di sini dihitung mulai kejadian di pasal 37 (ketika Yusuf dikabarkan telah meinggal). Dari penggunaan kata hapa’am di Kejadian terlihat bahwa kata ini merujuk pada rentang waktu yang lama. Tidak heran, ketika Adam melihat Hawa, ia berkata “sekarang setelah sekian lama!”

Frase ‘jadilah petang dan pagi’ (Kej 1:5, 8, 13, 19, 23, 31) hanya bersifat simbolis, karena dianggap sesuai dengan gambaran kesempurnaan/kegenapan satu periode kerja Allah. Petang-pagi tidak mungkin merujuk pada hari 24 jam, karena frase ini sudah muncul di hari ke-1 sampai ke-3, sebelum penetapan matahari dan bulan di hari ke-4. Selain itu, Alkitab memberikan petunjuk bahwa orang Yahudi menghitung hari dari pagi sampai petang, bukan dari petang sampai pagi (Kej 19:33-34; Hak 6:38; 21:4 bdk. Yoh 4:6b ‘jam sembilan= jam ketiga’).

Peraturan Sabat yang didasarkan pada kisah penciptaan juga tidak boleh diartikan secara hurufiah begitu saja. Hal ini sebaiknya dipahami sebagai sebuah analogi. Seandainya hari ke-7 penciptaan identik dengan hari ke-7 dalam peraturan Sabat, atas dasar apa hari ke-7 (Sabat) berdurasi 24 jam, sedangkan Kejadian 2:3 tidak memberikan indikasi jelas bahwa Allah beristirahat selama sehari (bandingkan absennya rujukan “petang-pagi” di hari ke-7)? Di samping itu, peraturan tentang Sabat yang lain, misalnya tahun Sabat (Kel 23:10-11; Im 25:3-7) dan Sabat pembebasan (7x7 tahun?, Im 25:8-17), menyiratkan bahwa hari ke-7 dan peraturan Sabat hanya bersifat analogi (bukan identik). Peraturan tentang berbagai macam Sabat justru semakin meneguhkan pandangan bahwa “hari” di Kejadian 1 hanyalah sebuah periode tertentu yang durasinya bukan 24 jam.

Pemahaman bahwa yôm = 24 jam juga tidak selaras dengan konsep penciptaan yang tampaknya terjadi secara spontan. Ketika Allah menciptakan terang, cakrawala, laut, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya, Dia menciptakan semua itu secara spontan melalui firman-Nya. Jika penciptaaan spontan ini ditolak, maka masalah yang ditimbulkan akan semakin banyak. Sebagai contoh, apakah 24 jam cukup untuk memisahkan air yang di bawah dan yang di atas? Jika penciptaan terjadi secara spontan, maka yôm di sini tidak mungkin 24 jam. Mengapa? Karena jika yôm = 24 jam dan penciptaan terjadi secara spontan, maka pada dasarnya Allah beristirahat setiap hari. Dia perlu menunggu 24 jam habis, setelah itu Dia mulai bekerja lagi di keesokan harinya. Dia tampaknya tidak perlu menunggu sampai hari ke-7 untuk beristirahat, karena setiap hari Dia sudah beristirahat! Ini jelas bertentangan dengan Alkitab.

Argumen terakhir untuk menentang konsep bahwa yôm = 24 jam berkaitan dengan konsep teologis-filosofis. Kita tidak boleh memikirkan bahwa waktu itu kekal dan Allah bekerja di dalam waktu. Sebaliknya, waktu bergantung pada pekerjaan Allah. Setiap kali Allah melakukan suatu penciptaan, maka itu menjadi dasar bagi yôm. Allah tidak dibatasi oleh yôm, sebaiknya yôm didasarkan pada setiap pekerjaan Allah. Pemahaman ini jauh lebih dapat diterima daripada membayangkan Allah harus menunggu pergantian hari untuk melakukan penciptaan berikutnya. Ketika Allah menciptakan terang, itulah hari ke-1. Ketika Ia menciptakan cakrawala, itulah hari ke-2. Begitu seterusnya.

Dari seluruh pemaparan di atas, argumentasi yang mendukung yôm sebagai suatu periode/jangka waktu tertentu tampaknya lebih bisa diterima. Walaupun demikian, ada beberapa hal yang perlu kita dipahami. Penafsiran yôm sebagai suatu periode waktu tertentu tidak selalu menyiratkan bahwa periode tersebut adalah periode panjang (jutaan tahun). Teks benar-benar tidak memberikan petunjuk jelas tentang durasi dari setiap yôm. Di samping itu, penafsiran ini tidak boleh semata-mata hanya untuk mengharmoniskan Kejadian 1 dengan ilmu pengetahuan (sains). Konklusi ini ditentukan oleh teks Kejadian 1 itu sendiri. Alkitab tidak perlu disesuaikan dengan ilmu pengetahuan, karena Alkitab adalah sumber kebenaran tertinggi. Yang perlu diubah adalah cara orang percaya menafsirkan Alkitab.

Yakub Tri Handoko