Sebuah pepatah populer mengatakan: “efek samping suatu obat kadangkala lebih buruk daripada penyakit asal.” Persoalan lama tidak sepenuhnya hilang. Hanya berganti wujud. Itulah yang kadangkala terjadi dalam kerohanian.
Sejarah mencatat bahwa sebagian orang Kristen telah terjebak pada antinomianisme (anti = melawan, nomos = hukum, isme = ideologi), yaitu sebuah ideologi yang mengajarkan bahwa orang Kristen tidak perlu menaati hukum apapun. Orang Kristen sudah dimerdekakan dari Hukum Taurat, karena itu mereka tidak lagi terikat oleh Taurat.
Pertanyaan antisipatif (ayat 15)
Surat Roma diwarnai dengan gaya diatribe, yaitu semacam dialog imajiner. Paulus menyatakan suatu kebenaran, lalu ia mengantisipasi keberatan orang dengan cara mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang akan ia jawab dalam uraiannya. Strategi sastra ini sangat jitu. Apa yang dikatakan Paulus di pasal 3:21-5:21 bisa menimbulkan kesalahpahaman. Jika orang berdosa diselamatkan karena iman dan bukan karena perbuatan baik, apakah mereka masih perlu berbuat baik? Jika orang-orang Kristen tidak lagi di bawah kuasa Taurat, apakah mereka masih dituntut untuk menaatinya?
Apa yang diantisipasi Paulus merupakan bahaya umum yang kerap terjadi. Jemaat di Galatia ditegur dan dinasihati supaya tidak menggunakan kebebasan di dalam Kristus sebagai kesempatan untuk berbuat dosa (Gal 5:13). Beberapa jemaat Korintus bukan hanya berbuat dosa, tetapi mereka bahkan menyombongkan dosa itu (1 Kor 5:1-2). Kita pun tidak jarang menemukan beberapa orang Kristen yang me(nyalah)gunakan teks Alkitab untuk membenarkan perbuatan mereka yang keliru. Apa yang benar bisa digunakan secara tidak benar. Begitu pula dengan kebebasan di dalam Kristus.
Orang Kristen bukan penganut antinomianisme (ayat 16-23)
Kebebasan bukan kekacauan. Mereka yang mengagungkan kebebasan seringkali justru diperhamba oleh kebebasan itu. Kebebasan di dalam Kristus adalah untuk disyukuri, bukan dimanipulasi.
Dalam teks ini Paulus memberikan dua alasan mengapa orang-orang Kristen tidak boleh berbuat sembarangan. Pertama, dari sisi konsekuensi dosa (ayat 16, 21). Dengan menggunakan ilustrasi dari konsep perbudakan kuno pada zaman Romawi, Paulus menjelaskan bahwa perhambaan di bawah dosa akan menghasilkan kematian. Konsekuensi perbuatan dosa bukan hanya pada fakta perhambaan saja (kehilangan kebebasan), tetapi juga pada akibat (lihat dua kata depan eis yang menyiratkan tujuan dalam ayat ini) yang ditimbulkan dari ketaatan tersebut. Orang yang terus berbuat dosa akan mengalami kematian.
Kematian di ayat 16 dan 21 sangat mungkin merujuk pada kematian kekal, sebab dikontraskan dengan kehidupan kekal (bdk. ayat 22-23). Kematian ini pasti melibatkan kematian spiritual di masa kini dan kematian fisik, tetapi penekanan terletak pada kematian kekal. Mereka yang terus menerus hidup di dalam dosa berarti belum pernah dibebaskan dari perbudakan dosa. Mereka yang belum dibebaskan dari dosa akan menuju pada kebinasaan kekal.
Konsekuensi lain yang dipikirkan oleh Paulus adalah malu (ayat 21). Ungkapan “merasa malu sekarang” mengasumsikan perspektif pertobatan. Sesudah berada di dalam Kristus, orang-orang percaya melihat dosa dengan cara yang baru. Mereka tidak lagi membanggakan dosa, melainkan merasa malu. Tidak seperti ketaatan pada Allah yang berbuahkan pengudusan (ayat 22), ketaatan pada dosa hanya menghasilkan kecemaran yang berujung pada kematian. Dosa adalah wujud perbudakan yang buruk, sehingga sepatutnya mendatangkan malu pada yang melakukannya.
Kedua, dari sisi status orang Kristen (ayat 17-20, 22). Dalam bagian ini Paulus beberapa kali menegaskan bahwa orang-orang Kristen sudah mengalami perubahan status. Dahulu mereka adalah hamba dosa, namun sekarang menjadi hamba kebenaran (ayat 18-19) atau hamba Allah (ayat 22).
Bentuk kata kerja pasif “telah dimerdekakan” (ayat 18, 22) mengasumsikan Allah sebagai subjek. Status yang baru ini bukan hasil upaya orang berdosa. Allah yang lebih dahulu melepaskan mereka dari perbudakan dosa, sehingga mereka mampu hidup sebagai hamba kebenaran.
Tanggung-jawab manusia bukan mengubah status. Itu murni hasil anugerah Allah (ayat 23b). Walaupun demikian, hamba Allah dituntut untuk hidup sesuai dengan statusnya. Kesesuaian ini diwujudkan dalam bentuk ketaatan yang sungguh-sungguh terhadap pengajaran rasuli (ayat 17b). Yang dipentingkan di sini adalah kesungguhan (“dengan segenap hati,” lit. “bersumber dari hati”) dan ukuran kebenaran (“yang telah diteruskan kepadamu”). Bukan ketaatan yang munafik atau legalistik. Bukan ketaatan yang dinilai dari patokan yang keliru.
Wujud kesesuaian yang lain adalah penyerahan seluruh hidup untuk Allah (ayat 22). “Anggota-anggota tubuh” di sini mungkin merujuk pada aspek fisik manusia yang dikontraskan dengan aspek batiniah di ayat 17b (“segenap hati”). Kesungguhan dalam hati perlu dibuktikan melalui tindakan yang konkrit. Penerimaan ajaran yang benar perlu dimanifestasikan melalui ketaatan yang praktis. Ini bukan hanya tentang hati (heart) atau pikiran (head), tetapi juga tindakan (hands).
Tidak ada netralitas dalam spiritualitas
Kontras antara hamba dosa dan hamba kebenaran dalam Roma 6:15-23 muncul berkali-kali. Ini merupakan sebuah penekanan. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa setiap manusia hanya diperhadapkan pada dua pilihan yang eksklusif satu sama lain. Tidak memilih yang satu berarti memilih yang lain, begitu pula sebaliknya. Tidak ada netralitas.
Keengganan untuk menjadi hamba kebenaran bukan menuju pada netralitas, melainkan pada perbudakan dosa. Hamba kebenaran atau hamba dosa. Kehidupan atau kematian. Pengudusan atau kecemaran. Tidak ada jalan tengah.
Di manakah Saudara berdiri saat ini? Apakah Saudara berhasrat kuat untuk melayani kebenaran? Jika tidak, berarti Saudara sedang berhasrat untuk kebalikannya. Kiranya khotbah hari ini menegur kita. Kiranya kekudusan firman-Nya menyelidiki hati kita yang terdalam. Kiranya ada pertobatan yang sungguh. Kiranya ada ketaatan yang tulus dari hati kita. Soli Deo Gloria.