Antara Dia dan Mama (Kejadian 24:62-67)

Posted on 17/02/2019 | In Teaching | Leave a comment

Sebagian pasangan memiliki mertua yang seperti orang tua. Relasi legal mereka sudah seperti relasi biologis. Tidak ada beda antara anak dan menantu, mertua dan orang tua. Mereka layak disebut sebagai pasangan yang berbahagia.

Walaupun demikian, di sisi lain keadaan memang seringkali berbeda. Bagi banyak pasangan yang lain, relasi dengan orang tua (mertua) merupakan isu yang membara. Tidak jarang malah meletuskan prahara dalam rumah tangga.

Bagaimana seharusnya orang Kristen menyikapi isu ini? Bagaimana memandang pasangan dalam kaitan dengan orang tua?

Teks kita hari ini menyinggung tentang relasi seseorang dengan pasangan hidup maupun orang tuanya. Ishak sangat mengasihi Sara, ibunya. Kematian ibunya membuat Ishak bersedih hati. Dia baru dihiburkan sesudah mendapatkan Ribka (24:67).

Kita tidak tahu persis berapa lama Sara sudah meninggal dunia sebelum Ishak akhirnya menikah dengan Ribka. Yang kita tahu, kematian Sara merupakan topik yang sangat penting. Topik ini secara khusus diuraikan di pasal 23. Pasal 24 juga ditutup dengan rujukan eksplisit tentang kematian Sara.

Nilai penting kematian Sara dapat dilihat dari dua sisi. Secara pribadi, Ishak memang sangat kehilangan dengan kematian ibunya. Walaupun Alkitab tidak mencatat dengan detil dan konkrit tentang kualitas relasi Ishak dan ibunya, kita tahu bahwa Ishak sangat mengasihi ibunya. Hal ini sangat wajar, karena Sara mendapatkan Ishak dengan penuh perjuangan. Proses yang dilalui sangat panjang, membingungkan, dan menyakitkan. Ada kekosongan dalam hati Ishak setelah kematian ibunya. Kemah ibunya juga selama ini dibiarkan kosong. Begitu mendapatkan Ribka, ruang kosong itu tertutupi. Kemah Sara diisi oleh Ribka. Kesedihan Ishak dihapuskan melalui kehadiran Ribka.

Dari perspektif yang lebih luas, kematian Sara menandai sebuah periode perjanjian yang baru. Janji Allah kepada Abraham di Kejadian 12:1-3 memang dipenuhi satu demi satu. Abraham sudah menjadi kaya. Dia juga sudah memiliki keturunan. Persoalannya, janji itu belum sepenuhnya digenpai, sementara Sara sudah mati (Kej. 23). Abraham juga sudah sangat lanjut usia (Kej. 24:1). Bagaimana dengan penggenapan total dari janji tersebut? Apakah TUHAN berhenti berkarya? Tentu saja tidak! Sebuah babak baru tampaknya sedang menanti di depan. Allah berkarya melalui Ishak.

Jadi, kematian Sara bukan hanya penting bagi keseluruhan kisah di Kitab Kejadian, tetapi bagi Ishak secara pribadi. Dia menyadari bahwa Ribka akan menggantikan peranan ibunya dalam proses penggenapan janji Allah. Ribka juga akan mengisi kekosongan hati selepas kematian ibunya. Tidak dapat dipungkiri, Ribka sedang disiapkan untuk memainkan sebuah peranan penting dalam penggenapan janji TUHAN maupun dalam kehidupan pribadi Ishak.

Setiap pernikahan Kristiani seharusnya juga demikian. Ada posisi yang digantikan, tetapi ada juga peranan yang diteruskan. Pasangan akan menggantikan posisi orang tua. Komitmen manusiawi tertinggi yang sebelumnya ditujukan kepada orang tua, sekarang digeser kepada pasangan (Kej. 2:24). Yang paling dekat dan penting bagi seseorang adalah pasangannya.

Hal ini tentu saja bukan berarti pengabaian terhadap orang tua. Pasangan Yahudi tetap hidup bersama orang tua dalam sebuah keluarga besar. Mereka juga patut memelihara orang tua sampai pada usia lanjut mereka (bdk. Mat. 15:5-6).

Walaupun ada pergantian posisi, peranan dalam penggenapan rencana ilahi tetaplah sama. Apa yang dilakukan oleh orang tua kini dilanjutkan oleh anak-anaknya. Jangan sampai pernikahan justru menjadi penghambat pemenuhan rencana tersebut. Pernikahan adalah untuk kemuliaan Allah, demi penggenapan rencana-Nya.

Ada dua hal yang harus ada dalam sebuah pernikahan supaya pergeseran dan penerusan tadi bisa berjalan dengan baik. Dua hal ini juga berkaitan erat. Poin pertama membawa konsekuensi pada poin kedua.

Pertama, keyakinan terhadap pimpinan TUHAN (ayat 66). Ini bukan pertama kalinya hamba Abraham menceritakan petualangannya mencarikan jodoh bagi Ishak. Di depan keluarga Ribka, dia sudah menjelaskan bagaimana TUHAN menyertai dan membuat perjalanannya berhasil (24:34-49, 56). Keluarga Ribka pun meyakini bahwa semua itu datangnya dari TUHAN (24:50-51). Sekarang hamba itu mengisahkan sekali lagi kepada Ishak (24:66). Respons yang ditunjukkan oleh Ishak di ayat selanjutnya menunjukkan bahwa Ishak juga meyakini pimpinan TUHAN dalam semua proses yang terjadi.

Keyakinan seperti ini sangat penting dalam sebuah pernikahan. Perjalanan di depan tidak selalu gampang. Banyak rintangan, persoalan, dan kekecewaan. Di tengah momen-momen seperti ini, seseorang seringkali bertanya-tanya: “Apakah memang dia jodoh dari Tuhan?”

Hal yang sama terjadi pada pernikahan Ishak dan Ribka. Mereka memiliki sebuah masalah yang tidak mudah, yaitu kemandulan Ribka (25:21). Namun, Ishak menyikapi situasi ini secara berbeda dengan Abraham, ayahnya. Dia tidak mau mengambil perempuan lain untuk memberikan dia anak (bdk. Kej. 15). Dia hanya berserah kepada Tuhan di dalam doa. Akhirnya TUHAN membuka kandungan Ribka. Mereka bahkan dikarunia anak kembar, Esau dan Yakub (25:22-24).

Kedua, komitmen untuk menerima dan mengasihi (ayat 67). Dalam konteks zaman dahulu yang tidak mengenal fase pacaran, hal pertama yang harus jelas adalah keyakinan terhadap pimpinan TUHAN. Pernikahan dan cinta menyusul kemudian. Itulah yang dicatat di ayat 67: “Lalu Ishak membawa Ribka ke dalam kemah Sara, ibunya, dan mengambil dia menjadi isterinya. Ishak mencintainya dan demikian ia dihiburkan setelah ibunya meninggal”.

Pernikahan berbicara tentang komitmen untuk mengambil seseorang dan mencintai dia. Sayangnya, dua hal ini seringkali tidak berdampingan. Sebagian orang berani memgambil seseorang ke dalam hidupnya, tetapi di tengah jalan merasa tidak bisa mencintai dia lagi. Ini bukan sebuah komitmen. Ada pula yang mencintai dengan berapi-api tetapi tidak berani mengambil orang lain sebagai suami-isteri. Ini juga bukan sebuah komitmen.

Kegagalan untuk mengambil dan mencintai secara berbarengan dan permanen seringkali disebabkan oleh relasi yang saling menuntut. Ada harapan-harapan tertentu (expectations) yang ingin diraih dalam pernikahan. Ketika ada yang tak tergapai, harapan itu berubah menjadi tuntutan-tuntutan. Ketika terus-menerus tidak terpenuhi, tuntutan kini menjelma menjadi hukuman. Pasangan tidak lagi mau untuk mencintai apa adanya seperti semula.

Ishak tidak seperti itu. Dengan yakin dia mengambil Ribka. Dengan konsisten dia terus mencintanya.

Yang perlu digarisbawahi adalah bagian yang terakhir dari ayat 67. Ishak memiliki kesedihan yang besar sesudah kematian ibunya. Kesedihan itu kini sirna. Menariknya, kesedihan itu lenyap bukan ketika Ribka mengasihi Ishak, tetapi sebaliknya. Dengan jelas Alkitab menuliskan: “Ishak mencintainya dan demikian ia dihiburkan setelah ibunya meninggal”.

Ini adalah sebuah hubungan yang tidak dikendalikan oleh tuntutan-tuntutan. Sebaliknya, pernikahan sejati adalah tentang memberi diri. Ishak tidak mungkin bisa menjadi suami yang baik bagi Ribka jika dia masih menyimpan figur almarhum ibunya dalam hati sehingga hidupnya dikuasai oleh kesedihan. Itu tidak adil bagi Ribka. Ishak tidak mungkin menjadi suami yang baik bagi Ribka kalau dia hanya menjadikan Ribka sebagai pelipur lara. Ini bukan mengasihi, melainkan memanipulasi.

Kasih Bapa kepada kita merupakan demonstrasi kasih terbesar. Dia mau mengambil kita sebagai anak-anak-Nya, padahal kita dahulu adalah musuh-musuh-Nya. Dia rela mengasihi kita begitu rupa. Dia tidak pernah lelah dan menyerah dalam mengejar kita.

Bagi setiap pasangan, apakah Anda benar-benar mau berkomitmen untuk meneladani kasih Bapa tersebut dan mencurahkannya pada pasangan? Bagi para menantu, apakah kasih Bapa itu cukup besar sehingga memampukan Anda untuk menerima mertua apa adanya dan mengasihi dia? Bagi para mertua, apakah Anda rela mengesampingkan usia dan mulai mengambil inisiatif untuk mengasihi pasangan? Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko