Alkitab sering menggambarkan Allah sebagai Allah yang cemburu. Paling tidak ada lebih dari 10 kali kecemburuan Allah disebutkan (misalnya Kel. 20:5; 34:14; Ul. 5:9; 6:15; Yak. 4:5).
Ajaran Alkitab di atas bagi sebagian orang cukup membingungkan. Bagaimana mungkin Allah yang baik mencemburui sesuatu? Mengapa Dia bertingkah laku seperti anak-anak muda yang mudah cemburu tanpa sebab? Apakah hal itu tidak berlebihan?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita menyimak asumsi di baliknya. Menurut saya, pertanyaan ini berhubungan dengan konotasi negatif pada kata “cemburu”. Paling tidak, menurut banyak orang, kata “cemburu” mengandung makna negatif. Ketika kata ini dikenakan pada Allah yang baik, maka akan timbul kesulitan dan kebingungan. Bagi orang Kristen, kesan negatif tersebut semakin mengental karena ada ayat yang mengatakan bahwa “kasih itu tidak cemburu” (1Kor. 13:4).
Kesan negatif di atas perlu dijernihkan terlebih dahulu. Kesan seperti ini seringkali muncul karena dipicu oleh kegagalan untuk membedakan antara “cemburu” (jealous) dan “iri hati” (envy). Kata pertama tidak selalu bermakna negatif. Kata ini berarti menginginkan atau menuntut apa yang memang menjadi hak seseorang. Kata kedua, yaitu iri hati, merujuk pada sikap mengingini apa yang bukan menjadi hak seseorang. Jadi, kecemburuan yang bukan pada tempatnya (tidak sesuai haknya) adalah keirihatian.
Secara khusus berkaitan dengan 1 Korintus 13:4, kita harus memahami bahwa dalam teks ini terjemahan LAI:TB memang kurang tepat. Hampir semua versi Inggris memilih terjemahan “kasih itu tidak iri hati” (kecuali NASB). Seperti akan diuraikan selanjutnya, kasih dan cemburu justru tidak mungkin terpisahkan.
Nah, bagaimana dengan Allah yang cemburu? Pertama-tama kita perlu mengerti bahwa kata kerja Ibrani qÄnÄ maupun Yunani zÄ“loÅ bisa dikaitkan dengan semangat yang menggebu-gebu maupun kecemburuan. Tidak heran, dalam banyak versi Inggris kita akan menemukan bahwa teks-teks tentang kecemburuan Alah seringkali diterjemahkan dengan kata “zealous” maupun “jealous”. Ada keterkaitan erat antara dua kata ini. Yang ditekankan adalah hasrat Allah yang besar untuk mendapatkan kembali umat-Nya.
Kecemburuan Allah terhadap umat-Nya merupakan hal yang benar dan wajar. Keduanya sudah mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian. Masing-masing sudah berkomitmen untuk menjalankan tanggung-jawab dan memberikan hak kepada orang lain. Jika salah satu pihak tidak diberikan haknya, dia berhak untuk mendapatkannya kembali.
Lebih jauh lagi, kecemburuan Allah justru menunjukkan penghargaan-Nya terhadap kita. Dia begitu menginginkan kita. Dia akan melakukan apapun untuk mendapatkan kita. Dia sangat bersemangat (zealous) terhadap kita. Kecemburuan-Nya menggambarkan keseriusan-Nya dalam mengasihi kita.
Coba bayangkan skenario ini. Seorang isteri ketahuan berselingkuh dengan orang lain. Ternyata suaminya santai-santai saja menanggapi peristiwa ini. Apa yang akan kita katakan tentang suami itu? Kita pasti akan menangkap kesan bahwa suami itu tidak sungguh-sungguh mencintai isterinya, bukan? Dia sehaursnya cemburu. Dia berhak untuk melakukan itu. Seperti itulah yang dilakukan oleh Allah terhadap umat-Nya. Soli Deo Gloria.