Jika kita memperhatikan penyebutan Allah di kitab Kejadian secara seksama, kita akan melihat perbedaan yang kentara. Di dalam pasal 1 nama Allah muncul dalam bentuk Elohim (LAI:TB menerjemahkan “Allah”), pasal 2-3 memakai Yahweh Elohim (TUHAN Allah), sedangkan mulai pasal 4 sebutan Yahweh (TUHAN) lebih umum ditemui. Dilihat dari persebaran penggunaannya, penyebutan “Yahweh Elohim” merupakan sesuatu yang penting. Di seluruh Pentateukh, kata ini muncul sebanyak 21 kali, 20 di antaranya hanya muncul di Kejadian 2-3 dan hanya satu kali muncul di Keluaran 9:30.
Perbedaan sebutan di atas menimbulkan pertanyaan, “Apakah perbedaan antara Elohim dan Yahweh?” Apakah variasi penyebutan ini hanya mengikuti tradisi kuno waktu itu yang memakai beberapa nama untuk suatu dewa (misalnya dewa Mesir Osiris =Wennefer = Khent-amentiu = Neb-adu, dewa Babel Bel = Enlil = Nunamnir, dewi Ishtar = Inanna = Telitum)?
Perbedaan istilah Elohim dan Yahweh
Dari penyelidikan arti kata “Elohim” dan “Yahweh” di Perjanjian Lama, kita bisa melihat bahwa keduanya memiliki makna yang berbeda. Kata “Elohim” muncul sebanyak 2602 kali. Dari 2602 kali pemunculan kata “Elohim”, sekitar 2570 di antaranya merujuk pada Allah yang benar, sedangkan sisanya memiliki arti beragam. “Elohim” bisa merujuk pada dewa-dewa (Kel 18:11; 20:3; 23:13; 32:23; Ul 4:7, 28; 6:14; 7:4; 10:17), malaikat/makhluk surgawi (Mzm 8:5 [KJV/NIV]) atau hakim-hakim (Kel 21:6 [KJV]).
Kata “Yahweh” (YHWH) muncul 5321 kali, sedangkan bentuk pendek “Yah” muncul 50 kali. Kata ini merupakan nama diri dari Allah di Alkitab. Kata ini tidak pernah dipakai untuk allah/dewa lain. Memang beberapa orang memiliki nama yang ada unsur “Yah” atau “YHWH”-nya, tetapi mereka tidak bermaksud memposisikan diri sebagai Yahweh, misalnya Yosua berarti “Yahweh adalah keselamatan” (Bil 13:8, 16), Elia berarti “Allah adalah Yahweh”.
Apa yang kita bisa dapatkan dari penjelasan di atas? Tanpa bermaksud mengabaikan kompleksitas dan kerumitan studi tentang nama Allah (bahkan di kalangan para sarjana isu ini belum konklusif), kita secara umum bisa menyimpulkan perbedaan “Elohim” dan “Yahweh” sebagai berikut:
Elohim | Yahweh |
---|---|
Hanya sebagai ‘sebutan’ untuk suatu Pribadi yang ‘dianggap’ Allah atau ilahi. “Elohim” bisa berarti ‘Allah’, ‘ilah/dewa’, ‘malaikat’. | Nama diri dari Elohim-nya bangsa Israel (umat milik Allah yang benar) |
Dipakai untuk Allah bangsa Israel maupun dewa-dewa kafir | Hanya untuk Allah bangsa Israel atau umat Allah saja |
Lebih dikaitkan dengan kebesaran (transendensi) Allah, walaupun penggunaan “Elohim” di beberapa tempat bermakna kedekatan juga (Kej 17:8; 26:24; 28:13; Im 20:24; Yer 23:23; 2Raj 19:10). | Lebih dikaitkan dengan kehadiran (immanensi) Allah. Yahweh lebih dikaitkan sebagai Allah perjanjian |
Pertanyaan lain yang sering ditanyakan sehubungan dengan nama Allah adalah kapan Allah menyatakan diri dengan nama Yahweh (TUHAN). Sebutan “Yahweh” sudah dipakai sejak Kejadian 2 (Yahweh Elohim), namun Kejadian 4:26 menyatakan bahwa orang mulai memanggil nama Yahweh pada jaman Enos. Lebih jauh lagi, Keluaran 6:2 menyatakan bahwa Allah mulai memperkenalkan diri sebagai Yahweh pada jaman Musa, sedangkan pada bapa-bapa leluhur Ia hanya memperkenalkan diri sebagai Allah yang mahatinggi (El Shaddai). Manakah yang benar? Apakah nama Yahweh baru dikenal pada jaman Enos? Musa? Atau sejak jaman Adam?
Sebelum menyelidiki Kejadian 4:26 dan Kel 6:2 secara detil, ada dua hal yang perlu dipahami terlebih dahulu. Yang pertama adalah konsep orang Yahudi tentang nama. Bagi mereka, nama bukan hanya berfungsi sebagai panggilan, seperti orang modern memahaminya. Nama bagi mereka merupakan ekspresi dari kepribadian, misalnya Nabal berarti “bodoh” (1Sam 25:25). Tidak heran, perubahan nama dilakukan pada beberapa orang yang telah mengalami perubahan karakter. Contoh: nama “Yakub” yang berarti pemegang tumit (Kej 25:26) diganti dengan “Israel” yang berarti bergumul dengan Allah (Kej 32:28). Perubahan nama Yakub ini menandai fase penting dalam hidupnya. Ia dahulu selalu berusaha dengan kekuatan sendiri untuk mencapai sesuatu yang sebenarnya sudah dijanjikan Allah (Kej 25:23), misalnya memperdayai kakaknya untuk mendapat hak kesulungan (Kej 25:29-34) dan menipu ayahnya untuk mendapatkan berkat (Kej 27:1-29). Setelah peristiwa perubahan nama di Kejadian 32, Yakub tidak lagi menipu atau memperdayai orang lain. Dalam bagian lain Alkitab, nama Allah seringkali dipakai untuk mewakili seluruh Pribadi Allah. Hal ini tercermin dari ungkapan seperti larangan untuk menyebut nama Yahweh dengan sembarangan (Kel 20:7; Im 24:16; Ul 5:11), pujian untuk nama Yahweh (Mzm 17:18; 113:1).
Hal kedua yang perlu dipahami adalah konsep orang Yahudi tentang mengenal Allah. Dalam Perjanjian Lama (sekitar 26 kali), mengenal Allah bukan hanya melibatkan aspek kognitif (intelektual), tetapi juga aspek relasional (hubungan atau pengalaman). Makna ini diilustrasikan dengan jelas melalui arti kata Ibrani yada. Kata ini bisa berarti mengetahui (Kej 3:5, 7, 22; 4:9) atau bersetubuh (Kej 4:1, 17). Berdasarkan penggunaan ini kita perlu melihat apakah arti kata mengetahui atau mengenal di suatu teks bersifat intelektual saja atau sekaligus relasional.
Kejadian 4:26
Ayat ini telah menimbulkan perbedaan pendapat di antara para penafsir. Para penafsir Yahudi awal melihat kata Ibrani hukhal (LAI:TB “mulai”) di ayat ini dalam arti “mengotori”, sehingga Kejadian 4:26 dianggap sebagai permulaan dari penyembahan berhala. Pendapat ini tentu saja memiliki beberapa kelemahan serius. Frase “memanggil nama Yahweh” dalam kitab Kejadian seringkali dipakai untuk penyembahan/ibadah yang benar oleh para patriakh (12:8; 13:4; 21:33; 26:25). Selain itu, Kejadian 4:25-26 merupakan kontras bagi Kejadian 4:17-24: ayat 17-24 memaparkan suatu keturunan yang tidak takut terhadap Yahweh, sedangkan ayat 25-26 menandai awal keberadaan suatu keturunan yang baik (pengganti Habel, orang yang benar itu).
Young Literal Translation (YLT) menerjemahkan “memanggil” dengan kata benda “preaching” (kotbah). Sayangnya, kita tidak bisa mengetahui apa maksud terjemahan ini. Apakah yang dimaksud adalah permulaan aktivitas pemberitaan tentang Yahweh kepada orang-orang pada jaman itu? Seandainya benar, pendapat ini tampaknya tidak sesuai dengan konteks Kejadian. Ayat-ayat selanjutnya tidak mengindikasikan adanya aktivitas ini. Ide tentang “menjadi berkat bagi orang lain” juga baru muncul di Kejadian 12:1-3.
Pendapat yang lebih tepat adalah dengan menganggap Kejadian 4:26 sebagai permulaan ibadah secara umum (public worship). Sebelum jaman Enos, orang memang sudah beribadah kepada Yahweh (Kej 4:1-5), namun ibadah tersebut sifatnya masih individualistik (perorangan). Sejak jaman Enos, orang mulai melakukan ibadah umum kepada Yahweh.
Ada beberapa alasan yang mendukung pendapat di atas. Pertama, seperti sudah disinggung sebelumnya, Kejadian 4:17-26 bertujuan membandingkan dua macam keturunan, yaitu keturunan Kain yang berdosa dengan keturunan Set sebagai pengganti Habel, orang yang benar itu. Sebagaimana semua keturunan Kain yang dicatat di ayat 17-24 semuanya adalah orang berdosa, ayat 25-26 juga mencatat munculnya satu keturunan yang beribadah kepada Yahweh.
Kedua, Kejadian 4:25-26 diikuti oleh pasal 5 yang berisi silsilah Adam dari Set (ayat 3) dan Enos (ayat 6). Dengan kata lain, pasal 5 merupakan penjelasan tentang keberadaan suatu keturunan yang mengikuti leluhur mereka di 4:25-26. Apalagi silsilah ini juga berakhir dengan keluarga Nuh (ayat 32), seorang yang tidak bercela di antara orang sejamannya (6:8-9).
Ketiga, Kejadian 4:17-26 juga harus dipahami sebagai sebuah permulaan budaya manusia. Pada masa inilah orang mulai mendirikan kota (ayat 17), peternakan (ayat 20), seni (ayat 21), ketrampilan tangan (ayat 22). Sebagaimana budaya sekuler ini dimulai oleh keturunan Kain, demikian juga budaya rohani (ibadah secara umum) dimulai oleh keturunan Set atau Enos.
Berdasarkan semua penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa Kejadian 4:26 tidak bertentangan dengan penyebutan nama Yahweh di Kejadian 2:1-4:16. Artinya, nama Yahweh memang sudah dikenal pada masa sebelum Enos, tetapi waktu itu ibadah kepada Yahweh belum nejadi sebuah budaya.
Keluaran 6:2
Bagaimana dengan Keluaran 6:2 yang menyatakan bahwa Allah memperkenalkan diri kepada para leluhur hanya dengan nama Allah yang mahatinggi (El Shaddai, Kejadian 17:1; 28:3; 35:11; 43:14; 48:3), sedangkan nama Yahweh baru dinyatakan kepada Musa?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu memahami pengertian “mengenal Yahweh” menurut Musa. Ungkapan ini muncul beberapa kali di kitab Keluaran dengan arti yang tidak hanya terbatas pada pengetahuan secara intelektual saja. Keluaran 14:4 menyatakan, “orang Mesir akan tahu bahwa Akulah Yahweh”, padahal di Keluaran 5:2 Firaun sudah tahu bahwa nama Allah Israel adalah Yahweh. Ucapan Firaun di Keluaran 5:2 juga penting untuk disimak. Firaun mengatakan bahwa ia tidak mengenal Yahweh, tetapi ia bisa menyebut nama Yahweh. Hal ini menunjukkan bahwa Firaun sudah tahu ada sebutan “Yahweh”, namun ia tidak mengenal Yahweh secara pribadi/langsung. Dengan kata lain, Firaun belum mengalami atau melihat sifat Yahweh.
Penjelasan lain kita dapatkan dari Keluaran 6:6. Dalam teks ini Allah mengatakan bahwa Musa akan mengenal bahwa Dialah Yahweh, padahal di bagian sebelumnya Allah sudah memperkenalkan diri kepada Musa sebagai Yahweh (Kel 3:14-16; 6:3). Apa yang kita bisa simpulkan dari hal ini? Musa sebenarnya sudah tahu nama Yahweh, tetapi Ia belum mengalami sifat dari Yahweh. Yahweh akan menyatakan diri sebagai Allah perjanjian yang menjadikan bangsa Israel sebagai umat-Nya, melepaskan mereka dari perbudakan dan memberikan tanah perjanjian (ayat 6-7). Inilah yang akan dilakukan Allah sehingga Musa akan tahu bahwa Dialah Yahweh.
Semua penjelasan di atas menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi antara Kejadian 2-3, 4:26 dan Keluaran 6:2. Nama Yahweh memang sudah dikenal oleh para patriakh, tetapi mereka belum mengalami-Nya sebagai Allah perjanjian. Dengan kata lain, mereka hanya menerima janji di Kejadian 12:1-3 dan 15:13-16, namun mereka belum melihat pemenuhan janji itu. Pada jaman Musalah janji itu direalisasikan Allah.
NK_P