Bagi sebagian orang, neraka bukanlah sebuah topik yang menarik untuk diperbincangkan. Ada banyak kebingungan. Ada banyak pertanyaan yang terungkit ke permukaan. Salah satunya berkaitan dengan kebaikan Allah. Jika Allah memang baik, mengapa Dia tega menghukum manusia ke dalam neraka? Mengapa hukuman yang diberikan begitu mengerikan dan bersifat kekal?
Ada beragam cara untuk menjawab pertanyaan di atas. Dalam khotbah hari ini saya hanya akan menjawabnya berdasarkan penjelasan Paulus di 2 Tesalonika 1:9. Saya meyakini bahwa hukuman neraka tidak bertentangan dengan kebaikan Allah. Ada dua poin utama: (1) kebaikan Allah tidak terpisahkan dari keadilan-Nya; (2) orang di neraka mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Kebaikan Allah tidak terpisahkan dari keadilan-Nya (ayat 9a)
Pilihan LAI:TB dan beberapa versi Inggris (RSV/NASB/ESV) untuk menerjemahkan ayat 9a dalam bentuk kalimat aktif merupakan keputusan yang tepat (kontra KJV/NIV “mereka akan dihukum”). Dalam teks Yunani kata kerja yang digunakan memang berbentuk aktif (tisousin). Jadi, penekanan terletak pada “mereka”, bukan “Allah”.
Penekanan seperti ini perlu digarisbawahi. Apa yang mereka akan jalani di akhir zaman nanti lebih merupakan sebuah konsekuensi dari tindakan mereka. Allah memang menghukum, tetapi penekanannya bukan di sana. Allah tidak akan menghukum orang tanpa alasan. Mereka memang pantas menanggung hukuman.
Semua ini berkaitan dengan situasi yang sedang dihadapi oleh jemaat Tesalonika. Mereka sedang menghadapi penganiayaan dan penindasan (1:4, 6-7). Paulus ingin meneguhkan hati jemaat Tesalonika dengan cara mengingatkan mereka tentang keadilan Allah. Kata “adil” muncul berkali-kali dalam bagian ini (1:5-6). Begitu pula dengan kata “penghakiman” (1:5) atau “pembalasan” (1:6, 8).
Bagi jemaat Tesalonika yang sedang ditindas dan dianiaya, penghiburan ini sangat diperlukan. Walaupun kebenaran ini tidak mengurangi penderitaan mereka, namun tetap berfaedah untuk meneguhkan iman dan ketabahan mereka. Walaupun iman dan ketabahan mereka belum tergoyahkan, tetapi mereka tetap membutuhkan dukungan. Allah tidak pernah mengabaikan penderitaan mereka. Penganiayaan dan penindasan tidak akan meniadakan kasih dan kebaikan Allah. Allah tetap mengasihi mereka. Kasih itu akan diwujudkan dalam bentuk keadilan, karena dua hal ini – kebaikan dan keadilan – memang tidak terpisahkan. Tatkala waktunya tiba, Allah yang adil akan memberikan kelegaan kepada umat-Nya (1:7). Inilah bukti dari kasih Allah.
Pada momen yang sama Allah juga akan menjatuhkan hukuman atas para penindas (1:6, 9). Respons ini bukan lahir dari kebencian Allah terhadap mereka. Sikap ini muncul dari keadilan-Nya. Orang berdosa patut dihukum. Keadilan Allah menuntut hal tersebut.
Mereka yang menganggap neraka dan kebaikan Allah sebagai dua hal yang kontradiktif perlu untuk mengkaji ulang pandangan ini. Setiap tindakan Allah pasti melibatkan semua sifat-Nya. Tidak ada kebaikan tanpa keadilan. Begitu pula tidak ada keadilan tanpa kebaikan.
Bukti paling jelas adalah salib Yesus Kristus (Rm. 3:24-26). Di kayu yang tua tergambar jelas kasih karunia Allah yang mau menyelamatkan orang berdosa. Dia menyelaatkan kita tanpa mempertimbangkan perbuatan baik kita. Di kayu yang kasar keadilan-Nya terukir dalam-dalam. Hukuman ditimpakan di pundak Anak-Nya sendiri. Salib adalah perpaduan sempurna antara keadilan dan kebaikan Allah.
Orang di neraka mendapatkan apa yang mereka inginkan (ayat 9b)
Pada bagian ini Paulus tidak menggunakan kata “neraka” sama sekali. Tidak ada gambaran tentang api, kegelapan, ulat, maupun gertakan gigi (bdk. Mat. 3:12; 8:12; 13:42, 50; 22:13; 25:30). Sebaliknya, dia menerangkan tentang esensi neraka. Semua metafora tersebut hanyalah sebuah cara untuk mengungkapkan esensi ini. Dari esensi ini terlihat keadilan Allah dalam penghukuman-Nya atas orang-orang di neraka: mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Untuk memahami poin ini, kita perlu mengingat bahwa penghuni neraka adalah “mereka yang tidak mau mengenal Allah dan menaati Injil Yesus, Tuhan kita” (1:8). Mereka bukan orang yang tidak tahu, melainkan yang tidak mau. Bagi mereka, pengenalan tentang Allah dan kabar baik dalam Kristus Yesus bukanlah hal yang menarik sama sekali. Mereka menolak mentah-mentah.
Kelak di neraka mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Hukuman kebinasaan kekal dijelaskan dengan kalimat “dijauhkan dari hadirat Tuhan dan dari kemuliaan kekuatan-Nya” (1:9b). Bukankah hadirat Tuhan dan kemuliaan-Nya yang mereka tolak dari semula? Bukankah mereka dari awal memang tidak menginginkan persekutuan dengan Tuhan? Itulah yang mereka akan dapatkan!
Hukuman ini sangat menakutkan. Mereka akan dijauhkan dari hadirat Tuhan (ayat 9b). Kehadiran Tuhan di sini jelas bukan secara spasial (berkaitan dengan tempat). Allah adalah mahahadir. Dia tidak bisa tidak ada di suatu tempat, karena Dia lebih besar daripada semua tempat.
Tanpa hadirat Tuhan berarti tanpa kehadiran-Nya secara relasional. Ketidakadaan hadirat Tuhan berarti hukuman ilahi. Adam dan Hawa diusir dari Taman Eden (Kej. 3:22-23). Kain pergi dari hadapan Allah (Kej. 4:16).
Berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya, ketidakadaan hadirat Tuhan di neraka bersifat mutlak dan kekal. Mutlak, dalam arti tidak akan ada kebaikan ilahi sama sekali. Tidak akan ada anugerah yang ditunjukkan oleh Allah. Kekal, dalam arti tidak akan berhenti atau berubah.
Orang-orang yang berada di neraka juga akan dijauhkan dari kemuliaan kekuatan Tuhan (ayat 9b). Kalau kehadiran Tuhan lebih berkaitan dengan kebaikan-Nya, kemuliaan kekuataan-Nya lebih ke arah pertolongan-Nya. Tuhan tidak akan memberikan pertolongan lagi. Tidak ada jalan keluar bagi penderitaan mereka.
Situasi yang berbeda dialami oleh orang-orang yang percaya. Yesus Kristus akan menunjukkan kekuatan dan kemuliaan-Nya pada saat kedatangan-Nya kelak (1:7). Sesudah itu di surga nanti setiap hari mereka menikmati dan memuji kemuliaan kekuatan Tuhan (Why. 5:12; 7:12).
Untuk memahami keseriusan hukuman yang akan menimpa orang-orang di neraka, marilah kita membandingkannya dengan penderitaan di dalam dunia. Kesengsaraan apapun di dunia ini masih dibalut dengan kebaikan dan anugerah. Sebagai contoh, masih ada musim yang teratur sebagai salah satu wujud kebaikan Allah (Mat. 5:45; Kis. 14:17). Sakit penyakit pun masih ada dokter, obat, dan perawat. Masih ada orang-orang yang menghibur. Untuk penyakit yang paling parah sekalipun masih ada obat penghilang rasa sakit. Bahkan masih ada kematian sebagai akhir dari penderitaan jasmaniah. Di neraka, semua ini tidak akan ada lagi. Allah tidak akan menyisakan anugerah-Nya sama sekali. Ini adalah anggur murka Allah yang tanpa campuran (Why. 14:10).
Karena penderitaan tersebut tidak ada tandingannya dengan apapun yang ada di dunia ini, kita sulit membayangkan betapa hebatnya penderitaan di neraka. Itulah sebabnya Alkitab menggunakan beragam metafora untuk mengungkapkan hal itu. Tidak ada satu metafora pun yang sebanding dengan realita di neraka. Kumpulan metafora pun tetap masih kurang. Penderitaan di neraka tidak terbayangkan!
Walaupun demikian, hal itu tidak melemahkan kebaikan Allah. Kebaikan-Nya harus berjalan beriringan dengan keadilan-Nya. Orang-orang di neraka hanya menerima apa yang mereka inginkan. Hanya saja, mereka tidak menyangka bahwa konsekuensi dari penolakan mereka terhadap Yesus Kristus akan sehebat itu. Soli Deo Gloria.