Eksposisi Filipi 2:9-10

Posted on 26/07/2020 | In Teaching | Leave a comment

Merendahkan hati seringkali dipandang sebagai sebuah kelemahan, bahkan kebodohan. Orang yang rendah hati terlihat lemah dan tidak menonjol. Mereka tidak jarang justru menjadi objek pelecehan tanpa bisa melawan. Itulah sebabnya dunia merendahkan orang yang rendah hati.

Lebih natural bagi banyak orang untuk menunjukkan kekuatan. Kita tidak mau disepelekan. Kita tidak mau ditekan. Sebisa mungkin kita ingin tampil menonjol dan diperhitungkan.

Bagaimana kita seharusnya memandang kerendahhatian? Benarkah sikap ini membuat kita berada pada titik rentan terhadap pelecehan? Atau, sebaliknya, sikap rendah hati akan membawa kita ke titik yang lebih tinggi?

Teks kita hari ini merupakan bagian dari himne kuno yang dikutip oleh Paulus sejak 2:6. Pada bagian sebelumnya (2:6-8) kita sudah melihat perendahan diri Kristus yang tak terkira. Dari surga yang mulia turun ke dalam dunia yang hina. Pencipta telah mengambil hakikat ciptaan. Tatkala Dia menjadi manusia, Dia menjadi manusia yang paling hina dan mati secara paling tersiksa. Tindakan perendahan diri yang tak tertandingi!

Apakah perendahan ini membuat Kristus mengalami pelecehan? Ya. Apakah Dia menjadi rentan terhadap kelemahan? Tentu saja. Perendahan diri yang Dia lakukan membuat-Nya menjadi objek kesalahpahaman, pelecehan, ketidakadilan, bahkan penyiksaan dan kematian.

Walaupun demikian, semua itu bukanlah titik akhir. Himne yang indah ini tidak berakhir di kayu salib. Himne ini diakhiri dengan pemuliaan.

Kata sambung “karena itu” (dio kai) di awal ayat 9 menunjukkan bahwa bagian ini merupakan kelanjutan dari ayat 6-8 (NASB “karena alasan ini”). Perendahan diikuti dengan pemuliaan. Tidak untuk selamanya orang yang rendah hati akan dieksploitasi. Ada momen ilahi yang menanti. Allah berintervensi ketika momen ilahi itu tiba. Allah memuliakan Yesus (2:9-11). Dia memiliki nama di atas segala nama dan kepada-Nya semua makhluk akan berlutut dan mengakui ke-Tuhanan-Nya.

Dari perspektif religius Yahudi pada waktu itu, pemuliaan ini mungkin terdengar cukup mengagetkan. Mereka sudah tahu dari Perjanjian Lama bahwa yang Empunya nama di atas segala nama dan yang kepada-Nya semua lutut akan bertelut serta semua lidah mengaku adalah TUHAN (YHWH) saja. Yesaya 45:22-24a berkata “Berpalinglah kepada-Ku dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi! Sebab Akulah Allah dan tidak ada yang lain. Demi Aku sendiri Aku telah bersumpah, dari mulut-Ku telah keluar kebenaran, suatu firman yang tidak dapat ditarik kembali: dan semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku, dan akan bersumpah setia dalam segala bahasa, sambil berkata: Keadilan dan kekuatan hanya ada di dalam TUHAN”. Kata dasar “berlutut” (kamptō) dan “mengaku” (exomologeō) di teks ini juga muncul di Filipi 2:10-11.

Pengutipan ini menunjukkan bahwa Yesus Kristus adalah YHWH dalam Perjanjian Lama dan bahwa kebenaran ini tidak merusak keesaan YHWH. Bapa dan Yesus adalah satu. Keduanya menyatakan diri sebagai YHWH dalam Perjanjian Lama. Seiring dengan pewahyuan Alkitab yang lebih progresif, umat Allah semakin mengerti bahwa YHWH di dalam Perjanjian Lama adalah Allah Tritunggal.

Walaupun alur pemikiran di ayat 9-11 cukup jelas - yaitu perendahan diikuti oleh pemuliaan – tetapi teks ini masih menyisakan beberapa persoalan teologis. Khotbah hari ini hanya akan memberikan jawaban singkat atas tiga pertanyaan saja.

 

Apakah ke-Tuhanan Yesus bersifat penuh?

Pertanyaan ini diajukan berkaitan dengan relasi antara Allah (Bapa) dan Yesus. Walaupun Yesus memiliki nama di atas segala nama dan segala sesuatu tunduk kepada-Nya, subjek yang mengaruniakan keutamaan ini adalah Allah (Bapa): “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia” (ayat 9a) dan “bagi kemuliaan Allah, Bapa” (ayat 11b). Berdasarkan hal ini beberapa orang mencoba mempertanyakan sejauh mana keilahian Yesus ditegaskan dalam teks ini. Mereka menganggap bahwa Yesus tetap lebih rendah daripada Bapa. Yesus bukan Allah dalam arti yang sebenarnya.

Penafsiran seperti ini kurang memperhatikan konteks seluruh himne ini. Dari ayat 6 sudah ditegaskan bahwa sebelum menjadi manusia Yesus adalah Allah (lihat khotbah sebelumnya). Dia sudah sempurna dalam ke-Allahan-Nya. Dari posisi ini Dia lalu menambahkan hakikat manusia pada diri-Nya (ayat 7-8). Dia bukan manusia yang di-Tuhankan, melainkan Tuhan yang menjadi manusia.

Pemuliaan oleh Bapa di ayat 9-11 harus dipahami sebagai peneguhan dan pembelaan Bapa terhadap Yesus Kristus. Kematian Yesus di atas kayu salib semakin meyakinkan musuh-musuh Yesus bahwa Dia terkena kutukan Allah (Gal. 3:13). Tuduhan bahwa Dia adalah nabi palsu dan penghujat Allah semakin menguat. Allah membangkitkan Yesus sebagai bentuk peneguhan atas ajaran Yesus dan pembelaan terhadap semua tuduhan musuh-musuh Yesus (Kis. 2:24, 27; Rm. 1:4).

Jadi, pemuliaan Yesus oleh Bapa di Filipi 2:9-11 tidak boleh dipahami secara terpisah dari seluruh isi himne. Yesus Kristus adalah Allah yang menjadi manusia, lalu dinyatakan kembali ke-Tuhanan-Nya atas segala sesuatu.   

 

Apakah pengakuan di ayat 10-11 bersifat sukarela?

Pertanyaan ini sangat wajar dimunculkan. Sebagian orang tidak mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan. Banyak di antara mereka bahkan sudah meninggal dunia. Bagaimana mungkin semua makhluk (termasuk mereka) nanti akan berlutut dan mengakui Yesus sebagai Tuhan?

 Sebagian teolog menggunakan teks ini sebagai dukungan bagi paham universalisme. Pahami ini mengajarkan bahwa semua makhluk pada akhirnya akan diselamatkan, terlepas dari sikap mereka sebelumnya terhadap Allah (dan Yesus). Semua makhluk pada akhirnya akan mengakui dengan sukarela dan sukacita bahwa Yesus adalah Tuhan. Saat itulah mereka akan diselamatkan.

Pandangan ini bertabrakan dengan begitu banyak teks Alkitab yang menyinggung tentang kebinasaan orang-orang yang berdosa dan yang tidak percaya. Ajaran tentang neraka muncul berkali-kali dalam Alkitab. Paling tidak, Alkitab dengan gamblang menyatakan bahwa Iblis dan para penyesat akan dihukum selama-lamanya di neraka (Why. 20:10 “dan Iblis, yang menyesatkan mereka, dilemparkan ke dalam lautan api dan belerang, yaitu tempat binatang dan nabi palsu itu, dan mereka disiksa siang malam sampai selama-lamanya”).

Secara lebih spesifik, penyelidikan yang lebih cermat atas Filipi 2:9-11 menunjukkan bahwa Paulus tidak sedang mengajarkan universalisme. Jika ayat ini merupakan penggenapan dari Yesaya 45:22-24 (lihat pembahasan sebelumnya), pengakuan terhadap ke-Tuhanan Yesus akan diberikan oleh semua orang, baik musuh-musuh-Nya maupun para pengikut-Nya. Golongan pertama akan dipermalukan, yang kedua akan dibenarkan. Yesaya 45:24b-25 berkata: “Semua orang yang telah bangkit amarahnya terhadap Dia akan datang kepada-Nya dan mendapat malu, tetapi seluruh keturunan Israel akan nyata benar dan akan bermegah di dalam TUHAN”.

Alasan lain untuk menolak universalisme berkaitan dengan pengakuan yang universal dan mutlak kepada Yesus di ayat 9-11. Yang akan mengakui nanti bukan hanya manusia, tetapi semua makhluk “yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi” (ayat 10). Ini mencakup manusia, malaikat dan roh-roh jahat. Pengakuan Iblis dan malaikat-malaikat lain yang mengikuti kesesatannya jelas tidak akan bersifat sukarela dan sukacita. Sejak dulu mereka sudah mengakui ke-Tuhanan Yesus (Mat. 8:29; Mrk. 5:7). Namun, pengakuan mereka hanya menghasilkan ketakutan, bukan penyembahan. Mereka tetap memusuhi Kristus dan semua karya penyelamatan-Nya. Sama seperti Iblis dan para pengikutnya, semua orang yang berdosa dan tidak percaya kepada Yesus Kristus juga akan dipaksa mengakui keutamaan Kristus. Hanya masalah waktu sebelum semua akan mengaku.

Yang terakhir, konteks Filipi 2:6-11 bukan tentang keselamatan (soteriologis). Fokusnya lebih ke arah Kristus (Kristologis). Yang dibicarakan bukan karya penebusan dan hasilnya, melainkan perendahan diri Yesus dalam semua proses tersebut dan bagaimana Allah pada akhirnya memuliakan Dia. Bahkan ketika menyinggung tentang kematian Yesus di atas kayu salib, himne ini tidak mengaitkan hal itu dengan dosa. Penyaliban hanya dibicarakan sebagai wujud perendahan diri Yesus yang total. Jika inkarnasi Kristus di ayat 6-8 tidak membahas tentang penebusan (keselamatan), maka pengakuan terhadap ke-Tuhanan Yesus di ayat 9-11 juga tidak perlu dikaitkan dengan keselamatan dari orang-orang yang memberikan pengakuan tersebut.  

 

Apakah pemuliaan Allah bersifat bersyarat?

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, kata sambung “karena itu” (dio kai) di awal ayat 9 menyiratkan keterkaitan antara ayat 9-11 dengan ayat 6-8. Dengan kata lain, perendahan diri Yesus di ayat 6-8 direspon oleh Allah dengan pemuliaan. Pertanyaannya, apakah itu respon ini meniadakan anugerah Allah (seolah-olah itu hasil usaha seseorang dalam merendahkan dirinya)?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu menegaskan bahwa dalam kedaulatan-Nya sebagai Pencipta, Allah berhak menerima ketaatan semua ciptaan. Ketaatan itu tidak harus diupahi dengan berkat tertentu. Ciptaan memang pantas menaati Pencipta mereka. Bagaimanapun, Allah juga memiliki sifat-sifat yang lain. Sebagai Allah yang baik, Dia ingin memberkati ciptaan. Ada anugerah yang diberikan kepada semua manusia (tanpa terkecuali dan tanpa syarat apapun (Mat. 5:45; Kis. 14:17). Ada anugerah khusus yang diberikan kepada sekelompok tanpa syarat juga (misalnya keselamatan kita, Ef. 2:8-9). Ada juga anugerah yang diberikan kepada orang-orang tertentu sebagai respons Allah terhadap tindakan mereka. Berkat ini bukan keharusan. Tidak ada kewajiban dari pihak Allah. Semua itu adalah aturan ilahi yang muncul dari kebaikan-Nya. Nah, pemuliaan bagi orang yang rendah hati masuk pada kategori yang terakhir ini. Allah sudah menentukan sebuah hukum ilahi: “Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Mat. 23:12; Luk. 14:11; 18:14b).

Kebenaran ini harus dipahami sebagai sebuah bonus, bukan fokus. Maksudnya, kita merendahkan hati bukan supaya dimuliakan. Kita merendahkan hati karena kita menyadari siapa diri kita yang sebenarnya: orang yang berdosa dan hina di hadapan Allah. Kita tidak lebih baik dan lebih benar daripada orang lain. Merendahkan hati adalah tugas kita, memuliakan orang yang rendah hati adalah bagian Allah. Soli Deo Gloria.

 

Yakub Tri Handoko