Respon Ham (Kej. 9:22)
Apa yang dialami Nuh dengan kemabukannya sangatlah memalukan. Dia telanjang di kemahnya (9:21) tanpa dijelaskan akibat-akibat lain dari kemabukannya selain keterlanjangan Nuh. Mengapa hanya keterlanjangannya yang menjadi sorotan? Jujur tidak dapat dipastikan apakah Nuh mengalami kemabukan seperti yang dipikirkan orang modern, seperti bicara melantur, namun Alkitab memberikan contoh bahwa bicara melantur ada hubunganya dengan kemabukan (1 Sam. 1:13-14). Namun dalam catatan Alkitab yang lain memang ada koneksi antara kemabukan dan seksualitas, misalnya Rat. 4:21; 2 Sam 11:13; Kej. 19:30-38.
Dengan kemunculan pernyataan tentang akibat kemabukan Nuh yang hanya menampilkan keterlanjangannya itulah yang menimbulkan pertanyaan selanjutnya, yaitu respon salah seorang anaknya, Ham. Alkitab menyatakan bahwa Ham ‘melihat aurat ayahnya’, lalu diceritakannya kepada kedua saudaranya di luar (ay. 22). Selanjutnya Alkitab menyatakan : Setelah Nuh sadar dari mabuknya dan mendengar apa yang dilakukan anak bungsunya kepadanya, berkatalah ia: "Terkutuklah Kanaan, hendaklah ia menjadi hamba yang paling hina bagi saudara-saudaranya” (ay. 24-25). Reaksi Nuh setelah dia tersadar dari kemabukannya, membuat kita bertanya-tanya: Mengapa Nuh menjadi murka sedemikian rupa sehingga perlu menyampaikan kalimat kutukan? Apakah Ham sengaja atau tidak sengaja melihat keterlanjangan ayahnya? Jika Ham tidak sengaja melihat, apakah Nuh memang perlu marah kepada Ham? Tidak adanya informasi secara langsung tentang apa yang dilakukan Ham, sekaligus membandingkannya dengan reaksi Nuh terhadap tindakan Ham kepadanya, menimbulkan berbagai penafsiran bahwa Ham bukan sekedar ‘melihat’ keterlanjangan ayahnya; ada tindakan Ham yang lebih dari sekedar ‘melihat’.
Pertama, Josiah Priest (1843) menyatakan bahwa beberapa orang mempercayai tindakan Ham bukan sekedar melihat keterlanjangan ayahnya sebagi seorang laki-laki, tetapi lebih dari itu, melihat aurat ayahnya berarti Ham melakukan pelecehan dan pelanggaran terhadap ibunya sendiri. Rata-rata pendukung penafsiran ini mendasarkan pandangannya pada kesamaan istilah dalam Kej. 9:22 dan Ima. 20:17, yaitu frase ‘melihat atau menyingkapkan aurat’ (ra’ah ‘ervah). Ham dianggap melakukan tindakan atau kegiatan seksual dengan ibunya sendiri ketika Nuh sedang dalam kondisi mabuk. Atau ada penafsiran lain yang menjelaskan keterlanjangan Nuh yang dilihat Ham, yaitu Ham melihat ayahnya dan ibunya melakukan kegiatan seksual.
Kedua, beberapa penafsir lain menyatakan bahwa Ham melakukan tindakan homoseksualitas terhadap ayahnya dengan cara menyodominya. Hampir sama seperti alasan dan dukungan ayat dengan bagian sebelumnya, kali ini yang menjadi obyek dari tindakan ra’ah ‘ervah dari Ham bukanlah ibunya, melainkan ayahnya sendiri, yaitu Nuh.
Ketiga, Ham mengalami kelainan yang disebut orang modern dengan voyeurism, yaitu tindakan mengalami kesenangan seksual dengan cara melihat orang lain telanjang atau melakukan kegiatan seksual. Salah satu alasan dukungan adalah Ham tidak melakukan apa-apa dengan keterlanjangan ayahnya, asumsinya Ham menikmatinya. Kontrasnya adalah tindakan yang dilakukan Sem dan Yafet dengan menutupi keterlanjangan ayahnya (ay. 23).
Keempat, ada juga yang mengatakan bahwa Ham memang hanya melihat aurat ayahnya, namun dia menceritakannya kepada Sem dan Yafet dengan menertawakannya, mengejek dan menghina. Memang pandangan ini tidak didasarkan pada apapun, hanya imaginasi bahwa, tindakan Ham yang tidak melakukan apa-apa dan justru menceritakan kepada saudara-saudaranya, dikontraskan dengan tindakan Sem dan Yafet, memungkinkan penafsiran Ham menertawakan keterlanjangan ayahnya.
Sebenarnya masih banyak penafsiran lainnya tentang tindakan Ham ini dan penafsiran-penafsiran itu luar biasa imaginatif-nya. Namun mari kita kembali meneliti narasi teks dan membacanya berulang-ulang. Jika kita membaca secara teliti, Alkitab menjelaskan bahwa sebenarnya ada 2 natur kesalahan Ham: 1. Melihat aurat ayahnya; 2. Tidak melakukan sesuatu untuk mengatasi keterlanjangan ayahnya.
Melihat aurat ayahnya
Kata ‘melihat aurat’ tidak dapat secara seragam di seluruh Perjanjian Lama dipahami entah sebagai penafsiran literal atau figuratif; konteks tetap harus dipahami; genre pun harus dipertimbangkan.
Pertama harus dipahami bahwa keterlanjangan Nuh bukan merupakan akibat perbuatan Ham, apapun bentuk penafsiran dari tindakan Ham itu. Nuh memang menelanjangi dirinya sendiri (bentuk kata kerja Ibrani hitpael, yang artinya refleksif), bukan ditelanjangi oleh orang lain. Dengan demikian tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa Ham melakukan suatu tindakan tertentu kepada Nuh.
Lalu apakah Ham melihat keterlanjangan Nuh dengan sengaja atau tidak? Dari bentuk kata Ibrani yang muncul tidak ada indikasi bahwa Ham sengaja melihat keterlanjangan itu. Jika Ham memang sengaja melihat, maka di depan kata ‘melihat’ biasanya didahului dengan preposisi le yang fungsinya untuk menunjukkan tujuan. Contoh kemunculan preposisi le di depan kata ‘melihat’ yang artinya adalah kesengajaan : Kej. 42:9,12; 1 Raja 9:12). Di Kej. 9:22 Ham melihat keterlanjangan Nuh tidak dengan motif tertentu; dia begitu saja melihat ayahnya sedang telanjang.
Dengan penjelasan ini maka ada tindakan selanjutnya yang membuat Ham dikutuk oleh ayahnya.