Kata “misi” pasti sudah tidak asing bagi banyak orang Kristen. Nilai penting misi juga tidak sukar untuk diamini. Sayangnya, tidak banyak orang Kristen yang benar-benar memahami apa makna misi yang sesungguhnya. Sebagian mengidentikkan misi dengan penginjilan, sementara sebagian yang lain mengaitkannya dengan aktivitas sosial. Ketegangan antara “misi alkitabiah” dan “misi sosial” sampai sekarang masih sering didengungkan.
Ketegangan lain berhubungan dengan sikap saling curiga antar orang-orang di dalam gereja dan pekerja misi di lapangan. Para pemimpin gereja cenderung memandang para pekerja misi terlalu sempit dalam membatasi aktivitas misi. Misi tidak harus pergi kemana-mana. Misi bisa dilakukan di dalam dan melalui gereja saja. Di sisi lain para pekerja misi seringkali menilai para pemimpin gereja kurang bergairah dalam melakukan misi. Yang difokuskan hanyalah hal-hal yang bersentuhan dengan kebutuhan gereja atau anggotanya saja.
Teks kita hari ini akan mengajarkan beragam aktivitas misi yang perlu dilakukan. Semua aktivitas ini sangat dibutuhkan di lapangan. Para misionaris mengemban tugas yang tidak mudah. Walaupun demikian, tindakan-tindakan tersebut bukan hanya menjadi tanggung-jawab para pekerja misi di lapangan. Semua orang Kristen dipanggil untuk melibatkan diri dan memberikan kontribusi.
Pembacaan yang teliti mengungkapkan signifikasi teks hari ini dalam pelayanan Yesus Kristus. Teks ini menjadi pendahuluan (4:23-25) sekaligus penutup (9:35-38) dari pelayanan Yesus Kristus di Galilea. Jadi teks ini merupakan rangkuman semua pelayanan Yesus. Ada banyak yang dilakukan oleh Yesus tetapi semua dapat dirangkum dalam 3 hal saja: mengajar di rumah ibadat, memberitakan Injil kerajaan Allah dan menyembuhkan penyakit atau mengusir roh-roh jahat. Pendeknya, semua aktivitas ini dapat diringkas menjadi: pengajaran, pemberitaan dan pertolongan.
Elemen #1: Pengajaran (ayat 23a)
Para teolog masih memperdebatkan apakah istilah “rumah ibadat orang Yahudi” (synagogē) selalu melibatkan sebuah bangunan. Sebagian besar teolog lebih menitikberatkan synagogē sebagai sebuah perkumpulan, entah pertemuan ini dilakukan di bangunan tertentu atau tempat terbuka. Sebagian kecil masih terbiasa untuk mengaitkan synagogē dengan bangunan tertentu.
Jika synagogē memang tidak selalu berhubungan dengan bangunan, terjemahan “rumah ibadat” mungkin perlu dipikirkan ulang akurasinya. Tidak setiap synagogē berbentuk perkumpulan di dalam bangunan khusus, sehingga terjemahan “rumah” belum tentu selalu cocok untuk setiap pemunculan kata synagogē. Lagipula, synagogē juga tidak terbatas pada perkumpulan untuk tujuan religius. Kata synagogē bisa menjadi tempat berkumpul untuk mendiskusikan apa saja, entah perkara legal, sosial, kultural maupun spiritual. Terjemahan “rumah ibadat” mungkin tidak selalu mewakili setiap pemunculan kata synagogē di Alkitab.
Keragaman arti di atas tidak terlalu berpengaruh dalam menafsirkan Matius 4:23. Bentuk jamak “rumah-rumah ibadat orang Yahudi” sangat mungkin merujuk pada segala macam synagogē yang ada pada waktu itu. Beberapa mungkin sudah berbentuk bangunan, beberapa mungkin hanya sebatas perkumpulan orang belaka. Pengajaran tentang kerajaan Allah bisa saja dilakukan pada saat ibadah bersama maupun pada momen-momen kebersamaan yang lain. Yang pasti, Yesus Kristus melibatkan diri secara aktif ke dalam banyak perkumpulan orang Yahudi. Setiap perkumpulan meawarkan kesempatan dan peluang bagi pemberiaan kerajaan Allah.
Jika di ayat ini sebagian merujuk pada perkumpulan religius, ada baiknya kita memahami perbedaan penting antara synagogē dengan bait Allah. Rumah ibadat orang Yahudi lebih berfokus pada pembacaan dan penjelasan kitab suci, sementara bait Allah lebih ke arah perayaan dan korban. Rumah ibadat orang Yahudi tersebar di mana-mana (tiap 10 laki-laki Yahudi boleh mendirikan satu synagoge), sedangkan bait Allah hanya satu di Yerusalem. Dalam rumah ibadat Yahudi beberapa orang yang terlatih dalam kitab suci dapat menjadi pelayan dan orang lain bisa berinteraksi selama pengajaran disampaikan. Di bait Allah hanya para imam dan Lewi yang memiliki fungsi penting. Jemaat hanya mengikuti aturan dan pimpinan mereka saja.
Kita tidak dapat memastikan pengajaran seperti apa yang diberikan oleh Yesus Kristus di setiap rumah ibadat orang Yahudi. Namun, bertolak dari segelintir contoh yang dicatat di Alkitab kita dapat menduga bahwa yang dilakukan oleh Yesus adalah menjelaskan arti kitab suci dengan segala kompleksitas di dalamnya (bdk. 12:9-14; 13:54-56). Dia juga menunjukkan bahwa kitab suci digenapi di dalam Dia (bdk. Luk. 4:16-21).
Misi bukan hanya memperhatikan dari “belum diselamatkan” sampai “diselamatkan,” tetapi juga sampai pengajaran yang mendalam. Tidak heran, Amanat Agung juga mencakup pengajaran (28:19-20). Mereka yang diselamatkan melalui kasih karunia Tuhan juga perlu terus-menerus semakin mengenal Tuhan dengan benar.
Elemen #2: pemberitaan Injil (ayat 23b)
Para penafsir Alkitab juga bersilang pendapat seputar perbedaan (atau kesamaan) antara mengajar (didaskō) dan memberitakan Injil (kēryssō). Sebagian membedakan dari sisi materi, entah objek yang disampaikan maupun tingkat kedalamannya. Sebagian mencoba membedakan dari sisi lokasi: pengajaran dilakukan di synagogē (pertemuan formal), sedangkan pemberitaan Injil di lokasi apa saja (pertemuan non-formal). Sebagian lagi menganggap keduanya sama saja. Tidak ada perbedaan yang berarti.
Tidak mudah untuk menentukan pendapat mana yang tepat. Berdasarkan semua catatan di kitab-kitab Injil tentang aktivitas mengajar dan berkhotbah yang dilakukan oleh Yesus Kristus, kita sukar untuk menentukan batasan yang jelas antara dua pelayanan ini. Baik pengajaran maupun pemberitaan Injil juga pernah dilakukan di synagogē (Mat. 4:23; Mrk. 1:39). Walaupun demikian, dua kata ini pernah muncul bersamaan tetapi bukan disamakan (11:1). Di teks hari ini dua aktivitas tersebut terlihat memang dibedakan. Jadi, apakah mengajar dan memberitakan Injil sama atau beda?
Opsi terbaik mungkin membedakannya, terlepas dari bagaimana kita akan membedakannya. Para penulis kitab Injil mungkin saja memikirkan pengajaran dalam kaitan dengan khotbah-khotbah Yesus yang lebih mendalam dengan lebih berfokus pada pemahaman, sedangkan pemberitaan Injil lebih singkat dengan lebih berfokus pada tantangan pertobatan. Pengajaran mencakup topik-topik yang lebih luas, sedangkan pemberitaan Injil lebih spesifik ke arah kerajaan Allah.
Yang pasti, dalam konteks Matius 4:23, dua aktivitas di atas tampaknya dibedakan. Yang diberitakan oleh Yesus adalah Injil kerajaan Allah. Pengharapan tentang kedatangan atau pemulihan kerajaan Allah di bumi merupakan konsep teologis yang cukup populer dalam Yudaisme. Perjanjian Lama secara konsisten menubuatkan pemulihan kerajaan Allah melalui keturunan Daud. Walaupun konsep tersebut tidak selalu seragam, tetapi semangat untuk menantikannya tetap sama. Bangsa Yahudi menantikan momen-momen ketika kerajaan Allah benar-benar dinyatakan di tengah mereka.
Di sepanjang pelayanan-Nya Yesus Kristus memang berfokus pada tema kerajaan Allah. Frasa “kerajaan Allah” (atau “kerajaan sorga” di Injil Matius) muncul berkali-kali. Hampir semua perumpamaan Yesus juga untuk menerangkan berbagai aspek dalam kerajaan Allah (“Hal kerajaan sorga itu seumpama….Mat. 13). Dari awal Yesus sudah ditampilkan sebagai keturunan Daud (1:1) dan Raja Israel (2:5-6). Di akhir kitab Yesus ditampilkan sebagai pemegang segala otoritas (28:18). Di awal pelayanan-Nya Yesus memberitakan kedatangan kerajaan Allah yang sudah dekat (4:17). Pengusiran roh-roh jahat yang Dia lakukan membuktikan bahwa kerajaan Allah sudah ada di tengah-tengah mereka (12:28).
Berita tentang kerajaan Allah jelas menjadi “injil” (lit. “kabar baik”) bagi bangsa Israel. Mereka memang dari dulu sudah menantikan. Melalui pelayanan Yesus dimensi kuasa dari kerajaan itu juga ditunjukkan melalui mujizat dan pengusiran roh-roh jahat. Hanya saja, pengharapan mereka tentang kerajaan Allah yang cenderung politis berbeda dengan konsep kerajaan Allah yang dibawa oleh Yesus yang cenderung spiritual (bdk. Mat 20).
Kemunculan tema “kerajaan Allah” dalam pemberitaan Injil mengingatkan kita bahwa aktivitas misi bukan hanya berfokus pada relasi vertikal antara orang percaya dengan Allah, tetapi juga pelebaran kerajaan Allah di muka bumi. Ini bukan hanya romantisme spiritual yang eksklusif, melainkan juga penerapan nilai-nilai kerajaan ke dalam segala aspek kehidupan.
Elemen #3: pertolongan (ayat 23c-25)
Alokasi ayat yang besar untuk poin ini menyiratkan signifikansinya. Mujizat dan pengusiran roh-roh jahat memang memegang peranan penting dalam pelayanan misi Yesus Kristus. Mengapa demikian? Karena hal itu berkaitan dengan tanda-tanda kedatangan zaman mesianis. Ketika Yohanes Pembaptis mulai ragu, Yesus meyakinkan dia dengan menunjukkan berbagai tanda ajaib yang Yesus lakukan (11:1-3). Mujizat merupakan peneguhan atas pesan yang diberitakan oleh Yesus Kristus.
Alasan lain berkaitan dengan karakteristik bangsa Yahudi. Mereka memang menjadikan mujizat sebagai tanda bagi keabsahan seorang utusan Allah (12:38; 16:1; Yoh. 2:18; bdk. 1Kor. 1:22). Walaupun tuntutan seperti itu tidak selalu diberikan di segala keadaan, Yesus Kristus tetap melakukan berbagai macam tindakan ajaib. Semua tindakan ini seharusnya menolong bangsa Yahudi untuk mengetahui keabsahan Yesus Kristus sebagai Mesias yang dinantikan.
Sayangnya mujizat tidak selalu menghasilkan respons seperti yang diharapkan. Banyak orang tetap menolak Yesus Kristus sekalipun mereka sudah menyaksikan dan mengalami berbagai mujizat (11:20-24). Orang-orang Farisi bahkan menuduh Yesus mengusir roh-roh jahat dengan kuasa Beelzebul (9:34; 12:27).
Dalam konteks zaman sekarang, mujizat dan pengusiran roh-roh jahat tidak terlalu dan tidak selalu diperlukan. Zaman mesianis telah datang. Tidak semua orang menuntut tanda ajaib. Lagipula mujizat juga tidak selalu menghasilkan pertobatan. Kalaupun terjadi pertobatan, belum tentu itu merupakan pertobatan yang benar (benar-benar merindukan Tuhan atau hanya menginginkan perwujudan kuasa-Nya saja?).
Walaupun demikian, esensi dari mujizat kesembuhan dan pengusiran roh-roh jahat tetap berlaku sampai sekarang. Inti ini dapat dilihat dari ucapan Yesus kepada para utusan Yohanes Pembaptis (11:4-5 “Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik”). Yesus memperhatikan golongan marjinal yang disisihkan dan tidak memiliki pengharapan menurut kultur pada waktu itu. Dia memberikan pertolongan seturut dengan apa yang mereka butuhkan.
Misi juga mencakup aktivitas sosial. Banyak orang terpinggirkan dan membutuhkan bantuan. Kita bukan hanya memberitakan kabar baik, tetapi juga membawa kebaikan. Mereka tidak hanya membutuhkan makanan rohani tetapi juga makanan jasmani. Mereka merindukan kehadiran kerajaan Allah di muka bumi secara nyata, baik melalui perwujudan yang nyata dari nilai-nilai kerajaan maupun kuasa transformatif Injil.
Apa yang dilakukan Yesus Kristus bagi kita menjadi model dan modal bagi pelayanan misi. Dia bukan hanya memberitakan kabar sukacita, tetapi juga memberikan diri-Nya. Dia menyelesaikan persoalan mendasar manusia (yaitu dosa) sekaligus meringankan persoalan sehari-hari mereka. Dia menawarkan shalom dalam arti keutuhan hidup. Transformasi total. Restorasi holistik. Soli Deo Gloria.
Foto oleh Joël Super dari Pexels