Tanpa Alkitab, Dapatkah Homoseksualitas Dibuktikan Salah?

Posted on 05/11/2017 | In QnA | Leave a comment

Entah berapa kali saya sudah memimpin seminar tentang homoseksualitas atau LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual & Transgender). Dalam beberapa seminar tersebut, saya mendapati pertanyaan yang hampir sama. Pertanyaan ini umumnya berasal dari anak-anak muda. Mereka bertanya: "Dapatkah Bapak menunjukkan bahwa homoseksualitas itu keliru tanpa menggunakan Alkitab sama sekali?"

Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Dasar kebenaran satu-satunya bagi kita adalah Alkitab. Dasar lain bisa keliru. Pemahaman kita tidak sempurna. Hanya Allah yang berhak membedakan yang baik dari yang jahat. Penilaian ilahi itu sudah tercantum dalam Alkitab.

Walaupun demikian, kita masih bisa menjawab pertanyaan di atas melalui jalur lain. Allah masih menyediakan kebenaran-Nya di tempat lain, yaitu di alam semesta yang dipahami melalui pikiran manusia. Dalam Roma 1:20 Paulus mengajarkan: "Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih". Melalui alam semesta, Allah mengungkapkan diri-Nya dalam taraf tertentu kepada semua orang. Dalam dunia theologi, hal ini disebut wahyu umum.

Dengan bermodalkan wahyu umum, kita tetap memiliki dukungan yang kuat untuk menilai homoseksualitas sebagai sebuah kekeliruan. Yang pertama, di setiap tempat dan abad terdapat kebutuhan untuk membedakan ekspresi gender sesuai dengan seksualitas masing-masing orang. Sejak dahulu manusia memiliki kesadaran bahwa jenis kelamin seseorang menentukan ekspresi gender orang tersebut. Laki-laki akan bertingkah laku sebagai pria, perempuan sebagai wanita.

Yang lebih menarik lagi, kebutuhan tersebut tetap konsisten, walaupun ekspresi gender di setiap tempat dan abad mungkin berubah. Sebagai contoh, sepatu hak tinggi di zaman pertengahan merupakan ekspresi gender kaum pria, sedangkan sekarang hal itu menjadi ekspresi gender kaum wanita. Apakah ini membuktikan bahwa ekspresi gender bersifat relatif tergantung pada budaya dan masa? Sama sekali tidak! Pada saat suatu ekspresi gender dilekatkan pada seksualitas tertentu, seksualitas yang lain mengambil ekspresi yang berbeda. Sebagai contoh, di suatu budaya mungkin laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki rambut panjang, namun mereka tetap membedakan ekspresi gender di antara keduanya: yang wanita memakai penutup kepala, sedangkan yang pria membiarkan rambutnya terbuka.

Kesadaran untuk membedakan ekspresi gender seperti ini bersifat universal, walaupun bentuk konkrit ekspresinya bersifat relatif. Hal ini menyiratkan adanya hukum moral yang universal. Semua manusia di segala budaya dan masa merasa ada kebutuhan untuk membedakan ekspresi gender antara laki-laki dan perempuan. Upaya kaum LGBT untuk meniadakan perbedaan ekspresi gender ini merupakan perlawanan secara sengaja terhadap hukum moral universal.

Argumen kedua untuk menentang homoseksualitas tanpa Alkitab adalah logika sederhana. Untuk menjelaskan ini saya ingin memperkenalkan sebuah prinsip logika yang diajarkan oleh William Ocham. Prinsip ini dikenal dengan sebutan "silet Ocham". Secara sederhana, prinsip ini dapat diringkas sebagai berikut: "Jangan menambahkan lapisan pemikiran yang lain kepada yang sudah jelas". Maksudnya, jangan mempersulit sesuatu yang sudah jelas dan sederhana.

Penerapan prinsip ini dalam kasus homoseksualitas sebenarnya sangat masuk akal dan cukup ampuh. Logika sederhana menunjukkan bahwa penis dan vagina bersifat saling melengkapi sebagai alat kelamin dalam berhubungan seksual. Penis dipenetrasikan ke dalam vagina. Poin yang sama didapatkan apabila kita melihat dari sisi reproduksi. Janin hanya bisa dihasilkan apabila sperma (dihasilkan oleh laki-laki) bertemu dengan sel telur (dihasilkan oleh perempuan). Sulit menyangkali kekuatan dari observasi yang sederhana seperti ini.

Jikalau kaum LGBT tetap ingin menyangkalinya, satu-satunya jalan adalah memberikan penalaran yang jauh lebih rumit dan mengada-ada. Hal itu tentu saja bertentangan dengan prinsip silet Ocham yang dipegang dan diterapkan oleh para filsuf di segala bidang kebenaran. Kita tidak boleh menambah lapisan lain yang lebih rumit kepada sebuah argumen yang sudah jelas dan sederhana. Semakin mengada-ada, semakin sulit dipercaya.

Walaupun argumentasi logis di atas sudah cukup untuk mematahkan pandangan dari pihak pro-LGBT, kita tetap harus menyandarkan kebenaran kita pada kitab suci. Argumentasi logis hanyalah sarana untuk menunjukkan kebenaran kitab suci secara lebih relevan. Sarana, bukan substitusi. Sarana, bukan pondasi. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko