
Proses berteologi membutuhkan dan dipengaruhi oleh banyak hal. Berteologi dengan benar membutuhkan asumsi teologis dan metodologi yang benar. Berteologi juga memerlukan modal pengetahuan. Tradisi gerejawi atau teologis seseorang juga turut berperan.
Faktor lain yang penting tetapi seringkali diabaikan adalah komunitas teologi. Yang dimaksud dengan “komunitas teologis” di sini adalah orang-orang yang biasa dijadikan teman untuk bertukar pikiran. Komunitas bisa mempengaruhi teologi seseorang, demikian pula teologi seseorang mempengaruhi kenyamanannya berada dalam sebuah komunitas tertentu.
Sebagai contoh adalah diri saya sendiri. Dulu saya tergolong sangat kritis, kaku, dan arogan. Faktor-faktor internal dalam diri saya memang sangat rentang untuk menjadi orang seperti itu. Temperamen saya kolerik. Saya suka berpikir kritis. Saya kurang empati. Kesombongan dulu menjadi salah satu berhala utama dalam diri saya.
Di samping faktor internal ini, ada juga faktor-faktor lain yang eksternal. Salah satunya adalah komunitas teologi. Saya belajar teologi dari orang-orang yang kritis, kaku, dan arogan. Tanpa disadari, saya semakin menjadi sama dengan mereka.
Alkitab sendiri sudah memberikan peringatan tentang hal ini. Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik (1Kor. 15:33). Ayat ini tentu saja tidak hanya berbicara tentang kebiasaan atau moralitas. Pergaulan di sini mencakup pertukaran ide. Sebagian jemaat Korintus ternyata sudah tidak memeprcayai kebangkitan orang mati lagi (1Kor. 15:12). Mereka terpengaruh dengan filsafat dualisme Yunani yang menganggap tubuh jahat. Dengan pemikiran seperti ini mereka sukar menerima konsep kebangkitan tubuh. Persentuhan dengan filsafat Yunani juga membuat mereka menyombongkan “hikmat” mereka (1Kor. 1:19-24). Mereka bahkan berani menghakimi Paulus (1Kor. 4).
Bagaimana kita mengenali komunitas teologi yang kurang baik (toxic)? Ada beberapa indikator yang bisa dipertimbangkan.
Pertama, komunitas yang suka meributkan hal-hal yang sepele. Paulus beberapa kali memberikan nasihat agar kita tidak meributkan hal-hal yang dicari-cari, bodoh, dan tidak layak (2Tim. 2:23; Tit. 3:9). Orang yang suka meributkan hal-hal sepele adalah orang-orang yang tidak berhikmat. Hatinya memang suka mencari pertengkaran, bukan kebenaran. Komunitas teologi seperti ini sebaiknya dihindari.
Kedua, komunitas yang suka mencari kesalahan orang lain. Alkitab mengajarkan perbedaan yang cukup jelas antara menguji suatu ajaran dan menghakimi. Kita perlu menguji setiap hal (1Tes. 5:19-21). Bahkan klaim-klaim dari Roh Kudus juga perlu diuji (1Yoh. 4:1-3). Walaupun Alkitab mendorong kita untuk menguji segala sesuatu, Alkitab melarang kita untuk menghakimi (Mat. 7:1-5; 1Kor. 4:5). Menghakimi berarti merasa diri lebih benar dan lebih baik daripada orang lain (Mat. 7:3-5). Menghakimi juga berarti menggunakan patokan yang tidak konsisten pada diri sendiri dan orang lain (Mat. 7:2). Jika kita menemukan komunitas teologi yang sangat kritis terhadap pandangan orang lain tetapi kurang kritis terhadap diri mereka sendiri, jauhilah komunitas seperti itu. Jika sebuah komunitas teologi lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk menyalahkan pandangan lain daripada mengajarkan apa yang benar dan perlu dipegang oleh pengikutnya, kita perlu mewaspadai dampak buruknya.
Ketiga, komunitas yang suka menyombongkan diri. Sangat mudah bagi seseorang yang memiliki pengetahuan teologi yang tinggi untuk menjadi sombong (1Kor. 8:1-2). Mereka merasa lebih tahu banyak hal daripada orang lain. Godaan yang sama dapat terjadi pada sebuah komunitas teologi. Mereka merasa diri lebih pintar daripada orang lain. Mereka menyombongkan hal-hal tertentu yang mereka miliki (gelar, publikasi, daftar bacaan, prestasi akademik, dsb). Jika suatu komunitas teologi suka menunjukkan superioritas mereka atas aliran-aliran lain, jauhilah komunitas itu.
Keempat, komunitas yang tidak konsisten. Tidak konsisten dapat terjadi pada beragam area. Ada ketidakkonsistenan antara patokan yang digunakan untuk menilai diri sendiri dan orang lain. Sebagai contoh, beberapa orang kadang tidak mau “dihakimi” dengan ayat tertentu dengan alasan teks Alkitab bersifat multitafsir, tetapi dia sendiri menggunakan teks Alkitab untuk menyalahkan orang lain seolah-olah teks itu tidak multitafsir. Ketidakkonsistenan juga kadang terjadi antara ajaran dan tindakan. Misalnya, seseorang mungkin saja sangat menekankan anugerah dalam teologinya, tetapi sikapnya justru pongah. Contoh lain adalah orang-orang tertentu yang sering menyuarakan “keterbukaan pemikiran,” tetapi mereka sering tidak bisa terbuka terhadap orang-orang lain yang menentang keterbukaan pemikiran versi mereka.
Kelima, komunitas yang tidak menumbuhkan karakter Kristiani. Poin ini lebih sebagai dampak kumulatif dari poin-poin sebelumnya. Komunitas yang buruk tidak akan menumbuhkan karakter Kristiani yang baik. Bagaimana komunitas yang suka meributkan hal-hal sepele, mencari kesalahan orang lain, menyombongkan diri, dan tidak konsisten bisa menolong anggotanya untuk berkarakter seperti Kristus? Bukankah semua kesalahan tadi merupakan kontradiksi terhadap Injil?
Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan bahwa menjauhi seseorang atau suatu kelompok kadangkala memang diperlukan, bahkan harus dilakukan. Paulus menasihati Timotius untuk menjauhi orang-orang tertentu (2Tim. 3:5). Jemaat Tesalonika juga diperintahkan untuk menandai para penentang kebenaran dan dilarang bergaul dengan mereka (2Tes. 3:14). Tidak semua orang layak mendapatkan waktu dan pertukaran pendapat dari kita. Beberapa bahkan berpotensi merusak hal-hal baik dalam diri kita. Berhati-hatilah memiliki komunitas teologi. Soli Deo Gloria.