Salah satu bagian imageri yang merupakan pujian bagi seorang perempuan dari laki-laki paling banyak terdapat dalam kitab Kidung Agung. Dengan berbagai kontroversi yang muncul terhadap kitab ini, ditambah dengan kesulitan orang modern untuk memahaminya, menambah beban orang menjadi malas menggali kebenaran yang terdapat dalam kitab ini. Salah satu bagian yang sulit dipahami orang modern adalah ketika sang laki-laki memuji bagian perut perempuan ‘Perutmu timbunan gandum, berpagar bunga-bunga bakung’ (7:2). Orang modern akan membayangkan perut wanita yang seperti TIMBUNAN gandum, apakah itu yang dinamakan indah atau cantik? Apakah hal ini memang budaya orang Israel waktu itu yang sangat mengagumi perut wanita yang sedemikian? Mungkin kita akan tersenyum membayangkan wanita seperti itu. Apalagi bagian selanjutnya, perut yang ibarat timbunan gandum itu dikelilingi dengan bunga-bunga bakung. Tidak mengherankan jika beberapa sarjana pendukung feminisme menganggap bagian ini sebagai bentuk penghinaan laki-laki terhadap tubuh seorang wanita.
Jika dalam versi bahasa Indonesia, pasal 7 dimulai dari ayat 1, maka dalam versi Ibraninya (MT), pasal 7:1 dimulai dari 6:13. Dengan demikian ayat yang sedang dibahas ini merupakan bagian dari 7:3; hanya saja dalam pembahasan ini saya hanya memakai versi LAI supaya mempermudah kita untuk mengerti (7:2). Apa yang digambarkan dari SEBAGIAN 7:2 ini dinamakan Wasf (bahasa Arab yang artinya ‘deskripsi) yang merupakan salah satu alat sastra yang biasa dipakai orang Arab kuno dulu untuk menjadi salah satu ritual dalam upacara perkawinan. Dalam wasf, orang akan membacakan entah puisi atau lagu dimana masing-masing mempelai akan saling memuji pasangannya. Dalam pelaksanaan pembacaan wasf ini, pasangan akan memuji tubuh pasangannya secara detil, dari bagian tubuh atas ke bawah atau sebaliknya. Mungkin ‘kedetilan’ ini akan sangat aneh dalam pemikiran orang modern, apalagi dengan kemunculan imageri yang dipakai yang seringkali diperbandingkan dengan alam atau keahlian tertentu. Pastinya, imageri yang dipakai itu bukanlah merupakan sesuatu yang asing bagi orang yamg membaca atau mendengarnya saat itu.
Ada satu hal lagi yang perlu dipahami ketika memahami imageri yang dipakai di Kidung Agung, utamanya dalam wasf ini. Janganlah langsung mengambil kesimpulan ketika ada satu penggambaran bagian tubuh yang dibandingkan dengan obyek tertentu karena belum tentu yang dimaksud dengan penggambaran itu hanya bersifat visual. Ada kalanya perbandingan yang dimaksud bukan mengarah ke perbandingan visual semata melainkan ke indera lainnya, misalnya indra peraba, indra penciuman atau lainnya. Sebagai contoh ketika disampaikan bibir mempelai pria seperti bunga bakung (5:13), janganlah langsung berpikir bahwa bibir mempelai pria BENTUKNYA seperti bunga bakung! Belum tentu. Ada kemungkinan perbandingan bibir dengan bunga bakung mengarah ke indra lainnya, bukan indra penglihatan semata.
Demikianlah ketika mempelai pria menyebutkan bahwa perut perempuan seperti timbunan gandum, maka janganlah langsung mengambil konklusi bahwa perut perempuan yang disukai atau ideal di era itu adalah perut yang seperti timbunan gandum. Lalu kita berimaginasi timbunan gandum itu seperti perut yang bertumpuk-tumpuk (kadang ada di antara kita yang tidak tahu bagaimana sistem penumpukan gandum). Kita tidak bisa memperlakukan Kidung Agung dengan sistem penafsiran seperti itu. Konteks pasal 7 ini sedang berbicara tentang gadis-gadis yang sedang menari (6:13; 7:1). Biasanya jenis tarian yang dipakai orang daerah Tmur Dekat Kuno adalah semacam tarian perut (belly dance) yang menampilkan keindahan goyangan lekukan perut. Untuk dapat melakukan tarian perut ini tidak dapat disangkali bahwa tarian ini membutuhkan persiapan fisik khusus misalnya perut yang lentur. Harus diakui juga, standart badan yang dikatakan ideal untuk orang di era itu bukanlah seorang gadis kurus ceking (yang dalam gambaran orang era seakarang adalah badan mirip seorang model panggung) melainkan badan berisi (tapi tidak seperti tumpukan gandum dalam gambaran orang era sekarang). Dengan demikian ketika si pria memuji wanita dengan mengatakan ‘perutmu timbunan gandum’ yang menjadi inti bukanlah pada ukuran perutnya melainkan pada nilai dari goyangan perut dalam tarian perut yang dilakukan si wanita, yaitu kelenturan serta kelembutannya yang diperbandingkan dengan tumpukan gandum. Karena perut si wanita yang lembut dan lentur ibarat tumpukan gandum (yang walaupun dalam kategori tumpukan tetap lentur) itulah maka pujian ‘perutmu timbunan gandum’ dapat dipahami sesuai dengan konteks pasal 7.