Topik tentang persepuluhan seringkali mendatangkan perdebatan. Ada banyak kebingungan dan keberatan. Bukan hanya terhadap teks dan penafsirannya, tetapi juga penerapannya. Ditambah dengan berbagai penyalahgunaan persepuluhan oleh rohaniwan, topik ini benar-benar menjadi isu yang sensitif. Suasana diskusi cenderung negatif.
Haruskah topik ini mendatangkan suasana negatif seperti itu? Tidak juga. Dalam teks kita hari ini tidak ada ada nuansa negatif sama sekali. Kesan utama yang ditangkap dari teks justru sukacita. Ada perayaan. Ada keramaian.
Khotbah hari ini mungkin sangat berbeda dengan pembahasan-penbahasan umum tentang persepuluhan. Harus diakui, teks hari ini sangat jarang dikhotbahkan dalam kaitan dengan persepuluhan, padahal ada banyak poin menarik yang bisa memperkaya pemahaman kita tentang topik ini.
Analisa konteks: gaya hidup umat TUHAN
Ulangan 12:22-29 tidak boleh dipisahkan dari konteksnya. Seluruh pembahasan di pasal 29 dimulai dengan status kita sebagai anak-anak TUHAN dan umat TUHAN (ayat 1-2). Poin ini ditekankan lagi di ayat 21b. Kita tidak sama dengan dunia.
Status ini tentu saja bukan diperoleh melalui kesalehan kita. Semua dimulai dari inisiatif Allah. Dialah yang lebih dahulu memilih kita (ayat 2b “engkau dipilih TUHAN untuk menjadi umat kesayangan-Nya dari antara segala bangsa yang di atas muka bumi”).
Analisa konteks seperti di atas juga menyediakan kerangka teologis yang penting bagi kita untuk memahami topik persepuluhan. Ada hal yang lebih besar daripada sekadar memberikan persepuluhan. Masalah ini bukan tentang aktivitas (apa yang kita lakukan), melainkan identitas (siapa kita). Aktivitas lahir dari kesadaran tentang identitas.
Poin ini membawa kita pada kerangka teologis lainnya yang tidak kalah penting. Pemberian kita dimulai dari karya Allah dalam hidup kita. Dengan kata lain, pemberian kita merupakan respons terhadap apa yang dilakukan oleh Allah bagi kita. Apapun yang kita lakukan bagi Allah seharusnya adalah wujud ucapan syukur atas kebaikan-Nya. Kebaikan TUHAN adalah awal, bukan tujuan, dari pemberian kita.
Makna persepuluhan yang benar
Memberikan persepuluhan merupakan perintah TUHAN. Ayat 1 bahkan memberikan penekanan untuk keseriusan perintah ini. Kata kerja “memberikan persepuluhan” (‘a’ar) muncul dua kali. Salah satunya muncul dalam bentuk penegasan (piel). Tidak heran beberapa versi Inggris berusaha mengekspresikannya melalui kata “surely” (NASB/ERV) atau “be sure” (NIV).
Penekanan ini sangat mungkin berkaitan dengan keengganan dari beberapa orang Israel untuk melakukannya. Kalaupun mereka melakukannya, mereka mungkin tidak benar-benar menyerahkan 1/10 dari seluruh hasil bumi mereka. Kalaupun mereka sudah memberikan 1/10, belum tentu mereka mau melakukannya secara konsisten. Itulah sebabnya TUHAN menerangkan: “sepersepuluh dari seluruh hasil benih yang tumbuh di ladangmu, tahun demi tahun” (ayat 22b). Jadi, penekanan diberikan dalam kaitan dengan dua aspek ini: keseluruhan dan konsistensi.
Bagaimana kita bisa memberikan persepuluhan dengan benar dan konsisten? Jawabannya terletak pada pemahaman yang benar tentang persepuluhan. Teks hari ini mengajarkan tiga makna yang benar tentang persepuluhan.
Pertama, persepuluhan merupakan respons terhadap berkat TUHAN. Benih yang tumbuh (14:22) bukanlah peristiwa alamiah semata-mata. Demikian pula dengan ternak yang semakin banyak (14:23b). Keadaan baik seperti ini dilihat dari perspektif supranatural: “dalam hal engkau diberkati TUHAN, Allahmu” (ayat 24a).
Bagi masyarakat kuno keberhasilan panen dan ternak sangat ditentukan oleh alam. Teknologi pertanian dan peternakan belum semaju sekarang. Mereka sangat bergantung pada iklim dan cuaca. Ada banyak ancaman kegagalan panen dan ternak yang berada di luar kemampuan mereka untuk mengatasinya. Dalam situasi seperti ini mereka seharusnya mudah untuk mengamini bahwa semua keberhasilan usaha mereka merupakan pemberian dari Allah. Demikian pula dengan bangsa Israel. Kesuksesan panen dan ternak merupakan berkat dari TUHAN.
Dengan pemahaman teologis ini tidak heran tujuan persepuluhan juga dikaitkan dengan TUHAN, yaitu “supaya engkau belajar untuk selalu takut akan TUHAN, Allahmu” (ayat 23b). Jika TUHAN benar-benar diakui sebagai Sang Pemberi, kita tidak perlu kuatir akan mengalami kekurangan pada saat melepaskan sebagian dari pemberian-Nya (14:29b). Justru melepaskan apa yang kita miliki merupakan ujian untuk menyandarkan diri pada TUHAN. Apakah dengan memberikan sebagian harta, kita masih bisa percaya bahwa TUHAN sanggup memelihara hidup kita? Apakah dengan melepaskan apa yang kita punya, kita tetap merasa cukup dengan TUHAN saja?
Kedua, persepuluhan merupakan kenikmatan dari TUHAN. Teks hari ini mungkin mengagetkan bagi banyak orang. Pemberi persepuluhan ternyata masih bisa menikmati apa yang mereka berikan. Mereka tidak sepenuhnya “kehilangan” 1/10 dari penghasilan mereka. Yang lebih menarik, tindakan ini juga termasuk dalam perintah Allah: “haruslah engkau memakan persembahan persepuluhan” (ayat 23a), “haruslah engkau membelanjakan uang itu untuk segala yang disukai hatimu” (ayat 26a), “haruslah engkau makan di sana” (ayat 26b).
Persepuluhan bukanlah perintah yang menyengsarakan. Kata yang tepat untuk menggambarkan suasana pemberian persepuluhan adalah kesukaan (awal ayat 26) atau “sukaria” (akhir ayat 26). Kunci untuk memahami ini terletak pada ungkapan “di hadapan TUHAN” (14:23, 26). Maksudnya, kita menyadari bahwa semua yang kita miliki dan nikmati berasal dari TUHAN saja. Meminjam istilah Si Pengkhotbah, “Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa inipun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia?” (Pkt. 2:24-25). Meminjam ungkapan Yakobus, “Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran” (Yak. 1:17). Atau meminjam dari Paulus, “Karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatupun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur” (1Tim. 4:4).
Sebelum melangkah ke poin selanjutnya, ada baiknya kita menyinggung sedikit tentang “anggur dan minuman yang memabukkan” (ayat 26). Bagian ini tentu saja tidak boleh ditafsirkan sebagai izin untuk bermabuk-mabukan. Kita harus ingat bahwa semua makanan dan minuman yang disebutkan di sini dinikmati di hadapan TUHAN, alias dalam konteks ibadah. Kemabukan jelas bukan bagian dari ibadah Israel. Walaupun kata “minuman yang memabukkan” (shēkār) memang bisa memabukkan karena mengandung fermentasi, tidak semua orang meminumnya sampai mabuk (Kej. 43:34; Kid. 5:1). Pendeknya, anggur dan minuman beralkohol di sini hanyalah simbol sukacita. Keduanya merupakan minuman yang biasa ditemui dalam sebuah pesta.
Ketiga, persepuluhan merupakan pembagian berkat TUHAN bagi yang membutuhkan. Persepuluhan memang untuk TUHAN, tetapi TUHAN tidak membutuhkan persepuluhan. Sebagai Pencipta segala sesuatu, Dia tidak butuh dilayani oleh tangan manusia atau memerlukan sesuatu di luar diri-Nya (Kis. 17:24-25). Jika demikian, untuk apa TUHAN memerintahkan kita untuk memberikan persepuluhan? Jawabannya: untuk membantu umat TUHAN yang hidup dalam keterbatasan dan kekurangan (Ul. 14:27-29).
Supaya bangsa Israel tidak memandang persepuluhan hanya dalam kaitan dengan relasi vertikal (mereka dengan Allah), TUHAN telah memberikan sebuah aturan yang menarik: tiap tahun ketiga mereka boleh menikmati persepuluhan di kota masing-masing. Mereka tidak perlu membawa persembahan itu atau menguangkannya lalu dibawa ke bait Allah di Yerusalem. Mereka bisa menikmatinya di mana saja mereka berada. Mereka sedang diajar untuk peduli dengan orang-orang di sekeliling mereka, terutama orang-orang yang berkekurangan.
Semua golongan yang disebutkan di ayat 27-29, yaitu orang Lewi, orang asing, anak yatim dan janda, tidak memiliki modal maupun kesempatan untuk menghasilkan uang. Yang menyamakan semua kelompok ini adalah ketidakadaan tanah. Dalam konteks masyarakat kuno yang agrikultural tidak memiliki tanah merupakan persoalan yang besar. Mereka tidak bisa bercocok tanam maupun beternak. Orang-orang Lewi jelas tidak bisa menjadi buruh tani karena mereka harus melayani dalam ibadah. Orang asing, anak yatim dan janda bisa mengais rejeki sebagai buruh tani, tetapi mereka seringkali tidak diberi gaji yang cukup, bahkan seringkali mengalami penindasan. Orang-orang seperti inilah yang seharusnya turut menikmati persembahan persepuluhan kita. Mereka yang tidak menyerahkan persepuluhan adalah para perampok hak kaum yang lemah.
Bagi kita yang diberkati oleh TUHAN, marilah kita belajar berbagi. Jika umat Allah di Perjanjian Lama saja diperintahkan untuk membagikan sepersepuluh dari penghasilan mereka, kita yang hidup di jaman Perjanjian Baru seharusnya belajar memberikan lebih dari sepersepuluh. Jika sepersepuluh di Perjanjian Lama merupakan respons terhadap berkat-berkat jasmaniah dari Allah, kita yang sudah dilimpahi berkat-berkat surgawi di dalam Kristus seharusnya rela memberikan lebih daripada itu. Kita memiliki alasan yang lebih baik untuk memberikan yang lebih baik, yaitu “Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya” (2Kor. 8:9). Soli Deo Gloria.