Di sekitar kita, kita pasti berelasi dengan orang-orang dari berbagai generasi yang berbeda dengan kita. Salah satu generasi tersebut adalah generasi baby boomers. Generasi ini terdiri dari orang-orang yang lahir tahun 1946-1964. Seorang kakak tingkat saya di STT-SAAT menyebutnya sebagai generasi kolonial yang dibedakan dengan generasi milenial (generasi Y yang lahir tahun 1981-1996). Istilah baby boomers berasal dari Biro Sensus Amerika Serikat yang mengumpulkan data dari seluruh warga Amerika Serikat dan hasilnya, pada tahun 1946-1964 merupakan momen lonjakan besar kelahiran setelah Perang Dunia II. Secara umum, generasi ini memiliki karakteristik yang cukup positif yaitu berkomitmen tinggi, mandiri, dan kompetitif (https://www.kompas.com/tren/read/2021/12/26/170000565/mengenal-apa-itu-generasi-baby-boomers-x-y-z-millenials-dan-alpha?page=all). Karakteristik ini muncul karena latar belakang keluarga dan kehidupan mereka di zamannya yaitu mereka dididik dengan disiplin yang keras dan ketat, sehingga mereka memiliki mental kuat, prinsip kuat, dan sangat berdedikasi (https://www.gramedia.com/literasi/generasi-baby-boomers-x-y-z-alpha/). Konsep ini lebih terlihat secara khusus dianut oleh baby boomers dari keturunan Tionghoa. Baby boomers dari keturunan Tionghoa bukan hanya sekadar dididik oleh orang tua dengan disiplin keras, tetapi orang tua mereka mempengaruhi mereka dengan filsafat atau kepercayaan Tiongkok, salah satu Konfusianisme atau Khonghucu.
Konfusianisme dan Baby Boomers Tionghoa
Konfusianisme mengajarkan beberapa konsep yang tentu saja positif, misalnya hidup berintegritas, tidak mementingkan diri sendiri, dll. Kong Zi sebagai nabi dalam Konfusianisme memiliki empat pantangan, yaitu “tidak berprasangka. Tidak mengharapkan yang terjadi harus sesuai dengan keinginannya. Tidak keras kepala mempertahankan pendapat. Tidak melekat ke-aku-annya.” (Andri Wang, The Wisdom of Confucius, Bab 9.4). Bahkan Peraturan Emas Khonghucu berbunyi, “Apa yang kita tidak ingin orang lain lakukan terhadap kita, janganlah lakukan itu kepada orang lain.” Peraturan emas ini mirip dengan Peraturan Emas Yesus di Matius 7:12, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.”
Semua konsep positifnya didasarkan pada kepercayaan Kong Zi bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan (Shang Di) secara khusus yang berbeda dengan ciptaan lainnya di dunia ini, yaitu roh manusia pada awalnya baik karena roh manusia diberikan oleh Tuhan sebuah watak sejati (xing (性)) Wujud dari watak sejati berupa benih-benih kebajikan: ren 仁 (cinta kasih), yi 義 (kebenaran/keadilan/kewajiban), li 禮 (kesusilaan), dan zhi 智 (kebijaksanaan). Dari watak sejati ini, manusia dapat mengembangkannya, sehingga mencapai Jun Zi (君子) yang didefinisikan oleh Andri Wang, “laki-laki yang penuh kebajikan, berbakti kepada orangtua, sopan santun, berlapang dada mau memaafkan orang lain dan tidak bicara sembarangan.” (The Wisdom of Confucius, xxi) Sederhananya, Jun Zi adalah manusia dengan karakter sempurna. Karena manusia pada waktu lahir itu baik, maka Khonghucu tidak mengakui adanya dosa. Bagi Khonghucu, yang ada hanyalah kesalahan yang disebabkan oleh nafsu yang tidak dikendalikan, situasi luar di luar kendali kita, kebiasaan buruk, maupun kurangnya pendidikan untuk mengembangkan watak sejati tersebut. Oleh karena itu, solusi atas dosa adalah mengembangkan etika dan tata krama yang baik, sehingga terciptalah keharmonisan antara tubuh dan roh manusia yang merupakan tujuan tertinggi agama Khonghucu.
Pentingnya etika mengakibatkan Kong Zi mengajarkan konsep berbakti kepada orang tua yang hampir mirip seperti penyembahan berhala. Misalnya, Kong Zi mengajarkan, “Anak yang berbakti kepada orang tua, bila orang tua memiliki kekurangan atau kesalahan, harus memberitahukannya dengan kata-kata lembut dan sopan Bila orang tua tidak mau menerima pemberitahuannya, sebagai anak harus terus berbakti kepada orang tua, tidak membangkang. Meskipun merasa dongkol dan khawatir, tetap tidak boleh mengeluarkan keluhan serta kedongkolan kepada orang tua.” (The Wisdom of Confucius, IV.15, 42-43). Bahkan berbakti kepada orang tua termasuk menaati kemauan orang tua ketika orang tua sudah meninggal. Kong Zi mengajarkan, “Bila ayah masih hidup, ayahlah yang mengawasi dan mengarahkan cita-cita anaknya. Jika ayah sudah tiada, anak harus mengawasi dirinya sendiri, apakah dia masih mengikuti nasihat almarhum ayahnya atau tidak. Kalau mampu bertahan selama tiga tahun tidak menyimpang dari nasihat ayahnya, baru bisa dikatakan dia adalah anak yang menaati nasihat ayahnya.” (The Wisdom of Confucius, I.11, 6)
Konfusianisme dan Baby Boomers Tionghoa “Kristen”
Ironisnya adalah beberapa atau mungkin banyak baby boomers Tionghoa yang mengaku beragama “Kristen” ternyata masih mengadopsi pemikiran Konfusius di dalam seluruh kehidupannya. Misalnya, ada baby boomers Tionghoa “Kristen” yang masih percaya bahwa anak dilahirkan seperti kertas putih alias baik dan anak itu menjadi lebih baik atau tidak baik karena pendidikan orang tuanya. Oleh karena itu, tugas orang tua menurut baby boomers Tionghoa “Kristen” adalah mendidik anak-anaknya untuk berbakti kepada orang tua. Mungkin mereka tidak mengajarkan berbakti kepada orang tua setelah orang tua meninggal karena mereka mengaku “Kristen,” tetapi mereka mengajarkan berbakti kepada orang tua dalam setiap aspek kehidupan anaknya bahkan ketika anaknya sudah menikah dan dikaruniai anak. Berbakti ini didefinisikan sebagai taat mutlak kepada orang tua dengan alasan orang tua sudah banyak “makan asam garam” alias berpengalaman daripada anak muda. Taat mutlak ini diwujudkan melalui ketika orang tua berkata apa pun, anak harus mendengarkan dan menyetujuinya. Ketika anaknya tidak menyetujui perkataan orang tua, anak dianggap membangkang. Misalnya, mertua dari satu anggota DG saya pernah berkata kepada anggota DG saya (menantunya) bahwa zaman di mana mertua ini hidup, tidak ada anak autis, mengapa zaman sekarang, banyak anak autis. Perkataan ini tidak dapat dibuktikan secara ilmiah karena Virginia Sole-Smith menyebutkan bahwa autisme sudah ada sejak tahun 1908 (https://www.parents.com/health/autism/the-history-of-autism/). Ketika anggota DG saya tidak menyetujui perkataan mertuanya, mertuanya diam saja. Bukankah ini membuktikan bahwa orang tua sudah seperti Tuhan yang tidak bersalah? Kalau di dalam Kekristenan Injili, kita percaya ketidakbersalahan (inerrancy and infallibility) Alkitab, maka di dalam kebudayaan Tionghoa “Kristen,” pengakuan imannya adalah ketidakbersalahan (inerrancy and infallibility) generasi baby boomers.
Karena dianggap lebih berpengalaman ditambah pentingnya etika dan tata krama di dalam Konfusianisme, tidak heran, bagi beberapa baby boomers Tionghoa Kristen, yang terpenting bukan Kristus yang mati disalib dan bangkit, tetapi etika. Percuma berkhotbah, ngomongin Injil, dll, tetapi tidak beretika yang didefinisikan sebagai tidak menaati semua nasihat baby boomers yang dianggap paling baik dan benar.
Panggilan Injil bagi Baby Boomers Tionghoa “Kristen”
Beretika tentu tidak salah. Sebagai orang Kristen, kita dapat mengapresiasi banyak konsep Kong Zi yang baik bahkan menginspirasi kita sebagai orang Kristen di abad ini. Misalnya, “Kata-kata yang dihias dan sikap yang berpura-pura seperti orang ‘baik yang rendah hati’, orang yang seperti itu jarang sekali punya hati yang baik.” (Wisdom of Confucius, I.3). Ini berarti jadilah orang yang tulus, bukan mbasahi lambe atau berpura-pura untuk mengeruk keuntungan pribadi. Konsep ini “menampar” beberapa pendeta yang berkhotbah dengan kata-kata yang nampak “rohani,” “bijaksana,” dan “dewasa,” namun mereka tidak melakukan apa yang dikhotbahkan. Bahkan Kong Zi mengajar kita untuk tidak merendahkan orang lain dengan berkata, “Tidak malu bertanya kepada orang yang lebih rendah” (Wisdom of Confucius, V.4). Konsep ini jelas “menampar” beberapa baby boomers Kristen yang rajin “family altar” di keluarganya atau mengkritik khotbah pendeta lain, tetapi merendahkan asisten rumah tangga atau anaknya yang dianggap “kurang berpengalaman” daripada baby boomers.
Namun Alkitab jelas mengajarkan konsep yang sangat bertentangan dengan Konfusianisme di mana Alkitab dengan jelas bahwa manusia dikandung di dalam natur dosa asal (Rm. 3:23; Mzm. 51:7), sehingga manusia mustahil berbuat baik apalagi memiliki karakter sempurna seperti yang dipercayai oleh Konfusianisme. Dosa bukan sekadar kesalahan, tetapi perlawanan sengaja terhadap Allah dan akibatnya adalah maut atau kematian (Rm. 6:23). Mengapa? Karena dosa adalah melawan Allah yang kekal, sehingga dosa itu bersifat kekal dan akibatnya pun juga kekal. Solusi terhadap dosa bukan sekadar beretika, tetapi Allah mengutus Kristus mati menebus dosa umat pilihan-Nya, sehingga mereka terlepas dari kuasa dosa dan beroleh hidup kekal (Yoh. 3:16). Allah menyelamatkan umat-Nya dengan tujuan agar mereka hidup bagi Allah (2Kor. 5:15), salah satunya dengan menghadirkan Kerajaan Allah di mana pun dan kapan pun mereka hidup dan berkarya (Ef. 2:10). Dengan kata lain, Kristus menebus orang percaya agar orang percaya memiliki etika yang berpusat pada Allah. Namun etika yang berpusat pada Allah bukan etika yang manusia lakukan sepenuhnya, tetapi etika yang manusia lakukan berdasarkan anugerah Allah di dalam Kristus. Ini berarti bahwa fokus orang percaya beretika bukan menjadi orang percaya yang berkarakter sempurna, tetapi berfokus pada Kristus yang telah menebus orang percaya. Paulus menggambarkannya di 1 Korintus 15:10, “Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku.” Anugerah Allah mendorong Paulus bekerja lebih keras bagi Allah, namun ketika ia bekerja keras, itu bukan dia yang bekerja, tetapi anugerah-Nya yang memampukannya. Paulus sedang mengajarkan konsep “dari anugerah kepada anugerah.” Konsep ini menyadarkan kita bahwa apa pun yang kita kerjakan fokusnya bukan agar kita semakin berkarakter sempurna, tetapi agar Allah dimuliakan.
Dari sini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa ketika ada baby boomers Tionghoa Kristen yang belum memahami iman Kristennya perlu diinjili ulang agar mereka memahami Injil dan menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari secara konsisten. Injil bukan hanya untuk orang-orang yang belum percaya, tetapi bagi orang yang mengaku diri “percaya,” tetapi tidak sungguh-sungguh percaya.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, saya tidak sedang mengeneralisasi semua baby boomers Tionghoa Kristen pasti imannya salah karena saya percaya pasti ada beberapa baby boomers Tionghoa Kristen yang benar-benar mengerti iman Kristennya dan menerapkannya dengan bijaksana. Yang saya ingin tekankan adalah apakah baby boomers atau kaum milenial Tionghoa yang berani mengaku diri Kristen benar-benar memahami imannya dan menerapkannya dan tidak mencampurnya dengan filsafat Konfusianisme yang beberapa konsepnya bertentangan dengan Alkitab. Hal ini tidak berarti semua filsafat Konfusianisme ditolak karena seperti yang telah kita pelajari di atas, ada beberapa atau mungkin banyak perkataan Kong Zi yang patut dihargai bahkan menjadi refleksi bagi orang Kristen, namun tentu saja ada beberapa konsep utama Kong Zi lainnya harus diuji berdasarkan Alkitab. Amin.
Photo by zhang kaiyv on Unsplash