
Bukan tanpa alasan jika Alkitab mengatakan “Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya?” (Ams. 20:6). Kesetiaan dan konsistensi menjadi barang sangat langka sekarang ini. Banyak orang cenderung mementingkan ekspresi cinta yang luar biasa daripada kelanggengan cinta. Tidak heran, ketika relasi digerakkan oleh rutinitas dan diterpa oleh berbagai masalah, mereka merasa bahwa cinta itu sudah tidak ada lagi.
Situasi ini tidak mencerminkan cinta yang sejati. Cinta sejati itu mirip mentari. Kehangatannya memang kadang berkurang karena malam atau awan tebal, tetapi pasti kembali di pagi hari. Cinta seharusnya tidak pudar oleh usia maupun derita.
Mengapa banyak keluarga mengalami perpudaran cinta? Banyak alasan, baik personal maupun kultural. Secara personal mungkin dipicu oleh pertengkaran dan kekecewaan yang berkepanjangan. Secara kultural karena pengaruh semangat zaman. Di tengah zaman yang individual & anti komitmen, kepedulian sepanjang hayat semakin susah didapat.
Melalui teks hari ini kita akan bersama-sama belajar untuk memedulikan keluarga sampai masing-masing menutup usia. Kita akan melihat bagaimana Yesus Kristus tidak mengabaikan nasib ibu-Nya, walaupun Dia sendiri sedang menderita dan tidak memiliki apa-apa. Keluarga tetap ada di hati-Nya.
Klarifikasi seputar persoalan historis (ayat 25)
Peristiwa singkat di kayu salib ini terlihat singkat dan mudah untuk dipahami. Sekilas terlihat tidak ada masalah serius dalam cerita ini. Ternyata beberapa orang mencoba memersoalkan beberapa isu historis.
Kisah para perempuan yang berada di dekat kayu salib tampak berkontradiksi dengan kitab Injil lain yang mengatakan bahwa perempuan-perempuan itu berdiri dari jauh (apo makrothen, Mrk. 15:40-41). Bagaimana dua kisah ini dapat diharmonisasikan?
Perbedaan detil antara Yohanes 19:25 dan Markus 15:40 sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan. Proses penyaliban berlangsung berjam-jam. Apakah para perempuan tetap berada di posisi yang sama selama berjam-jam atau berpindah-pindah lokasi? Kita tidak bisa mengetahuinya. Alkitab tidak menyediakan petunjuk yang cukup untuk mendukung salah satu opsi. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah lokasi penyaliban yang tidak terlalu jauh dari jalan (Mrk. 15:29; Yoh. 19:19-20). Para perempuan bisa saja awalnya melihat dari jauh karena takut atau pertimbangan lain, namun selama proses penyaliban berlangsung dan banyak pejalan kaki yang berkerumun di tepi jalan akhirnya mereka memberanikan diri mendekat. Yang paling penting, kata “jauh” (makrothen) dalam Injil Markus dipakai secara agak ambigu. Maksudnya, jarak yang dipikirkan cukup variatif. Makrothen bisa menyiratkan jarak beberapa kilometer (8:3), tetapi bisa juga hanya beberapa meter (14:54).
Klarifikasi historis lain yang perlu disampaikan adalah kehadiran para murid Yesus di sekitar salib. Beberapa orang menganggap situasi seperti ini perlu dipertanyakan. Mereka menduga bahwa para tentara Romawi tidak mungkin mengizinkan situasi tersebut untuk mencegah murid-murid untuk menurunkan Yesus atau membuat onar di sana.
Sama seperti sebelumnya, keberatan ini sebenarnya cukup mudah untuk dijelaskan. Beberapa catatan kuno menunjukkan bahwa seseorang yang disalibkan boleh ditemani oleh orang-orang yang dekat dengan dia. Sebagai contoh, ada seorang rabi Yahudi yang menangisi seorang muridnya yang digantung di kayu salib. Lagipula kehadiran pengikut Yesus di 19:25-27 tidak akan membawa resiko apapun. Mereka hanyalah para perempuan biasa, bukan pejuang perempuan. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Tentang murid yang dikasihi oleh Tuhan, dia kemungkin besar memiliki akses khusus ke lokasi salib karena kedekatannya dengan imam besar (bdk. 18:15). Yang terakhir, kita juga tidak boleh melupakan bahwa para prajurit Romawi sangat mungkin tidak mampu mengenali siapa murid Yesus dan siapa yang hanya sekadar berhenti untuk menonton penyaliban. Selama jumlah orang di lokasi penyaliban bisa dikendalikan, mereka pasti tidak akan memberikan larangan.
Isu terakhir berhubungan dengan penyerahan ibu Yesus kepada murid yang dikasihi oleh Tuhan. Bagi sebagian orang tindakan ini mengagetkan dan membingungkan. Mengapa Yesus tidak menyerahkan Maria pada suadara-saudara-Nya?
Walaupun pertanyaan ini masuk akal, isu ini tidak terlalu sukar untuk diterangkan. Penulis Injil Yohanes sudah menginformasikan bahwa saudara-saudara Yesus tidak (atau belum) percaya kepada-Nya (7:3-5). Mereka tidak akan mau mengikuti terus perjalanan pelayanan Yesus ke mana-mana. Mungkin berita penangkapan dan penyaliban Yesus tidak sampai ke telinga mereka. Mereka mungkin tidak sedang berada di Yerusalem selama perayaan Paskah. Kalaupun mereka berada di sana, belum tentu mereka mendapatkan beritanya karena proses dari penangkapan dan penyaliban berlangsung dalam sehari. Seandainya mereka sempat mengetahui kabar itu, belum tentu mereka bersedia mengikuti prosesnya. Mereka bisa saja menganggap penyaliban itu sebagai upah yang layak bagi Yesus yang terlalu berani menyatakan klaim-klaim besar tentang diri-Nya.
Kepedulian Yesus terhadap ibu-Nya (ayat 26-27)
Secara tata bahasa, kisah ini dikontraskan dengan kisah pengundian pakaian Yesus. Kata sambung Yunani men…de (lit. di satu sisi…di sisi lain) muncul di ayat 24 (men) dan 25 (de). Dari penggunaan ini pembaca didorong untuk melihat beberapa kontras yang ada. Yang satu tentang orang-orang asing (para prajurit Romawi), yang satu pengikut setia Yesus (para perempuan dan murid yang dikasihi oleh Tuhan). Yang satu seluruhnya laki-laki, yang satu hampir semuanya perempuan. Yang satu menyengsarakan Yesus sampai akhir, yang lain mengasihi Yesus sampai akhir. Yang satu tentang orang-orang yang mempermalukan Yesus, yang lain tentang orang-orang yang tidak malu dengan penyaliban Yesus.
Khotbah hari ini tidak akan mendiskusi terlalu dalam pelbagai usulan tentang makna simbolis dalam kisah ini. Ada penafsir yang melihat Yesus sebagai Adam dan Maria sebagai Hawa. Ada yang mengaitkan ini dengan perempuan dan anaknya di Wahyu 12. Masih banyak usulan lain tentang makna simbolis di dalamnya. Usulan-usulan tersebut terlalu variatif dan spekulatif. Para pembaca tampaknya tidak banyak yang akan mampu menangkap maksud simbolis sampai ke sana. Di samping itu, beragam usulan tersebut gagal untuk menerangkan “makna simbolis” figur-figur lain dalam kisah ini (saudara Maria, Maria isteri Kelopas, dan Maria Magdalane).
Khotbah hari ini juga tidak akan menyediakan uraian detil tentang ayat 26-27. Sebaliknya, kita hanya akan menyoroti ini dari perspektif sebuah keluarga: sikap Yesus terhadap ibu-Nya. Apa yang bisa kita pelajari dari kisah ini?
Pertama, kita harus memedulikan keluarga sampai akhir hidup kita. Dalam budaya Yahudi perintah untuk menghormati orang tua (Kel. 20:12; Ul. 5:16) bukan hanya ditunjukkan melalui ketaatan. Perintah ini juga dipahami sebagai kewajiban untuk merawat orang tua sampai mereka meninggal dunia. Kegagalan untuk menjalankan kewajiban ini dipandang sebagai pelanggaran yang fatal dan aib bagi orang tua. Orang tua sudah tidak memiliki kekuatan maupun penghasilan. Hidupnya bergantung pada keturunan mereka. Jika tidak ada keturunan yang peduli dengan mereka, orang tua menanggung aib di tengah masyarakat. Jadi, tugas ini benar-benar penting di mata masyarakat Yahudi. Itulah sebabnya orang-orang Farisi ditegur oleh Tuhan Yesus ketika mereka menghabiskan uang pemeliharaan orang tua untuk keperluan bait Allah (Mat. 15:4-6).
Yesus Kristus melakukan yang terbaik untuk memenuhi tugas mulia ini. Dia sudah tidak berdaya di kayu salib. Harta-Nya yang terakhir, yaitu pakaiannya, telah dibagi-bagi kepada para prajurit melalui undian (Yoh. 19:24). Di tengah situasi seperti ini Dia ingin memastikan bahwa ibu-Nya akan tetap memperoleh kehormatan dan perlindungan. Dia memerintahkan murid yang dikasihi untuk menggantikan posisi-Nya.
Menariknya, percakapan antara Yesus dan ibu-Nya hanya dicatat dua kali, yaitu di awal pelayanan (perkawinan di Kana, 2:1-11) dan akhir pelayanan (kisah hari ini, 19:26-27). Dua-duanya mengisahkan bagaimana sebuah persoalan yang nyata diselesaikan oleh Yesus. Sebagaimana ibu-Nya sejak awal percaya bahwa bersama Yesus semua akan baik-baik saja (2:2, 5), di akhir hidup-Nya Yesus ingin melakukan hal yang sama (19:26-27).
Dari sikap ini kita belajar bahwa kewajiban kepada keluarga tidak boleh diabaikan, terlepas dari apapun keadaan kita. Kekurangan bukan alasan untuk melalaikan tugas mulia ini. Persoalannya bukan apa yang kita miliki, tetapi apakah kita peduli. Kalau kita benar-benar peduli, kita pasti akan selalu mencari & memiliki sesuatu untuk dibagi.
Kedua, kita harus meletakkan kepedulian dalam konteks pemuridan. Perhatian kepada Maria, ibu Yesus, memang perlu diperhatikan, tetapi tidak perlu ditekankan secara berlebihan. Relasi yang sedang dibangun di sini bukan hanya antara orang tua dan anak. Yesus tetap memertahankan posisi-Nya sebagai Anak Allah. Sebagaimana sebelumnya di 2:1-11, dalam kisah inipun Dia menyapa Maria dengan “perempuan” (gynē), bukan “ibu” (matēr). Ada “jarak” yang dijaga di sana. Sebagaimana sikap-Nya kepada Maria di 2:1-11 ditentukan oleh “waktu Bapa” (2:4) demikian juga sekarang Dia memerhatikan ibu-Nya dalam kaitan dengan waktu ilahi (19:28).
Ide tentang pemuridan juga terlihat dari penunjukkan murid yang dikasihi sebagai pengganti Yesus. Dari perspektif Injil Yohanes, hal ini menyiratkan makna teologis tertentu yang berkaitan dengan kedekatan dan pengenalan. Relasi Yesus – murid yang dikasihi merefleksikan relasi Bapa – Yesus. Sama seperti kedekatan Yesus dengan Bapa digambarkan “berada di dada Bapa” (1:18, LAI:TB “pangkuan” = lit. “dada”), demikian pula murid yang dikasihi berada di dada Yesus (13:23, LAI:TB “bersandar ... di dekat-Nya” = lit. “di dada-Nya”). Sama seperti Yesus menyatakan tentang Allah apa yang manusia tidak bisa kenal (1:18), demikian pula murid yang dikasihi Tuhan diminta tolong oleh Petrus untuk menanyakan sesuatu kepada Yesus (13:24).
Jika sekarang Maria diserahkan kepada murid yang dikasihi-Nya, keputusan ini pasti bukan sekadar digerakkan oleh keadaan (tidak ada murid lain). Yesus ingin memastikan bahwa secara spiritual ibu-Nya juga berada di tangan yang tepat: di tangan orang yang dekat dan mengenal Dia.
Inilah salah satu poin penting tentang pemuridan dalam kisah ini. Tanggung jawab familial tidak meniadakan kepekaan spiritual. Keduanya tidak terpisahkan. Kita harus memedulikan kebutuhan jasmaniah maupun rohanian dari anggota keluarga kita. Ingatlah bahwa keluarga adalah gereja. Di dalamnya kasih tuhan dibicarakan, diajarkan & diwujudkan. Soli Deo Gloria.