Orang Tua Rohani (2 Timotius 2:1-2)

Posted on 17/05/2020 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/orang-tua-rohani-2-timotius-2-1-2.jpg Orang Tua Rohani (2 Timotius 2:1-2)

Beberapa orang memahami pertumbuhan rohani sebagai sebuah proses yang berhenti pada diri sendiri. Yang terpenting bagi mereka adalah berkenan kepada dan menikmati persekutuan dengan Tuhan. Yang dikejar hanyalah kedewasaan karakter di depan Allah.

Konsep di atas hanya separuh jalan. Pertumbuhan rohani itu dari dalam ke luar. Allah yang sudah bekerja di dalam kita juga akan terus bekerja melalui kita. Diri sendiri bukanlah tempat untuk berhenti dalam perjalanan rohani. Diri sendiri hanyalah saluran, bukan titik akhir perhentian. Kita harus siap dengan fase selanjutnya: memuridkan orang lain. Menjadi orang tua rohani bagi sebanyak mungkin orang yang dipercayakan oleh Allah Tritunggal dalam bimbingan kita.

Apa saja yang perlu dilakukan oleh seorang yang ingin memuridkan orang lain? Hal terpenting apa yang perlu diteruskan kepada generasi rohani selanjutnya? Pertanyaan-pertanyaan ini akan terjawab melalui teks kita hari ini.

Kedekatan Paulus dengan Timotius sudah tidak perlu diragukan lagi. Sejak Timotius masih muda, Paulus sudah mengajaknya untuk menemani dia dan Silas dalam perjalanan misi (Kis. 16:1-3). Dia adalah teman sekerja Paulus (Rm. 16:21; 1Tes. 3:2). Dalam beberapa kali kesempatan Paulus memuji kebaikan dan kesetiaan Timotius (1Kor. 4:17; Flp. 2:19-24). Secara khusus, Paulus menyebut Timotius sebagai anak rohaninya (1Kor. 4:17; 1Tim. 1:2, 18; 2Tim. 1:2). Salah satu ayat atau kalimat yang paling jelas menggambarkan proses pemuridan dari Paulus ke Timotius adalah 2 Timotius 3:10 “Tetapi engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku”.

Penekanan pada proses pemuridan ini menjadi semakin kentara di surat 2 Timotius, yang merupakan surat Paulus yang terakhir sebelum dia meninggal dunia. Paulus menyadari bahwa hari-harinya tidak akan lama lagi (2Tim. 4:6-8). Dia ingin memastikan bahwa pekerjaan Injil tetap dilakukan dan dipercayakan pada orang-orang yang tepat. Tidak mengherankan apabila dalam tugas regenerasi ini Paulus ingin menjadikan Timotius sebagai salah satu agen utama.

Seperti biasa, Paulus menyebut Timotius sebagai “anak” (ayat 1). Kali ini Paulus tampaknya memberikan sedikit penekanan pada sebutan ini. Dia memulai dengan kata ganti orang “kamu”. Dalam teks Yunani kata ini bahkan muncul di depan. Jika diterjemahkan secara lebih hurufiah, ayat 1a berbunyi: “Engkau, karena itu, anakku”. Dalam konteks relasi antara orang tua dan anak rohani seperti inilah Paulus memberikan dua nasihat penting kepada Timotius.

 

Menjadi kuat oleh kasih karunia (ayat 1)

Pemuridan dimulai dari diri sendiri. Seorang yang tidak pernah menjadi murid tidak mungkin memuridkan orang lain. Seperti pepatah populer mengatakan: “Kita tidak bisa memberikan kepada orang lain apa yang kita tidak miliki”.

Itulah sebabnya, Paulus menasihati Timotius: “jadilah kuat” (LAI:TB, endynamou). Dalam teks Yunani kata kerja imperatif endynamou berbentuk present tense dan pasif. Present menyiratkan tindakan yang terus-menerus, sedangkan pasif menyiratkan subjek lain yang melakukan tindakan (ESV “be strengthened”). Jika poin gramatikal ini diikuti dengan cermat, kata endynamou bisa diterjemahkan: “hendaklah kamu terus-menerus dikuatkan”. Siapa yang menguatkan? Bentuk pasif tanpa subjek seperti ini seringkali menyiratkan Allah sebagai subjek yang menguatkan Timotius (pasif ilahi).

Paulus sangat memahami pentingnya kekuatan dari Allah dalam pelayanan. Dia menyadari bahwa Allah selalu menguatkan dia dalam pelayanan sehingga dia bisa setia dan dipercaya (1Tim. 1:12). Dalam situasi yang sangat buruk sekalipun, dia menyadari bahwa Allah selalu menguatkan dia (2Tim. 4:17). Pendeknya, Paulus dapat menanggung segala sesuatu karena Kristus selalu memberikan kekuatan kepadanya (Flp. 4:13).

Bagaimana Allah menguatkan kita? 2 Timtoius 2:1b menerangkan: “oleh kasih karunia di dalam Kristus Yesus”. Dalam bagian sebelumnya Paulus sudah menjelaskan bahwa keselamatan dan panggilan kita muncul dari kasih karunia (1:9). Sekarang dia menambahkan bahwa kekuatan kita juga melalui kasih karunia (2:1). Jadi, kasih karunia bukan hanya menjadi sarana keselamatan, tetapi juga saluran kekuatan.

Penggabungan ide antara kekuatan dan kasih karunia ini cukup menarik untuk diperhatikan. Melalui kebenaran ini Paulus ingin mengingatkan betapa kita lemah dan perlu bergantung pada anugerah. Pada saat yang sama, kebergantungan ini justru mengalahkan kelemahan kita. Ini adalah sebuah paradoks yang indah. Di dalam kelemahan diri, kita menemukan kekuatan ilahi. Dengan kata lain, mengakui kelemahan bukan berarti menjadikan kelemahan sebagai dalih untuk hidup tanpa harapan. Melalui anugerah Allah, kita akan dimampukan untuk berkata: “Jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor. 12:10).

Di dalam kasih karunia kita sudah mendapatkan semuanya. Segala sesuatu yang berguna untuk menghidupi keselamatan telah disediakan. Segala hal yang dibutuhkan untuk bertahan dalam pelayanan sudah dilimpahkan.

Timotius sangat membutuhkan nasihat ini. Dia masih muda (1Tim. 4:12) dan memiliki sifat yang cenderung pada ketakutan (2Tim. 1:7-8). Itulah sebabnya Paulus perlu menguatkan dia secara khusus.

Selain itu, penganiayaan dan kesukaran juga terus menghadang. Beberapa rekan pelayanan Paulus mulai tumbang dalam pelayanan. Mereka mengalami ketakutan (1:15) dan mulai mencintai dunia (4:10). Ada banyak godaan untuk menjadi lemah dalam pelayanan. Kita perlu kekuatan dari Tuhan. Kekuatan yang diberikan di dalam kelemahan kita. Yang paling penting bukan seberapa kuatnya kita, tetapi seberapa seriusnya kita menyandarkan diri pada kasih karunia Allah yang hebat.

 

Memercayakan ajaran kepada orang yang bisa dipercayai (ayat 2)

Seorang pemimpin rohani harus lebih mempedulikan kelangsungan pekerjaan Tuhan daripada peranan yang dia mainkan. Apalah artinya ketrampilan dan pencapaian seseorang yang hebat dalam pelayanan , jika pelayanan itu pada akhirnya tidak bisa berkelanjutan? Bukankah jabatan dan peranan kita suatu kelak pasti akan digantikan dan dilupakan oleh banyak orang? Keniscayaan ini tidak akan menakutkan bagi mereka yang dari awal memang berfokus pada keberlangsungan dan pengembangan pelayanan.

Salah satu cara yang paling efektif untuk memastikan keberlangsungan dan pengembangan pelayanan adalah pemuridan. Proses ini harus lintas generasi. Tidak boleh berhenti.

Paulus sudah menjalankan peranannya. Dia telah mengajarkan segala sesuatu kepada Timotius (ayat 2a “apa yang telah engkau dengar dariku”). Dalam teks Yunani, kata “apa” di sini berbentuk jamak (ha Ä“kousas “hal-hal yang engkau telah dengar”). Banyak hal sudah diajarkan oleh Paulus kepada Timotius. Apa yang diajarkan tentu saja mencakup ajaran yang benar (1:13 “Peganglah segala sesuatu yang telah engkau dengar dari padaku sebagai contoh ajaran yang sehat”). Ajaran-ajaran ini sudah diteguhkan oleh banyak saksi (2:2 “di depan banyak saksi”). Selain mengajarkan pengetahuan, Paulus juga membagikan kehidupan (3:10 “Tetapi engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku”). Ajaran dan keteladanan adalah warisan kehidupan yang paling mahal.

Warisan ini pada akhirnya bukan hanya untuk disimpan, tetapi diwariskan ulang. Begitu berharganya warisan ini, kita tidak boleh menyerahkannya kepada sembarang orang. Paulus menasihati Timotius untuk memercayakan itu pada orang yang tepat.

Penerima warisan rohani ini harus “dapat dipercaya” (ayat 2b, pistos). Kata Yunani pistos bisa berarti “setia” (mayoritas versi) atau “dapat dipercaya” (LAI:TB/NIV). Dua arti ini juga didukung oleh konteks (ayat 11 “perkataan ini benar”; ayat 13 “Dia tetap setia”). Arti mana yang lebih sedang dipikirkan oleh Paulus sukar untuk ditentukan. Apakah pemunculan arti pistos yang berbeda di ayat 11 dan 13 menyiratkan bahwa Paulus memang sengaja tidak memisahkan dua arti tersebut secara tajam? Mungkin saja. Dia mungkin sedang mengajarkan bahwa kita harus dapat dipercaya, dan hal ini tidak boleh berubah dalam diri kita (setia). Perubahan keadaan seperti apapun tidak akan mengubah integritas hidup kita.

Selain “dapat dipercaya”, penerima warisan rohani juga harus “cakap mengajar” (ayat 2c, hikanos…didaxai). Cakap di sini tidak harus merujuk pada kefasihan dan kehebatan dalam menyampaikan sesuatu. Makna yang terkandung di dalamnya adalah “cukup/memadai” (2Kor. 2:6) atau “mampu” (2Kor. 2:16b; 3:5). Paulus tampaknya lebih menekankan kemampuan dalam menyampaikan materi, bukan ketrampilan dalam menyampaikannya. Apa yang disampaikan lebih penting daripada cara penyampaian. Kebenaran dan kejelasan harus diutamakan daripada penampilan.

Menemukan orang yang bisa dipercaya sekaligus cakap dalam mengajar jelas tidak gampang. Tidak banyak orang yang memenuhi dua kriteria ini sekaligus. Satu-satunya cara untuk mendapatnya adalah pemuridan. Pemimpin menginvestasikan waktu, perhatian dan tenaga pada orang-orang tertentu. Bukan dalam arti favoritisme. Bukan pula diskriminasi. Dengan berfokus pada calon-calon pemimpin, seorang pemimpin justru akan mampu menjawab lebih banyak pertanyaan dan kebutuhan dari orang-orang yang dia pimpin. Mencetak pengikut lebih penting daripada menghasilkan banyak penggemar. Penggemar hanya akan menjadi objek pelayanan. Pengikut kelak akan menjadi pemimpin. Pemimpin yang memuridkan pemimpin di generasi berikutnya. Itulah orang tua secara rohani. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community