Tidak ada yang suka dihakimi. Saya tidak suka. Andapun pastinya tidak. Tapi apa sebenarnya tindakan menghakimi itu? Benarkah kita sama sekali tidak boleh menghakimi? Kata “menghakimi” di dalam Mat.7:1 berasal dari Bahasa Yunani, “krinw” (baca: krino) Secara sederhana, krinw berarti tindakan memisahkan secara pantas untuk memutuskan (baik secara mental maupun secara hukum). Sederhananya ketika saya melakukan prosedur yang pantas dalam memilah dan memilih, lalu kemudian memutuskan, maka saya melakukan krinw. Jika demikian definisinya, maka sejatinya kita melakukan prosedur krinw setiap hari. Ketika kita memilih pakaian yang akan kita pakai ke pesta, dari lemari pakaian kita, kita melakukan krinw. Ketika kita belanja handphone di toko A dan bukan di toko B, kita melakukan krinw. Bahkan ketika kita berjalan lewat gang sempit dan kita melihat sekelompok anak muda sedang nongkrong, maka kita harus menilai kelompok anak muda itu sebelum kita memutuskan untuk melanjutkan perjalanan atau mengambil jalan berputar. Kita “menghakimi”. Namun dalam konotasi ini, menghakimi tidaklah berarti negative.
Jika kita membandingkannya dengan Yoh.7: 24, Yesus mengatakan, “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tapi hakimilah dengan adil”, maka kita akan melihat bahwa Yesus bukannya sama sekali melarang kita untuk menghakimi, namun Ia ingin agar kita melakukannya dengan adil. Pertanyaannya, bagaimana kita dapat menghakimi dengan adil?
Sedikitnya ada tiga prinsip yang harus kita pegang agar kita dapat menghakimi dengan adil. Pertama, untuk dapat menghakimi dengan adil, kita tidak boleh menerapkan standar ganda dalam menghakimi (ay 2). Yang dimaksudkan dengan standar ganda adalah cara mengukur yang tidak sama antara kita dengan orang yang kita hakimi; ukuran yang rendah dan lunak untuk diri sendiri, sedangkan ukuran yang keras dan terlalu tinggi untuk orang lain. Tuhan Yesus menegaskan bahwa penghakiman yang kita pakai untuk menghakimi akan digunakan untuk menghakimi kita. Ukuran yang kita pakai untuk mengukur, akan digunakan untuk mengukur kita. Jika demikian halnya, maka sesungguhnya tidak ada cara subyektif yang tepat yang dapat dipakai untuk menghakimi orang lain. Karena kenyataannya, setiap individu membawa standar mereka masing-masing, yang kemudian hanya bisa diterapkan pada diri mereka sendiri, dan bukan pada orang lain. Itu sebabnya, Matthew Henry mengatakan, “We must judge ourselves, and judge of our own acts, but not make our word of law to everybody”.
Kata “en w metrw” (baca: en ho metro. Terj. “di dalam ukuran apa”) di dalam ayat ini menegaskan penekanan pada ukurannya, bukan pada tindakan menghakiminya. Dengan kata lain, “Mau menghakimi? Monggo. Tapi apa dulu ukurannya?” Jika ukuran yang kita gunakan untuk menghakimi itu lemah kepada kita, namun keras kepada orang lain, maka – sebagaimana dikatakan oleh Jamieson, Fausset dan Brown di dalam tafsirannya, “unkind judgement of others will be judicially returned upon ourselves”.
Pertanyaannya, mengapa kita menerapkan standar ganda di dalam menghakimi? Kita mungkin menerapkan standar ganda karena kita merasa lebih superior dibandingkan dengan orang lain. Kita merasa lebih hebat atau lebih kudus.
Namun di saat yang bersamaan, sikap menghakimi itu mungkin saja adalah sebuah selubung yang mencerminkan siapa kita yang sesungguhnya. Kita memikulkan kepada orang yang kita hakimi hal-hal yang tidak ingin kita pikul. Inilah sebabnya mengapa ketika ukuran yang sama diukurkan kepada kita, kitalah yang tidak akan pernah lulus sensor.
Jika kita membiarkan standar ganda ini mempengaruhi cara penilaian kita, maka hubungan kita di gereja akan terganggu. Tidak akan ada persatuan di antara orang-orang yang merasa dirinya lebih superior dibandingkan dengan orang lain. Bukannya kita tidak boleh menghakimi. Namun pastikan bahwa ketika kita menghakimi, kita tidak menggunakan standar ganda: lemah untuk kita, namun keras untuk orang lain.
Kesadaran ini seharusnya membawa kita pada prinsip kedua tentang menghakimi. Kedua, untuk bisa menghakimi dengan adil, maka kita harus mengevaluasi diri sebelum mengevaluasi orang lain. Sikap kita yang keras terhadap orang lain atau sikap suka menghakimi sebenarnya adalah masalah hati. Masalah sesungguhnya mungkin bukan pada keadaan di luar kita, namun di dalam kondisi hati kita sendiri.
Itu sebabnya, penting bagi kita untuk terlebih dahulu mengevaluasi diri sendiri sebelum kita mengevaluasi orang lain. Tuhan Yesus berkata, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarkanlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar dari mata saudaramu”. Sesungguhnya, ini adalah perbandingan yang ekstrem; selumbar dibandingkan dengan balok. Namun makna perbandingan ini jelas. Mungkin memang ada sesuatu yang salah dengan saudara kita, namun apa yang salah di dalam diri kita mungkin jauh lebih besar.
Itu sebabnya sebelum kita berupaya untuk memperbaiki orang lain, kita seharusnya berupaya untuk memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu. Karena sejatinya, orang buta tidak dapat menuntun orang buta. Orang sakit kronis tidak dapat menyembuhkan orang sedang sakit masuk angin. Dokter yang sedang sakit dan gemetar menahan tubuhnya sendiri, tidak dapat melakukan operasi.
Injil menunjukkan masalah ini. Jika Anak Allah harus menjelma menjadi manusia, mati di atas kayu salib untuk menebus dosa manusia, maka benarlah bahwa “semua manusia telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Rm.3:23)”. “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak (Rm.3:10)”. Paulus berkata kepada Jemaat Korintus, “Sebab kasih Kristus yang menguasai kami, karena kami telah mengerti, bahwa jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati (2 Kor.5:14)”. Singkatnya jika Kristus telah mati untuk semua orang karena dosa, maka semua orang adalah orang berdosa. Jika kita semua adalah orang berdosa, mengapa kita harus menghakimi orang lain seolah kita kurang berdosa dibandingkan dengan orang lain?
Ini tidak berarti bahwa kita tidak boleh menghakimi. Namun sikap hati kita ketika menghakimi seharusnya bukanlah “aku melihat kesalahanmu”, namun “kita bicara, sebagai orang berdosa yang satu dengan orang berdosa lainnya; antara orang yang menerima anugerah dengan orang yang menerima anugerah”.
Ketika kita memahami bahwa kita adalah orang berdosa juga, yang sama-sama perlu memperbaiki diri, maka menghakimi bukanlah tindakan untuk menjatuhkan orang lain. Semangat Injil adalah semangat anugerah, dimana kita menyadari bahwa kita adalah orang berdosa yang telah diselamatkan oleh pengorbanan Yesus Kristus. Sebenarnya inilah essensi Mat.7:1-5. Semangat yang dibawa bukanlah “jangan menghakimi”, namun kesadaran bahwa kita adalah sesama orang berdosa yang harus memperbaiki diri.
Pemahaman ini membawa kita pada prinsip terakhir: Kita harus menghakimi dengan adil dengan cara memahami bahwa essensi menghakimi adalah memperbaiki. Teguran Tuhan Yesus mungkin terdengar keras, “Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar dari mata saudaramu”. Namun sejatinya, teguran ini adalah teguran yang sangat membangun. Mari kita runut lagi ke belakang. Tuhan Yesus mengingatkan kita untuk tidak menggunakan standar ganda. Kita diminta untuk mengevaluasi diri sebelum menghakimi. Tujuan dari kedua tindakan ini adalah agar kita bisa membantu saudara kita. Dengan kata lain, kita diingatkan bahwa essensi menghakimi adalah untuk memperbaiki. Kita tidak dilarang untuk menghakimi. Sebaliknya kita diminta untuk melakukannya secara pantas. Mengapa? Sebab tujuan kita bukan menghancurkan, melainkan memperbaiki.
Bagi saya pribadi, panggilan gereja adalah membangun “image of God” di dalam diri anak-anak Tuhan. Tujuan akhir pertumbuhan rohani adalah keserupaan dengan Kristus. Untuk mencapai tujuan itu, kita harus menerima orang lain tanpa menghakimi, mengenali otentisitas mereka dan menemukan apa yang Tuhan sedang kerjakan di dalam diri mereka.
Inilah tujuan gereja seharusnya. Inilah tujuan GKRI REC seharusnya. Mimbar kita, Bible teaching kita, bersama dengan semua instrumen bergereja yang ada di REC, adalah alat untuk mencapai tujuan itu: keserupaan dengan Kristus. Penyembahan adalah cara kita membangun hubungan dengan Allah, sehingga kita bisa menjadi semakin menyerupai Kristus. Pengajaran memberikan arah ke arah keserupaan dengan Kristus. Discipleship Group adalah wadah untuk bertumbuh bersama ke arah keserupaan dengan Kristus. Diakonia adalah ekspresi kasih kita menuju keserupaan dengan Kristus.
Segala bentuk koreksi yang tidak memperbaiki; segala bentuk teguran yang tidak mengubahkan; segala bentuk disiplin gereja yang tidak mendewasakan, adalah tindakan-tindakan yang tidak alkitabiah dan tidak selaras dengan nafas Injil Yesus Kristus. Kita dipanggil untuk mengasihi, sekalipun ketika kita harus menghakimi.
Photo by Unsplash