Banyak orang Kristen melabeli “Reformed” sebagai orang yang suka mengkritik sana sini dan sombong secara teologis. Alasannya adalah mereka mengamati beberapa orang Reformed terlalu menekankan pengetahuan teologis dan kurang mengasihi orang-orang Kristen non-Reformed. Konsep serupa juga dialami oleh jemaat Korintus. Jemaat Korintus terdiri dari beberapa orang Yahudi dan mayoritas orang non-Yahudi. Jemaat ini menekankan karunia berkata-kata dan pengetahuan (1Kor. 1:5-7). Karunia pengetahuan ini muncul di 1 Korintus 8:1. Apa permasalahan mereka? Bagaimana Paulus menangani permasalahan mereka?
Persoalan yang Dihadapi oleh Jemaat (8:1a)
Sebagian jemaat Korintus yang kaya dan berpengaruh diundang oleh warga Korintus yang memiliki acara khusus ke dalam pesta perayaan di dalam kuil penyembahan berhala. Di dalam pesta tersebut, mereka disuguhi makanan yang berupa daging yang merupakan bagian dari daging yang dipersembahkan kepada berhala di kuil tersebut. Hal ini mengakibatkan protes dari jemaat Korintus lain yang miskin yang tidak terbiasa makan daging dan menganggap makan di dalam pesta perayaan di dalam kuil sebagai bentuk penyembahan berhala. Namun jemaat Korintus yang kaya dan berpengaruh itu tidak mempedulikan keberatan hati nurani jemaat Korintus yang miskin dengan berkata bahwa semua orang percaya harus memiliki pengetahuan bahwa hanya Allah yang hidup, sedangkan semua berhala mati (1Kor. 8:4; bdk. Gal. 4:8; Ul. 6:4). Mereka lupa bahwa tidak semua orang percaya (jemaat Korintus) memiliki pengetahuan tentang hal tersebut (1Kor. 8:7a).
Jemaat Korintus yang kaya dan berpengaruh sebenarnya masih dalam tahap mengetahui tentang Allah. J. I. Packer menyebutnya: knowing about God. Orang yang mengetahui tentang Allah adalah orang yang berminat dengan segala informasi tentang Allah. Tidak heran, mereka sangat gemar mengikuti berbagai webinar, mendengarkan Youtube khotbah/seminar, dll. Biasanya mereka dapat dilihat dari perkataan dan sikap mereka ketika menghadapi bahaya dan terlepas dari bahaya. Ketika X menolong Y dari bahaya, apakah Y langsung bersyukur kepada Allah setelah terlepas dari bahaya atau Y malah berkata, “Tanpa X, maka Y tidak akan hidup”? Kedua, orang yang mengetahui tentang Allah dapat dilihat dari sikap mereka yang mudah sekali mengkritik perkataan dan tindakan orang-orang Kristen non-Reformed (dalam hal sepele) dengan mengutip ayat-ayat Alkitab. Ingatlah: “Orang yang mengetahui tentang Allah adalah orang yang mengetahui informasi tentang Allah di dalam akal budinya dan suka memberi tahu orang lain tentang informasi itu, tetapi Allah tidak pernah hidup di dalam hati dan seluruh hidupnya.”
Teguran bagi Orang-orang yang Memiliki Teologi Tapi Tidak Mau Peduli (ay. 1b-3)
Ketika jemaat Korintus yang kaya dan berpengaruh menyombongkan pengetahuan teologinya (ay. 1a), Paulus langsung menegur mereka dengan berkata bahwa pengetahuan demikian membawa kesombongan (ay. 1b). Kata “sombong” dalam teks Yunaninya phusioi dari kata phusioō (1Kor. 4:6, 18, 19; 5:2; 13:4) yang berarti “menyebabkan memiliki konsepsi diri yang berlebihan, membusungkan, membuat bangga.” Artinya mereka menganggap diri mereka berpengetahuan teologi yang tinggi sambil memaksa orang percaya lain seperti mereka. Intinya mereka self-centered. Media sosial adalah salah satu sarana di mana kita melihat berbagai komentar dan status beberapa orang Kristen (Reformed dan non-Reformed) yang menonjolkan pengetahuan teologi mereka dan memaksa orang Kristen lain agar seperti mereka dalam memahami Alkitab. Di dunia nyata, beberapa jemaat yang “berpengaruh” mengaku sudah mengetahui Alkitab dan konsep pelayanan, lalu mereka memaksa jemaat dan hamba Tuhan agar seperti mereka dalam mengetahui Alkitab dan melayani.
Hal ini berbeda dengan kasih. Kasih bersifat others-centered sekaligus growth-centered yang berarti kasih membangun atau menumbuhkan kerohanian orang percaya lain. Kita dapat membangun saudara seiman dengan berusaha mendengarkan sambil memahami mereka dan pergumulannya dan mengasihi mereka (bukan menggurui mereka). Ketika Paulus mengontraskan pengetahuan dengan kasih, maka ini bukan berarti Paulus anti dengan segala pengetahuan tentang Allah, tetapi ia melawan pengetahuan tanpa kasih.
Bukan hanya pengetahuan tanpa kasih mengakibatkan kesombongan, tidak ada pengetahuan yang sempurna (ay. 2). Ketika jemaat Korintus yang kaya dan berpengaruh mengaku memiliki pengetahuan, mereka sebenarnya menyangka memiliki pengetahuan. Kata “menyangka” di seluruh 1 Korintus bermakna positif/netral (4:9; 7:40) maupun negatif (3:18; 10:12; 12:22, 23; 14:37). Menurut konteks ayat 2, maka kita menyimpulkan bahwa kata ini bermakna negatif. Mereka menyangka memiliki pengetahuan, tetapi sebenarnya mereka hanya memiliki sebagian pengetahuan. C. K. Barrett menerjemahkan ayat 2a, “Jika ada yang mengira dia telah mencapai beberapa bagian pengetahuan.” Beberapa bagian pengetahuan ini jelas bukan pengetahuan sejati. Mengapa? Karena di ayat 2b, Paulus menjelaskan, “maka ia belum juga mencapai pengetahuan, sebagaimana yang harus dicapainya”. Artinya pengetahuan sejati melampaui beberapa bagian pengetahuan. Bagian pengetahuan yang tidak mereka miliki adalah kasih (ay. 1 dan 3; bdk. 1Kor. 13:8-9, 12). Karena pengetahuan kita akan Allah hanya sebagian, maka orang percaya khususnya orang Reformed seharusnya rendah hati belajar teologi dari orang Kristen non-Reformed karena kita bukan satu-satunya orang Kristen yang mengenal Allah. Bukan hanya belajar teologi dari orang Kristen non-Reformed, kita orang Reformed pun harus mempraktikkan pengetahuan teologi dengan cara mengasihi Allah dan sesama orang percaya. Contoh sederhana: apakah kita mendoakan atau/dan membantu orang Kristen non-Reformed yang memusuhi Reformed ketika ia sakit? Ingatlah: “Orang Kristen yang mengetahui tentang Allah sibuk belajar tentang Allah, tetapi ia lupa untuk rendah hati belajar dari saudara seiman lain tentang Allah dan lupa untuk menerapkan apa yang ia pelajari di dalam kasih.”
Teguran Paulus terakhir adalah yang lebih penting bukan mengenal Allah, tetapi dikenal Allah (ay. 3). Setelah mengkritik tentang aspek negatif dari mengetahui tentang Allah, Paulus mengajar bahwa yang terpenting adalah dikenal Allah. “Dikenal Allah” menunjukkan bahwa orang percaya telah dipilih, ditebus, dipelihara, dan diperhatikan oleh Allah sebagai milik-Nya (Gal. 4:9a; 2Tim. 2:19). Ini merupakan bukti relasi Allah yang intim dengan umat pilihan-Nya. Orang yang dikenal Allah adalah orang yang dikasihi Allah. Sebagai orang yang telah dikenal dan dikasihi-Nya secara intim, maka kita seharusnya mengasihi Allah. Mengasihi Allah bukan sekadar perasaan subjektif, tetapi memusatkan seluruh hidup kita kepada Allah (Ul. 6:5). Mengasihi Allah dapat diringkaskan: “kita berpikir seperti Allah berpikir, kita merasa seperti Allah merasa, kita bertindak seperti Allah bertindak.” Tidak heran, di 2 Timotius 2:19, Paulus berkata, “… “Tuhan mengenal siapa kepunyaan-Nya” dan “Setiap orang yang menyebut nama Tuhan hendaklah meninggalkan kejahatan.” (TB). Kita tahu bahwa Allah menghendaki kebenaran, keadilan, kekudusan, dan bukan sebaliknya, sehingga ketika kita berpikir, merasa, dan bertindak seperti Allah, maka kita tentunya berpikir, merasa, dan bertindak dengan benar dan menjauhi kejahatan.
Bagaimana kita tahu bahwa kita mengasihi Allah? Caranya adalah apakah kita sudah mengalami Allah? Mengalami Allah berarti kita berjumpa secara pribadi dengan Allah yang telah kita pelajari di dalam doktrin. Ketika kita berjumpa secara pribadi dengan Allah, maka pertama, kita mengalami kasih-Nya di kala kita menderita (Mzm. 118:5). Kedua, kita diubah oleh-Nya. Pdt. Hendra G. Mulia, D.Min. pernah berkata bahwa orang yang mengalami Allah adalah orang yang terus-menerus diubah oleh-Nya. Orang yang terus-menerus diubah oleh-Nya adalah orang yang memiliki “selera” Allah. Buktinya adalah seperti yang J. I. Packer katakan, “Orang percaya akan bersukacita ketika Allah mereka dihormati dan dipuji, dan merasakan dukacita yang mendalam ketika mereka melihat Allah dicemooh” (J. I. Packer, Knowing God, 35).
Pengetahuan teologi tidaklah salah asalkan pengetahuan itu didasarkan pada kasih kepada Allah dan sesama. Kasih tersebut didasarkan pada karya Allah yang berinisiatif memilih, menyelamatkan, dan memperhatikan umat-Nya. Oleh karena itu, ingatlah, “Sebagai orang yang telah dikenal Allah secara pribadi, marilah kita mengenal Allah secara pribadi dengan cara mengasihi-Nya secara pribadi.” Amin. Soli Deo Gloria.
Photo by Siora Photography on Unsplash