Musuh Kebersamaan: Pembalasan (Roma 12:17-21)

Posted on 19/12/2021 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Jimmy Lucas | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2021/12/musuh-kebersamaan-pembalasan-roma-12-17-21.jpg Musuh Kebersamaan: Pembalasan (Roma 12:17-21)

Kebersamaan seringkali dilukai oleh kecenderungan kita untuk membalas.  Paulus mengingatkan agar tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.  Kita malah didorong untuk melakukan apa yang baik bagi semua orang.

Memang melakukan hal ini tidaklah mudah.  Sedikitnya ada dua kendala bagi kita untuk menjaga kebersamaan.  Pertama, kebersamaan tidak selalu tergantung pada kita; dan kedua, kita mempunyai kecenderungan untuk membalas.

Paulus sendiri menyadari kedua kendala ini.  Ia memahami bahwa kebersamaan tidak selalu tergantung pada kita.  Itu sebabnya ia berkata, "Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!" Ini adalah sebuah KALIMAT FIRST CLASS CONDITIONAL yang dianggap benar dari sudut pandang si penulis atau untuk tujuan penulisannya. Kalimat ini dalam klausa berikutnya diikuti oleh sebuah PRESENT ACTIVE PARTICIPLE yang digunakan dalam pengertian IMPERATIVE. Dengan kata lain, kita diperintahkan untuk hidup berdamai dengan orang lain, namun hasilnya tidak selalu tergantung pada kita. Istilahnya: "It takes two to Tango".

Di sisi lain, kebersamaan jelas tidak akan terlaksana jika kita punya kecenderungan untuk membalas.  Untuk itu, Paulus itu mengingatkan kembali jemaat pada Ulangan 32:35, bahwa pembalasan itu adalah hak Allah. Allahlah yang akan menuntut pembalasan.  Itu sebabnya, Paulus berkata, " Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, ..." Ini adalah suatu PRESENT ACTIVE PARTICIPLE yang digunakan dalam pengertian IMPERATIVE dengan NEGATIVE PARTICLE yang berarti menghentikan suatu tindakan yang telah dalam proses. Di satu sisi, kalimat ini bisa berarti "hentikan tindakanmu untuk menuntut balas"; namun di sisi lain, kalimat ini juga bisa berarti: "hentikan pembalasanmu, sebab pembalasan yang sesungguhnya sedang berlangsung. Terserah kepada Allah untuk meluruskan segala sesuatu, bukan orang percaya". Dengan kata lain, pembalasan pasti ada.  Namun itu adalah hak Allah.  Allah adalah Raja yang berdaulat, Hakim yang adil, dan hak untuk menyelenggarakan penghakiman itu ada di dalam tangan-Nya. Sebab Ia adalah Allah yang mahatahu, Ia sanggup menimbang semua tindakan di dalam keseimbangan yang sangat tepat. Dan sebagai Allah yang mahasuci, Ia sangat membenci dosa dan tidak dapat tahan melihat ketidakadilan. Jadi kita akan melangkahi singgasana Allah jika kita melakukan pembalasan dan merampas tugas yang menjadi hak-Nya itu. Kita bersikap kurang ajar dengan menempatkan diri kita sejajar dengan Allah sebagai hakim dan algojo. Kita harus percaya bahwa jika dengan penuh kerendahan hati kita menyerahkan perkara itu kepada-Nya, Ia akan membalaskannya untuk kita sepanjang ada alasan yang kuat atau keadilan untuk pembalasan itu. Dengan mengampuni, kita menghormati hak Allah untuk melakukan pembalasan.  Dengan mengampuni, kita berhenti menjadi hakim dan algojo; berhenti memperlakukan orang lain sebagai pesakitan yang harus dihukum.

Kita bukan hanya diperintahkan untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tapi juga untuk membalas kejahatan dengan kebaikan: Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya. Nasihat Paulus ini jelas diambil dari Amsal 25:21-22, "Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air. Karena engkau akan menimbun bara api di atas kepalanya, dan TUHAN akan membalas itu kepadamu".

Walau terdengar ektrem, namun "menumpukkan bara api di atas kepalanya" tidaklah mengandung konotasi "balas dendam halus".  Bahkan di dalam budaya Mesir, tindakan ini berarti bahwa kebaikan adalah cara terbaik untuk mengubah seorang musuh menjadi seorang kawan. Namun demikian, yang terpenting bukanlah apa yang terjadi pada musuh kita.  Yang terpenting adalah tekad kita sebagai orang Kristen untuk tidak kalah terhadap kejahatan, melainkan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan.

Memang untuk bisa hidup bersama dibutuhkan keputusan kedua belah pihak.  Namun seyogyanya di pihak kita, kita bisa bersikap proaktif dengan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan membalas kejahatan dengan kebaikan.

Photo by Ryan Holloway on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Jimmy Lucas

Reformed Exodus Community