Musuh Kebersamaan: Ketidakpedulian (1 Korintus 10:23-24)

Posted on 26/12/2021 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2022/01/Musuh-Kebersamaan-Ketidakpedulian-1-Korintus-10-23-24.jpg Musuh Kebersamaan: Ketidakpedulian (1 Korintus 10:23-24)

Semua orang pasti setuju bahwa moralitas bersentuhan dengan isu komunal. Maksudnya, benar atau salahnya suatu tindakan dinilai dalam kaitan dengan orang lain. Moralitas lebih luas daripada perasaan dan kenyamanan pribadi masing-masing orang.

Yang belum disepakati oleh semua orang adalah cakupan aspek komunal. Sejauh mana orang lain berpengaruh atau menentukan moralitas suatu tindakan? Tidak ada jawaban seragam untuk pertanyaan ini.

Sebagian orang menganggap pandangan mayoritas sebagai patokan kebenaran. Apa yang wajar dianggap benar. Pandangan orang sangat menentukan. Suatu tindakan bahkan seringkali dilakukan atau diaminkan hanya supaya diterima oleh banyak orang.

Sebagian orang menganggap pandangan orang lain tidak seberapa perlu untuk diperhatikan. Yang penting adalah apa yang kita rasakan. Sejauh tidak merugikan atau mengganggu orang lain, apa saja boleh saja dilakukan. Moralitas lebih bersifat personal. Batasannya cukup sederhana: orang lain jangan sampai dirugikan.

Teks kita hari ini memberi pandangan yang berbeda. Pandangan banyak orang memang tidak menentukan, tetapi bukan berarti boleh diabaikan. Moralitas sangat bersifat komunal.

 

Persoalan: memakan daging persembahan berhala

Teks hari ini tidak mungkin bisa dipahami dengan memadai tanpa membaca keseluruhan konteks pasal 8-10. Isu yang sedang dibahas di sini adalah tentang makan daging persembahan berhala (8:1-2). Secara lebih spesifik, sebagian jemaat Korintus yang menganggap diri berpengetahuan merasa tidak ada masalah teologis sama sekali dengan memakan daging persembahan berhala, bahkan jika tindakan itu dilakukan di kuil sekalipun. Keesaan Allah dijadikan pembenaran bahwa berhala-berhala sebenarnya tidak ada, sehingga memakan daging persembahan berhala juga tidak akan berdampak apa-apa (8:4-6). Mereka juga menambahkan bahwa makanan tidak membawa dampak spiritual apapun, baik yang positif maupun yang negatif, karena kedekatan dengan Allah tidak ditentukan oleh apa yang dimakan oleh seseorang (8:8).

Sekilas tidak ada masalah dengan beberapa pemikiran teologis yang dipegang oleh jemaat Korintus tersebut. Allah memang esa. Berhala memang bukan allah. Makanan memang tidak berpengaruh terhadap kerohanian.

Sikap jemaat Korintus di atas mengandung kekeliruan teologis maupun praktis. Secara teologis, memakan daging persembahan di kuil merupakan salah satu bentuk penyembahan berhala, karena ibadah dan makan bersama di sana tidak terpisahkan (10:14-18). Berhala-berhala memang bukan allah, tetapi bukan berarti mereka tidak ada. Berhala-berhala itu adalah roh-roh jahat (10:19-22).

Secara praktis, memakan segala jenis daging persembahan berhala berarti kurang memperhatikan perasaan orang lain. Tidak semua orang memiliki tingkat pemahaman teologis yang sama (8:7). Hari nurani orang-orang semacam ini bisa terlukai (8:7, 12). Mereka bisa terseret kembali pada penyembahan berhala.

Yang menjadi akar persoalan dalam kasus ini adalah konsep yang keliru tentang kebebasan di dalam Kristus. Sebagian jemaat Korintus mengusung slogan “segala sesuatu halal bagiku” (6:12; 10:23; lit. “segala sesuatu diperbolehkan”). Maksudnya, apa saja yang tidak dilarang ya berarti boleh dilakukan. Kebebasan dalam Kristus dianggap sebagai izin untuk melakukan apapun yang dipandang “benar.”

 

Solusi: kebebasan tidak meniadakan kepedulian

Paulus mengajarkan bahwa etika Kristiani tidak hanya masalah benar – salah secara kaku. Apa yang benar belum tentu boleh dilakukan. Apa yang boleh dilakukan belum tentu harus dilakukan. Ada hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan.

Teks hari ini mengajarkan dua hal yang tidak boleh diabaikan. Dua-duanya mengajarkan kepedulian kepada sesama. Suatu perbuatan yang “benar” bisa menjadi salah jika mengabaikan kepedulian terhadap sesama.

Pertama, manfaat bagi sesama (10:23). Apa yang diperbolehkan belum tentu berguna (10:23a), dalam arti membangun (10:23b). Diperbolehkan atau dilarang bukan satu-satunya ukuran moral. Manfaat dari suatu tindakan juga perlu dipertimbangkan.

Walaupun dalam teks ini Paulus tidak menyebutkan secara eksplisit pihak yang mendapatkan manfaat, kita bisa memastikan bahwa yang sedang dipikirkan oleh Paulus adalah orang lain. Dari sisi konteks, ayat selanjutnya (10:24) memang menyoroti relasi dengan sesama. Di samping itu kata “berguna” (sympherō) di tempat lain merujuk pada kepentingan orang lain (12:7 “untuk kepentingan bersama”). Kata “membangun” (oikodomeō) sebelumnya juga sudah muncul dalam kaitan dengan kasih (8:1b “tetapi kasih membangun”).

Ajaran ini jelas mengungguli moralitas postmodern. Tidak cukup bagi orang Kristen hanya sekadar “tidak merugikan atau mengganggu orang lain.” Moralitas sejati tidak berhenti pada diri sendiri. Moralitas sejati tidak hanya bersikap pasif terhadap orang lain. Sesuatu yang benar juga mencakup sesuatu yang berfaedah bagi orang lain.

Kedua, kepentingan orang lain (10:24). Dalam teks Yunani, kata “keuntungan” (LAI:TB) atau “kebaikan” (RSV/NASB/NIV/ESV) sebenarnya tidak muncul. Paulus hanya menggunakan kata “[miliknya] sendiri” atau “[milik] orang lain.” Dia mungkin sengajar memakai ungkapan yang tidak spesifik supaya pembacanya mengisi sendiri: kepentingan, keuntungan, kebaikan, perasaan, atau yang lainnya. Intinya, kita diperintahkan untuk mendahulukan orang lain daripada diri sendiri.

Ayat-ayat selanjutnya menunjukkan bahwa yang dimaksud “orang lain” di sini mencakup orang non-Kristen maupun jemaat Korintus sendiri. Jika seorang jemaat diundang makan di rumah teman yang belum Kristen, jemaat itu boleh memakan apa saja yang dihidangkan tanpa memeriksa apakah hidangan itu sebelumnya sudah dipersembahkan kepada berhala (10:27). Situasinya menjadi berbeda jika seseorang merasa tersandung dengan tindakan tersebut dan memberitahu bahwa yang dimakan adalah daging persembahan berhala (10:28, 32). Dalam hal ini jemaat itu tidak boleh memakannya. Pendeknya, kita tidak boleh menimbulkan syak “dalam hati orang, baik orang Yahudi atau orang Yunani, maupun Jemaat Allah” (10:32).

Jika memang demikian, apakah pandangan mayoritas menentukan moralitas? Tidak juga! Patokannya adalah kemuliaan Allah dan Injil Yesus Kristus. Setiap kali kita diperhadapkan pada beberapa pilihan tindakan, kita perlu menanyakan manakah yang lebih membawa kemuliaan bagi Allah (10:31). Kemuliaan Allah di sini tidak boleh dipisahkan dari kabar baik keselamatan. Paulus bukan tipikal orang yang bermulut manis atau bersikap baik untuk mendapatkan penerimaan atau menunjukkan pencitraan. Dia rela mengurbankan kebebasan dan kenyamanan dirinya “untuk kepentingan orang banyak, supaya mereka beroleh selamat” (10:33).

Paulus benar-benar menghidupi prinsip teologis yang dia ajarkan. Tentang memakan daging persembahan berhala, dia berkata: “Karena itu apabila makanan menjadi batu sandungan bagi saudaraku, aku untuk selama-lamanya tidak akan mau makan daging lagi, supaya aku jangan menjadi batu sandungan bagi saudaraku” (8:13). Tentang tunjangan kehidupan yang seharusnya dia terima sebagai seorang rasul, dia berkata: “Tetapi kami tidak mempergunakan hak itu. Sebaliknya, kami menanggung segala sesuatu, supaya jangan kami mengadakan rintangan bagi pemberitaan Injil Kristus” (9:12b).

Memedulikan dan berkurban bagi orang lain bukan hanya berfungsi sebagai jembatan penginjilan, tetapi memang mencerminkan nilai-nilai Injil. Bukan hanya alat, tetapi hakikat. Bukankah Injil berbicara tentang Allah yang rela mengurbankan segala-Nya untuk mendapatkan kita yang berdosa? Bukankah Natal berbicara tentang kepedulian Tuhan terhadap orang-orang yang terhilang? Jika kita adalah hasil kepedulian (Allah), berlebihankah jika kita dituntut oleh Allah untuk menunjukkan kepedulian (kepada sesama)? Bukankah ketidakpedulian terhadap sesama justru merupakan perseteruan terhadap Injil yang sudah menyelamatkan kita?

Mari kita membuka mata untuk memperhatikan sesama. Mari merayakan setiap kesempatan untuk memedulikan dan berkurban bagi sesama. Soli Deo Gloria.

Photo by Michael Henry on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community