Kesombongan merupakan musuh kebersamaan. Kesombongan seringkali menjadi penyebab dan penambah buruk pertikaian. Merasa diri lebih baik atau lebih hebat daripada orang lain menghalangi orang untuk merendahkan diri, mengalah, atau meminta maaf. Keinginannya untuk dihargai jauh melebihi keinginannya untuk melayani. Akibatnya perselisihan menjadi persoalan yang tidak terhindarkan.
Dalam teks hari ini Paulus menyoroti kesombongan sebagian jemaat Korintus. Dia memberikan nasihat untuk melawan kesombongan. Tidak lupa dia juga menyediakan alasan-alasan bagi nasihat tersebut.
Teks hari ini merupakan penutup dari isu perselisihan yang terjadi di antara jemaat Korintus (1:10-3:17). Beberapa ide atau istilah yang sudah dibicarakan sebelumnya diulang di 3:18-23. Pembacaan yang teliti atas pasal 1-3 menunjukkan bahwa pertikaian dan favoritisme pemimpin (1:11-13) dipicu oleh konsep jemaat yang keliru tentang hikmat (1:18-25). Jemaat membanggakan filsafat duniawi, padahal hikmat yang sejati seharusnya adalah salib Kristus (1:24, 30-31). Sebagian jemaat Korintus yang dahulu “bukan siapa-siapa di mata dunia” (1:26) kini merasa diri hebat menurut ukuran dunia hanya gara-gara memiliki hikmat duniawi.
Nasihat: Jangan Menyombongkan Hikmat Manusia (3:18)
Larangan untuk membanggakan hikmat manusia diungkapkan melalui dua cara. Yang pertama adalah berhenti menipu diri sendiri (3:18a). Yang kedua adalah menjadikan diri sendiri bodoh supaya berhikmat (3:18b). Dua hal ini tidak terpisahkan, ibarat dua sisi yang berbeda dari mata uang koin yang sama.
- Berhenti menipu diri sendiri (ayat 18a)
Kesombongan adalah penipuan diri sendiri (3:18a). Mengapa demikian? Karena hampir semua orang yang menyombongkan diri sebenarnya sadar bahwa dirinya tidak sehebat yang dipikirkan oleh banyak orang atau tidak sebaik yang dia utarakan di depan umum. Lagipula Paulus sudah mengingatkan tentang hikmat yang sesungguhnya sekaligus bahaya dari hikmat yang palsu. Bersikukuh pada hikmat duniawi yang palsu dan berbahaya merupakan penipuan diri.
Frasa “jika ada di antara kamu” (3:18b) menunjukkan bahwa tidak semua jemaat termasuk golongan berhikmat secara duniawi. Frasa ini juga menyiratkan bahwa inti persoalan bukan hikmat yang ada di luar (dunia), tetapi sebagian jemaat yang membawa hikmat itu ke dalam (gereja).
- Menjadikan diri bodoh supaya berhikmat (ayat 18b)
Kesombongan adalah penggelembungan diri. Obatnya adalah pengempesan diri. Bukan sekadar “menganggap diri tidak berhikmat,” tetapi “menjadikan diri bodoh.” “Tidak berhikmat” belum tentu “bodoh.” Menganggap diri bodoh jelas berbeda dengan menjadikan diri bodoh. Kontras yang disampaikan lebih kuat, tidak sepenuhnya simetris.
Alasan bagi nasihat: perspektif dari atas (3:19-23)
Menjadikan diri bodoh jelas sukar dilakukan oleh orang sombong yang memang terlihat pintar. Sebagai orang yang sombong, dia sering tidak mau mengakui kesombongannya. Sebagai orang yang pintar, dia juga tidak mudah mau menjadi bodoh. Jangankan menjadi bodoh. Menganggap diri bodoh saja sudah susah untuk dilakukan.
Lalu bagaimana mengatasi kesombongan seperti ini? Kuncinya terletak pada perubahan perspektif. Dari perspektif horizontal (membandingkan diri dengan orang lain – pandangan menyamping) menuju perspektif vertikal (melihat diri dari kacamata Allah – pandangan ke bawah).
Pertama, Allah selalu menunjukkan kebodohan hikmat dunia (ayat 19-20). Kata sambung “karena” menjelaskan alasan bagi nasihat di ayat 18. Alkitab secara konsisten menunjukkan bahwa Allah membenci orang-orang yang menyombongkan hikmat mereka. Dalam hal ini Paulus hanya mengutip dari dua teks (Ayub 5:13 dan Mazmur 94:11).
Ayub 5:13 mengisahkan tentang “hikmat” Elifas yang terbukti keliru (bdk. Ay. 42:7). Metafora yang digunakan mengandung makna ironis: orang berhikmat ditangkap dalam kecerdikan mereka sendiri. Teologi yang dikemukakan oleh Elifas sekilas memang benar (taat – berkat, tidak taat – kutuk). Konsep ini terlalu sempit, karena Allah jauh melebihi apa yang dikatakan oleh manusia (Ay. 42:5 “dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau”).
Mazmur 94:11 mengisahkan tentang orang-orang fasik yang arogan dan menghina TUHAN (Mzm. 94:2-7). Kebodohan sikap ini (Mzm. 94:8) ditunjukkan melalui sederetan pertanyaan retoris (Mzm. 94:9-10): “Dia yang menanamkan telinga, masakan tidak mendengar? Dia yang membentuk mata, masakan tidak memandang? Dia yang menghajar bangsa-bangsa, masakan tidak akan menghukum? Dia yang mengajarkan pengetahuan kepada manusia?.” Intinya, Allah bukan hanya mengetahui, tetapi memastikan bahwa semua rencana bodoh manusia tidak akan terlaksana (Mzm. 94:11).
Tindakan jemaat Korintus yang menyombongkan hikmat duniawi merupakan perlawanan terhadap Allah. Jika mereka tidak bertobat, Allah pasti akan merendahkan hikmat mereka dan membuatnya menjadi sia-sia. Sebelum hal itu terjadi, akan jadi jauh lebih baik jika mereka berinisiatif untuk menghentikan kesombongan dan menjadikan diri mereka bodoh.
Kedua, Allah memiliki segala sesuatu (ayat 21-23). Ayat 21a menegaskan kembali nasihat yang sama dengan ungkapan yang berbeda. Ayat 21b menyediakan alasan tambahan bagi nasihat tersebut. Kesombongan bisa dikalahkan jika kita selalu mengingatkan diri sendiri bahwa pemilik segala sesuatu adalah Allah.
Favoritisme pemimpin (1:12) menyiratkan konsep jemaat yang keliru terhadap kepemilikan. Konsep mereka terlalu sempit dan terbalik. Mereka bukan milik para rasul, karena mereka tidak dibaptis dalam nama para rasul (1:13). Sebaliknya, para rasul ada untuk mereka. Para rasul adalah para pelayan mereka (3:5-6). Lebih jauh, jemaat bukan hanya memiliki para rasul. Mereka memiliki segala sesuatu (3:21 “…sebab segala sesuatu adalah milikmu”; 3:22 “…semuanya kamu punya”). Pengulangan ide tentang kepemilikan segala sesuatu ini menunjukkan penekanan. Paulus ingin jemaat Korintus mensyukuri apa yang mereka miliki, bukan menyombongkan apa yang mereka sebenarnya tidak miliki.
Bagaimana mereka bisa memiliki segala sesuatu? Jawabannya ada di ayat 23. Jemaat Korintus adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik Allah. Di dalam Kristus mereka memiliki banyak hal yang jauh melampaui hikmat duniawi. Salib menyediakan kuasa dan hikmat (1:24). Kristus sendiri menjadi hikmat bagi kita (1:30).
Kebenaran ini seharusnya cukup untuk meruntuhkan kesombongan. Jika mereka memiliki yang jauh lebih baik daripada hikmat duniawi, mengapa bersikeras menyombongkan hikmat duniawi? Bukankah itu menunjukkan kebodohan? Jika semua yang luar biasa dimiliki di dalam Kristus dan semua itu secara ultimat tetap menjadi milik Allah, mengapa menyombongkan semuanya itu? Alasan bagi kebanggaan hanya satu: kasih karunia. Dalam pasal 1:31 “"Barangsiapa yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan.” Soli Deo Gloria.