Musuh Kebersamaan: Kebencian (1 Yohanes 2:9-11)

Posted on 05/12/2021 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2021/12/Musuh-Kebersamaan-Kebencian-1Yoh-2-9-11.jpg Musuh Kebersamaan: Kebencian (1 Yohanes 2:9-11)

Bagaimana kita bisa tahu bahwa seseorang sungguh-sungguh percaya kepada Kristus? Keanggotaan dalam sebuah gereja bukan indikator yang aman. Keaktifan dalam pelayanan juga bukan jaminan. Sebagian orang yang rajin beribadah di gereja atau terlibat aktif dalam pelayanan ternyata memiliki gaya hidup yang bertabrakan dengan keyakinannya.

Tidak mudah memang untuk mengetahui kesungguhan iman seseorang. Hanya Tuhan yang bisa melihat isi hati manusia secara transparan. Penilaian-Nya tidak mungkin salah.

Walaupun penilaian tanpa keliru hanya milik Allah, hal itu tidak berarti bahwa kita tidak bisa menilai sama sekali. Kesungguhan iman pasti terpancar dalam tindakan. Iman bukan sekadar persetujuan konseptual atau keyakinan emosional. Iman yang benar menghasilkan buah-buah kesalehan.

Dalam teks hari ini Rasul Yohanes mengajarkan salah satu indikator yang sangat aman untuk mengukur kesungguhan iman seseorang, yaitu kasih kepada sesama. Kasih bukan hanya menjadi salah satu karakteristik, tetapi sekaligus indikator utama untuk menilai iman seseorang. Tuhan Yesus sendiri pernah mengatakan: “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh. 13:35).

 

Kesesatan dan penipuan rohani (ayat 9)

Pemunculan frasa “barangsiapa berkata” di bagian ini bukanlah sesuatu yang baru. Beberapa kali Rasul Yohanes memulai pembahasannya dengan kalimat “barangsiapa berkata” (2:4, 9; 4:20) atau “jika kita berkata” (1:6, 8, 10). Tampaknya memang ada sekelompok orang yang gemar membuat klaim-klaim teologis tertentu. Sayangnya, klaim dan pengakuan itu ternyata keliru.

Situasi ini dipicu oleh persoalan utama yang sedang dihadapi oleh penerima surat 1 Yohanes, yaitu kesesatan (2:26). Berbagai ajaran yang keliru mencoba disusupkan oleh guru-guru palsu untuk menimbulkan kebingungan. Rasul Yohanes beberapa kali mengajarkan cara untuk mengenali kesesatan. Sebagai contoh, ajaran sesat diketahui dari penolakan mereka terhadap Bapa dan Anak (2:22-23), inkarnasi Yesus Kristus (4:2-3) maupun status Yesus sebagai Anak Allah (4:15).

Beragam ajaran sesat di atas tidak hanya berhenti pada kekeliruan secara konseptual. Ajaran palsu seringkali menghasilkan kerohanian yang semu. Ajaran yang keliru membuat seseorang menilai segala sesuatu secara keliru, termasuk ketika menilai diri sendiri. Tanpa disadari, mereka telah menipu diri sendiri. Apa yang mereka akui ternyata tidak terbukti.

Salah satu klaim yang dibuat adalah bahwa mereka berada di dalam terang (2:9a). Kenyataannya, tindakan mereka tidak sejalan dengan pengakuan mereka. Mereka membenci sesamanya. Klaim mereka bertabrakan dengan pernyataan Yohanes sebelumnya: “Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain” (1:7a).

 

Konsekuensi kebencian (ayat 10-11)

Kesesatan tidak berhenti di pikiran. Dampak buruknya terlihat dalam kehidupan. Yang lebih buruk, dampak ini juga mempengaruhi orang lain.

Apa saja konsekuensi dari kebencian?

Yang pertama, menjadi batu sandungan (ayat 10). Di ayat ini Yohanes mengontraskan orang yang mengasihi dengan orang yang membenci. Orang yang mengasihi dikatakan “di dalam dia tidak ada penyesatan” (ayat 10b). Kata Yunani di balik kata “penyesatan” adalah skandalon, yang secara hurufiah berarti “batu sandungan” (lihat semua versi Inggris). Jika orang yang mengasihi tidak memiliki batu sandungan dalam dirinya, maka pada orang yang membenci berlaku sebaliknya. Kebencian mengandung batu sandungan.

Yang tidak terlalu jelas di bagian ini adalah pihak yang tersandung. Apakah batu sandungan ini membuat diri sendiri terjatuh (NIV) atau orang lain terjatuh (NLT)? Dari sisi tata bahasa, frasa skandalon en autō ouk estin bisa memberikan dukungan pada dua opsi ini. Dari sisi analisa konteks juga kurang konklusif. Jika inti ayat 10 sama persis dengan ayat 11, batu sandungan di sini untuk diri sendiri. Namun, jika intinya sama, untuk apa Yohanes perlu mengatakannya lagi?

Dari dua opsi di atas, terjemahan NLT tampaknya lebih tepat (juga BIS “tidak ada sesuatu pun padanya yang akan menyebabkan orang lain jatuh dalam dosa”). Yohanes sebelumnya sudah menyinggung posisi seseorang di dalam terang dan mengaitkan hal itu dengan relasi sosial (1:7a “Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain”). Lagipula pemunculan kata skandalon dalam Alkitab hampir semua merujuk pada halangan atau penyebab kejatuhan bagi orang lain (Mat. 16:23; 9:33; Rm. 14:13; 1Kor. 1:23).

Kebencian dalam diri orang Kristen memang berpotensi menimbulkan halangan serius bagi orang lain untuk menemukan Allah di dalam Kristus. Kekristenan dikenal karena penekanannya pada kasih Allah kepada kita dan kasih kita kepada sesama. Jika karakteristik utama tidak kentara, bagaimana orang lain bisa mengenal siapa kita? Jika yang terlihat justru keburukan yang bertabrakan dengan karakteristik utama, bagaimana orang lain bisa percaya? Tidak ada keberatan terhadap kekristenan daripada kekecewaan terhadap orang-orang Kristen. Orang-orang yang dikecewakan ini tidak membutuhkan jawaban. Mereka membutuhkan keteladanan.

Yang kedua, menjatuhkan diri sendiri (ayat 11). Dalam bagian ini Yohanes menjelaskan keadaan yang sebenarnya dari orang-orang yang menyimpan kebencian. Kebencian dalam diri seseorang membuktikan bahwa dia masih di dalam kegelapan (2:11a) atau tidak memiliki persekutuan dengan Allah (1:6). Mengapa demikian? Karena siapa yang di dalam Allah pasti mengasihi sesamanya (4:7-8, 20)!

Pernyataan di atas tentu saja tidak berarti bahwa orang-orang Kristen kebal terhadap kebencian. Kekecewaan dan kepahitan bisa saja menimbulkan kebencian, tetapi orang Kristen seharusnya membenci kebencian. Bagi sebagian orang dengan kepribadian dan masa lalu tertentu, mengampuni mungkin sukar untuk dilakukan, tetapi bukan berarti mereka berhenti untuk mengupayakan dan bersandar pada kasih karunia Tuhan. Kata kunci di sini adalah proses. Mereka pasti berada dalam proses mengasihi dan mengampuni. Jika ada proses, pasti ada progres.

Yohanes ternyata tidak berhenti pada kondisi seseorang (ayat 11a). Dia juga menjelaskan bahwa kondisi melahirkan aksi: “dan hidup di dalam kegelapan. Ia tidak tahu ke mana ia pergi” (ayat 11b). Kata “hidup” (peripateō) di sini secara hurufiah berarti “berjalan” (lihat mayoritas versi Inggris). Walaupun “berjalan” menunjukkan keaktifan, ternyata gerakan ini tanpa tujuan.

Itulah yang terjadi pada orang yang menyimpan kebencian. Rasa benci tidak hanya berhenti di hati. Rasa itu pasti akan terwujud ke dalam tindakan. Kebencian tidak pernah hanya tentang perasaan. Kebencian tidak boleh diremehkan.

Bukan hanya itu saja. Tindakan-tindakan yang lahir dari kebencian seringkali tidak masuk akal. Kita selalu mencari kesalahan orang lain. Di mata kita semua yang dilakukan oleh orang itu pasti salah. Bahkan ketika dia melakukan kebaikan, kita mencurigai ada maksud yang buruk di belakang.

Kita sadar bahwa kebencian tidak mendatangkan kebaikan, tetapi kita tetap melakukan. Kita tahu bahwa kebencian justru akan menghancurkan diri sendiri, tetapi kita tidak ingin berhenti. Orang yang membenci benar-benar tidak tahu apa yang mereka sedang lakukan. Mereka seperti seorang buta yang asal berjalan tanpa tujuan dan tanpa terang. Perjalanan seperti ini jelas sangat membahayakan.

Yohanes tidak hanya menyinggung tentang keadaan (ayat 11a) maupun tindakan yang muncul dari keadaan itu (ayat 11b). Dia juga menerangkan akar persoalan. Orang yang membenci sesama bisa melakukan tindakan bodoh seperti di atas “karena kegelapan itu telah membutakan matanya” (ayat 11c). Sumber persoalan adalah kebutaan secara spiritual. Kebutaan rohani adalah ketidakmampuan untuk melihat dari perspektif ilahi. Segala sesuatu dilihat secara sempit dari balik hati yang pahit. Tidak ada ruang untuk melihat dari sudut yang berlainan.

Satu-satunya obat bagi penyakit ini adalah pergantian perspektif. Kita memerlukan perspektif yang baru. Segala sesuatu seharusnya dilihat dari kacamata Injil.

Kebencian terjadi pada saat seseorang lebih mengedepankan perasaan daripada karya penebusan. Dia memilih untuk memuaskan perasaan (sendiri) daripada dipuaskan (oleh Tuhan). Seandainya dia memandang semua dari sudut pandang penebusan, dia akan dimampukan untuk menyikapi semua dengan cara yang berbeda. Sebagai contoh, ketika kita dikhianati, kita mengakui dan merangkul rasa sakitnya. Kita tidak pura-pura baik-baik saja. Kita tidak menyangkalinya. Sebaliknya, kesakitan itu menjadi alat untuk memahami betapa besarnya kasih Kristus kepada kita. Pernah merasa sakit luar biasa karena ditikan dari belakang, ditinggalkan teman saat paling membutuhkan atau dianggap tidak berharga? Sebesar itu pula rasa sakit yang ditanggung oleh Kristus di atas kayu salib untuk mendapatkan Anda!

Salib adalah harapan satu-satunya. Dengan melakukan kalibrasi hati setiap hari kepada salib Kristus, kasih kita akan selalu dihangatkan dan disegarkan terus. Ruang untuk kebencian semakin berkurang. Kasih Kristus yang membebaskan akan merajai seluruh hati. Soli Deo Gloria!

Photo by Nadine Shaabana on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community