Musuh Kebersamaan: Ambisi Terhadap Kedudukan (Markus 9:33-37)

Posted on 03/10/2021 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2021/10/Musuh-Kebersamaan-Ambisi-Terhadap-Kedudukan-Markus-9-33-37.jpg Musuh Kebersamaan: Ambisi Terhadap Kedudukan (Markus 9:33-37)

Sesuai dengan tema REC 2021 “Togetherness: What We Value and Do,” kita sudah berbulan-bulan belajar tentang kebersamaan. Kita sudah mengupas landasan teologis maupun cara praktis membangun kebersamaan. Mulai minggu ini kita akan membahas bahaya-bahaya yang seringkali mengancam kebersamaan. Bahaya pertama yang perlu diwaspadai adalah ambisi terhadap kedudukan.

Pada dirinya sendiri memiliki sebuah keinginan tidaklah keliru, tergantung pada apa yang diingini dan bagaimana seseorang merealisasikan keinginan tersebut. Manusia memang diciptakan oleh Allah dengan kemampuan untuk mengingini, terutama menginginkan Allah. Bahkan keinginan untuk menjadi besar atau terkenal pada dirinya sendiri tidak selalu keliru. Allah menciptakan manusia sebagai gambar-Nya (Kej. 1:26-27). Ini memberi kehormatan dalam diri manusia. Tidak heran Allah bahkan menjanjikan nama besar bagi Abraham (Kej. 12:2).

Walaupun demikian, kita juga patut mewaspadai keinginan. Bukankah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa karena mengingini sesuatu yang tidak seharusnya, yaitu ingin menjadi seperti Allah (Kej. 3:1-6)? Bukankah itu menunjukkan bahwa mereka tidak puas dengan posisi mereka yang asli dan ingin mendapatkan kedudukan yang lebih? Teks hari ini akan mengajarkan bagaimana ambisi untuk menjadi besar berpotensi menjadi perusak kebersamaan dan bagaimana kita bisa mengatasi godaan yang berdosa seperti itu.

Khotbah hari ini terdiri dari dua bagian: mengapa dan bagaimana. Mengapa kita kadangkala terjebak pada ambisi yang tidak kudus? Bagaimana kita bisa mengatasi godaan itu?

 

Alasan di balik ambisi yang tidak kudus (ayat 33-34)

Yesus Kristus yang tahu segalanya tidak segan untuk bertanya. Dia jelas tidak membutuhkan jawaban, karena Dia sudah tahu apa yang ditanyakan oleh murid-murid-Nya. Dia bahkan tidak menunggu jawaban mereka. Dia langsung memberikan respons di ayat 35-37.

Sikap di atas sangat berbeda dengan sikap murid-murid di ayat 32. Mereka segan segan (lit. “takut”) untuk bertanya, padahal mereka tidak memahami perkataan Yesus di ayat 31. Apa artinya “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit”? Murid-murid tidak tahu dan tidak mau mencari tahu. Ketidaktahuan inilah yang membuat mereka terjebak pada ambisi yang tidak kudus.

Seandainya mereka mengetahui maksud perkataan Yesus di ayat 31 mereka mungkin akan memahami betapa konyolnya perdebatan mereka seputar posisi atau kuasa. Anak Manusia sibuk dengan misi penyelamatan orang berdosa. Dia tidak menghiraukan kedudukan, kekuasaan maupun kenyamaman. Bagaimana mungkin para pengikut-Nya justru meributkan semua hal tadi? Sikap mereka yang hanya berdiam diri ketika ditanya oleh Yesus (9:33) menyiratkan mereka sadar bahwa perbincangan mereka di tengah jalan tidak semestinya dilakukan. Mereka tidak seharusnya meributkan siapa yang lebih besar daripada sesamanya.

Sama seperti murid-murid Yesus dahulu, tidak sedikit orang Kristen yang terjebak dengan berbagai ambisi yang tidak kudus karena mereka tidak memahami rencana Allah yang agung. Kalaupun mereka mengetahuinya, belum tentu mereka mau membayar harganya. Tidak demikian dengan Kristus. Dia menyadari bahwa tujuan hidup-Nya adalah menyelesaikan rencana Allah bagi dunia ini. Dia datang untuk menggenapkan. Dia siap mengurbankan diri demi penuntasan misi ilahi di bumi.

Injil Yesus Kristus merupakan antitesis terhadap ambisi kekuasaan yang tidak kudus. Di dalam Injil kita menemukan sebuah teladan penyangkalan diri bagi rencana ilahi. Dalam Injil kita juga menemukan kekuatan untuk merengkuh harga mahal yang harus dibayar untuk merealisasikan rencana tersebut. Ini menyediakan sebuah pelajaran rohani penting bagi kita: yang menyibukkan diri dengan rencana ilahi pasti tidak memiliki cukup waktu untuk menyibukkan diri dengan ambisi pribadi.

 

Cara mengatasi ambisi yang tidak kudus (ayat 35-37)

Mendiagnosa sebuah persoalan adalah satu hal. Menyediakan koreksi dan solusi merupakan hal yang berbeda. Tuhan Yesus menyediakan keduanya: diagnosa (ayat 33-34) dan solusi (ayat 35-37).

Jawaban Yesus di ayat 35-37 menyiratkan bahwa “menjadi pertama” (LAI:TB “menjadi terdahulu”) pada dirinyanya sendiri tidak selalu keliru. Yesus tidak melarang keinginan murid-murid ke arah sana. Dia bahkan menunjukkan jalan menuju ke sana! Sekali lagi, memiliki posisi dan kedudukan pada dirinya sendiri tidak salah. Namun, setiap orang perlu memikirkan ulang ambisi dalam dirinya. Kristus menyediakan solusi bagi hati murid-murid yang dikuasai oleh ambisi terhadap posisi.

Solusi yang disediakan oleh Kristus bersifat kontrakultural. Dunia mungkin akan memandang hal itu sebagai keanehan, bahkan kebodohan. Pemikiran duniawi mengaitkan kedudukan dengan kekuasaan dan penghargaan. Seseorang dipandang agung ketika dia mampu menunjukkan kemampuan diri dan prestasi, dihormati dan dilayani.

Bagaimana kita bisa mengalahkan ambisi yang tidak kudus terhadap kedudukan dan kekuasaan dalam hati kita?

Pertama, menjadi yang terakhir dan pelayan (ayat 35). Frasa “hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya” (ayat 35a) menyoroti motivasi dalam diri seseorang. Memiliki posisi yang tinggi jelas tidak salah. Persoalannya, posisi itu seringkali dimotivasi oleh arogansi. Tatkala seseorang mengejar kedudukan dan kekuasaan, dia justru sedang memberi makan berhala penghargaan dan pengakuan.

Kedudukan hanyalah jabatan struktural atau posisi komunal. Hanya mengatur interaksi antar anggota sebuah komunitas. Kedudukan tidak seharusnya menentukan identitas seseorang. Kekuasaan tidak menambah apa-apa maupun mengurangi apa-apa pada diri kita. Tidak ada yang berubah pada diri kita.

Ketika banyak orang bergegas menempati posisi di depan yang menawarkan kebanggaan dan penghargaan, kita justru dinasihati oleh Tuhan untuk mengambil posisi di belakang. Tidak kasatmata, tetapi bukan berarti tidak bekerja. Jauh dari penghargaan tetapi bukan berarti tanpa dampak yang mengubahkan.

Yesus bukan hanya membicarakan tentang motivasi. Frasa “[menjadi] pelayan dari semuanya” menyoroti tujuan. Kedudukan hanyalah sarana, bukan destinasi. Tujuannya adalah untuk melayani semua orang. Siap memegang sebuah posisi berarti siap untuk melayani.

Kristus sendiri sudah memberikan teladan sempurna tentang hal ini (ayat 31-32). Anak Manusia yang mulia (Dan. 7:13-14) rela datang ke dunia untuk menjadi pelayan bagi manusia yang berdosa. Dia menyadari bahwa melayani dan mengurbankan diri merupakan destinasi dari inkarnasi.

Kedua, menerima yang dianggap hina (ayat 36-37). Sebagian orang mungkin tidak mengalami kesulitan untuk melayani banyak orang, apalagi jika yang dilayani memang dipandang “layak” untuk dilayani. Persoalannya, Yesus memerintahkan kita untuk menjadi “pelayan dari semuanya” (9:35). Tidak ada perkecualian.

Gestur yang ditunjukkan oleh Yesus di ayat 36 menegaskan pesan yang Dia ingin sampaikan. “semua orang” berarti termasuk anak-anak. Menurut kultur pada waktu itu anak kecil dianggap sebagai anggota masyarakat yang tidak berharga. Mereka sering dipandang dengan sebelah mata. Yesus justru mengambil dan memeluk mereka. Dia menghargai apa yang tidak dihargai oleh dunia.

Melayani mereka yang tidak berharga merupakan ujian yang baik untuk mendeteksi berhala penghargaan dan pengakuan dalam hati kita. Jika status mereka tidak berharga, demikian pula dengan pujian dari mulut mereka. Hal ini tentu berbeda dengan pujian yang diterima dari orang lain yang memiliki status terhormat. Semakain tinggi posisi, semakin pujiannya berarti dan diapresiasi. Melayani mereka yang tidak dihargai oleh masyarakat benar-benar sebuah ujian kerendahhatian yang tidak gampang!

Sikap hati seperti inilah yang diharapkan dari seorang pimpinan. Dia harus siap menyambut orang yang dianggap paling hina oleh dunia. Orang-orang seperti inilah yang paling membutuhkan pelayanan dari kita.

Nasihat Yesus tidak berhenti di situ saja. Dia tidak hanya menasihati murid-murid untuk menyambut anak-anak kecil. Dia juga menerangkan alasan yang indah di balik tindakan itu. Sikap mereka terhadap pihak yang hina sangat penting di mata Allah. Menyambut yang hina sama saja dengan menyambut Yesus sendiri, dan menyambut Yesus sama saja dengan menyambut Bapa (ayat 37). Menerima dan melayani orang yang dianggap hina oleh dunia merupakan hal yang penting di mata Pencipta alam semesta.

Poin di atas cukup menarik untuk diperhatikan lebih lanjut. Yesus sedang menjelaskan jalan menuju kebesaran, yaitu kerendahhatian untuk melayani (9:35) dan kesiapan menyambut orang-orang yang hina (9:36-37). Apakah itu berarti bahwa tujuan ultimat adalah kebesaran pemimpin? Tentu saja tidak! Semua yang dikatakan berujung pada Allah sendiri. Allah adalah alasan, kekuatan, dan tujuan dalam setiap tindakan.

Bukan hanya itu. Antara Allah dan kita harus ada Kristus (9:37b “Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku”). Yesus bisa saja mengaitkan langsung tindakan murid-murid ke Bapa, tetapi Dia tidak melakukan itu. Apa yang kita lakukan bagi Bapa tidak akan bermakna tanpa mediasi Kristus di tengah-tengahnya. Jadi, kemuliaan Bapa adalah tujuan, dedikasi kepada Kristus adalah jalan.

Apa yang kita sudah lakukan dengan kedudukan dan kekuasaan yang dititipkan oleh Allah ke tangan kita?  Apakah kita mengingininya dengan motivasi yang benar ataukah kita justru sedang memberi makan berhala dalam diri kita? Apakah kita telah menjadikannya sebagai sarana pelayanan bagi sesama dan untuk kemuliaan Bapa?

Kristus telah menyediakan teladan dan jalan yang sempurna bagi kita. Melalui kematian dan kebangkitan-Nya kita juga sudah dimampukan untuk mengikuti teladan dan melewati jalan itu. Kita adalah orang-orang berdosa dan hina. Tidak ada yang baik dalam diri kita. Namun, Kristus mencari kita dengan segala cara. Dia menemukan kita dalam kehancuran dan keterpurukan kita. Dia rela merengkuh semua kehinaan kita pada diri-Nya sendiri sehingga kita bisa diterima oleh Bapa. Semua ini Dia lakukan supaya kita dimampukan untuk melayani sesama bagi kemuliaan Bapa. Jangan sampai ambisi yang tidak kudus terhadap kedudukan menghancurkan kebersamaan. Soli Deo Gloria.

Photo by Sincerely Media on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community