Misi Membutuhkan Kedewasaan Rohani (Matius 4:1-11)

Posted on 08/08/2021 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2021/08/Misi-Membutuhkan-Kedewasaan-Rohani-Matius-41-11.jpg Misi Membutuhkan Kedewasaan Rohani (Matius 4:1-11)

Pelayanan misi adalah untuk semua orang. Semua orang percaya dipanggil untuk terlibat di dalamnya. Sayangnya, tidak semua yang sudah menjawab “iya” benar-benar siap untuk melakukannya. Mereka hanya bermodal semangat tetapi tanpa kerohanian yang sehat. Antusiasme yang besar tidak disertai dengan kedewasaan yang matang.

Situasi seperti ini tidak boleh diremehkan. Pelayanan misi menyediakan berbagai macam tantangan. Godaan selalu ada di depan. Ancaman siap menghadang. Dibutuhkan kedewasaan untuk bisa bertahan, apalagi untuk keluar sebagai pemenang. Semua tantangan tersebut justru menjadi ujian bagi kesiapan dalam pelayanan.

Bagaimana kita dapat bertahan dalam segala macam tantangan dan godaan? Itulah pertanyaan yang akan dijawab melalui teks kita hari ini.

Dalam khotbah Hari Minggu yang lalu kita sudah mempelajari awal pelayanan Yesus, yaitu baptisan. Menariknya, sesudah dibaptis oleh Yohanes dan mendapatkan peneguhan dari sorga, Yesus Kristus tidak langsung melayani banyak orang. Dia lebih dahulu dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun untuk dicobai (4:1).

Sekilas keterangan ini mungkin mengagetkan. Bagaimana mungkin Roh Kudus membawa Yesus ke dalam pencobaan? Bukankah Allah tidak pernah mencobai siapapun (bdk. Yak. 1:13)? Untuk memahami hal ini, kita perlu mengingat bahwa kata kerja peirazō bisa berarti menguji (positif) atau mencobai (negatif), tergantung pada konteksnya. Karena kata kerja ini diikuti dengan frasa “oleh Iblis” (hypo tou diabolou), semua versi sepakat memilih terjemahan “dicobai.” Tidak ada yang salah dengan pilihan ini.

Walaupun demikian, keterangan “dibawa oleh Roh ke padang gurun” menyiratkan bahwa Allah tidak sepenuhnya pasif dalam pencobaan. Pencobaan dari Iblis sekaligus merupakan ujian dari Allah. Pencobaan dimaksudkan untuk melemahkan iman, sedangkan ujian untuk menguatkan iman. Selain itu, Iblis memang tidak dapat melakukan apapun tanpa izin dari Allah. Dalam Doa Bapa Kami Yesus Kristus mengajarkan kita untuk berdoa: “Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan” (6:13). Allah tentu saja tidak mencobai siapapun, namun Dia seringkali mengizinkan Iblis untuk mencobai kita dengan tujuan tertentu. Kisah Ayub merupakan contoh yang jelas (Ay. 1-2). Siapakah yang mengulurkan tangan dan menjamah semua milik Ayub? Jawabannya adalah Allah (Ay. 1:11) sekaligus Iblis (Ay. 1:12). Jadi, Allah bukan pencipta maupun penyebab dosa, tetapi bukan berarti Dia tidak berkuasa atas segalanya. Ada tujuan Allah di dalam setiap keadaan, bahkan di dalam pencobaan yang dilakukan oleh Setan.

Yang penting adalah belajar untuk meyakini dan memahami tujuan ilahi tersebut. Dalam pencobaan yang dialami oleh Yesus Kristus di Matius 4:1-11, misalnya, Allah memiliki tujuan yang baik. Yesus sedang ditampilkan sebagai Israel Baru, Anak Allah, yang tetap menaati kehendak Bapa-Nya. Sama seperti Israel adalah anak-anak Allah yang dibawa keluar dari Mesir menuju padang gurun (Kel. 4:22-23), demikian pula Yesus sebagai Anak Allah dibawa oleh Roh ke padang gurun (Mat. 4:1). Bedanya, Yesus adalah Anak yang taat, sedangkan bangsa Israel adalah anak-anak yang gagal.

Poin di atas didukung oleh berbagai petunjuk dalam teks. Latar belakang tempat sama-sama di padang gurun. Durasi waktu sama-sama melibatkan angka 40 (40 tahun dan 40 hari). Semua jawaban Yesus kepada Iblis diambil dari Ulangan 6-8 yang mengisahkan perjalanan bangsa Israel di padang gurun. Dukungan ini akan terlihat semakin jelas ketika kita nanti menguraikan setiap detil pencobaan Iblis dan jawaban dari Yesus.

Kemenangan Yesus dalam pencobaan semakin menunjukkan kesiapan dan kerelaan-Nya untuk menuntaskan misi dari Allah dengan cara Allah. Yesus menunjukkan kedewasaan rohani melalui persandaran-Nya yang total pada Bapa. Dia mengerti kehendak Bapa-Nya. Dia percaya hati Bapa-Nya.

 

Ketaatan lebih penting daripada kenyamanan (ayat 2-4)

Tidak makan selama 40 hari jelas menimbulkan rasa lapar yang hebat. Kekuatan tubuh habis terkuras. Pada momen seperti ini makanan menjadi kebutuhan terpenting dan paling mendesak untuk bertahan. Momen seperti ini hendak dimanfaatkan oleh Iblis.

Godaan dari Iblis sebenarnya cukup menggiurkan. Puasa sudah selesai. Yesus lapar. Dia membutuhkan makanan. Dia juga mampu untuk menyediakan makanan-Nya sendiri.

Iblis benar-benar mengetahui situasi ini. Perkataan “Jika Engkau Anak Allah” secara tata bahasa bisa dipahami sebagai pengakuan: “Karena Engkau Anak Allah.” Hal ini sesuai dengan peneguhan dari sorga di 3:16-17. Godaan untuk mengubah batu menjadi roti jelas menyiratkan pengakuan Iblis terhadap kekuasaan Yesus. Jika Yesus tidak mampu melakukan hal itu, untuk apa Iblis menggoda Dia untuk melakukannya? Jadi, Iblis justru sedang menyoroti kekuasaan Yesus untuk menjatuhkan Dia.

Jawaban Yesus kepada Iblis merujuk balik pada perjalanan bangsa Israel di padang gurun. Sama seperti Yesus, mereka sedang merasakan lapar yang luar biasa. Sama seperti Yesus, rasa lapar ini merupakan ujian iman. TUHAN berkata: “Jadi Ia merendahkan hatimu, membiarkan engkau lapar dan memberi engkau makan manna, yang tidak kaukenal dan yang juga tidak dikenal oleh nenek moyangmu, untuk membuat engkau mengerti, bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi manusia hidup dari segala yang diucapkan TUHAN” (Ul. 8:3).

Sayangnya, respons bangsa Israel tidak seperti Yesus. Bangsa Israel meragukan kebaikan dan pemeliharaan TUHAN atas hidup mereka. Mereka tidak sabar menantikan pertolongan TUHAN. Mereka memilih untuk mengeluh dan menyalahkan TUHAN. Sebaliknya, Yesus memilih untuk menantikan pertolongan TUHAN dengan sabar. Tindakan ini terbilang luar biasa. Yesus sebenarnya bisa mengandalkan kekuatan-Nya sendiri (bdk. 14:13-21; 15:32-39), tetapi Dia justru belajar untuk bersandar pada Bapa. Bagi Dia ketaatan lebih penting daripada kenyamanan. Menjalani proses ketaatan lebih berharga daripada solusi spontan. Menantikan Allah tidak pernah salah. Dia membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Akhirnya para malaikat diutus oleh Bapa untuk menyediakan makanan bagi Yesus (4:11).

Cara yang sama dipakai oleh Iblis untuk menjatuhkan kita. Dia suka memberi panggung dan lampu sorot untuk kehebatan kita. Kita dijadikan diva yang berkuasa, sedangkan Allah hanyalah penonton biasa. Ketika kita merasa bisa melakukan segalanya, di situlah kelemahan terbesar kita.

 

Iman didasarkan pada firman TUHAN, bukan hasil pembuktian (ayat 5-7)

Pencobaan kedua terjadi di bubungan bait Allah (to pterygion tou hierou). Lokasi persis yang dimaksud sampai sekarang masih diperdebatkan oleh para penafsir. Kemungkinan besar frasa tadi merujuk pada bagian yang paling tinggi dari bait Allah (semua versi Inggris “the highest point” atau “the pinnacle”). Menurut catatan Yosefus, penulis sejarah Yahudi abad ke-1 Masehi, memang ada lokasi tertentu yang begitu tinggi sampai membuat orang pusing jika berani melihat ke bawah.

Kalau di pencobaan pertama Yesus mengutip kitab suci, kali ini Iblis juga melakukan hal yang sama. Ayat yang dikutip dari Mazmur 91:11-12, tentang pemeliharaan Allah atas orang-orang yang meyakini perlindungan dan dan naungan-Nya (91:1-2). Kaki mereka tidak akan terantuk kepada batu karena para malaikat akan siap menatang orang-orang percaya dengan tangan mereka. Jika orang-orang ini saja akan dilindungi, apalagi Yesus sebagai Anak Allah yang dikasihi dan diperkenan oleh Allah (4:6; 3:16-17). Allah pasti akan memberikan perlindungan ekstra.

Yesus mengoreksi pengutipan ayat yang dilakukan oleh Iblis. Tidak semua ucapan yang mengutip ayat Alkitab adalah alkitabiah. Iblis asal kutip belaka tanpa mempertimbangkan konteks ayat maupun bagian-bagian Alkitab yang lain. Perlindungan ilahi di Mazmur 91 berkaitan dengan wabah dan serangan musuh, bukan kesulitan yang dibuat sendiri. Selain itu, ungkapan “ada pula tertulis” (palin gegraptai, Mat. 4:7) mengajarkan bahwa suatu ayat tidak boleh ditafsirkan lepas dari ayat-ayat yang lain. Godaan yang ditawarkan oleh Iblis merupakan upaya untuk mencobai TUHAN (Ul. 6:16 “Janganlah kamu mencobai TUHAN, Allahmu, seperti kamu mencobai Dia di Masa”). Jika Yesus menuruti perkataan Iblis, Dia akan melakukan kesalahan yang sama dengan bangsa Israel waktu mereka berada di Masa. Ketika mereka haus dan tidak memiliki air untuk diminum, mereka tidak mempercayai, bahkan menyalahkan TUHAN. Mereka berkata: “Adakah TUHAN di tengah-tengah kita atau tidak?” (Kel. 17:7).

Respons Yesus terhadap Iblis mengajarkan bahwa iman seharusnya didasarkan pada firman TUHAN, bukan hasil pembuktian. Pembuktian seringkali merupakan ekspresi ketidakpercayaan. Jika Yesus benar-benar melompat, Allah mungkin akan melindungi Dia. Bapa akan melayani Anak. Namun, hal itu merupakan pemaksaan kepada Allah. Yesus menyadari bahwa Dia datang untuk menggenapkan seluruh kehendak (lit. “kebenaran”) Bapa-Nya (3:15), bukan sebaliknya.

Godaan yang sama seringkali menimpa kita. Atas nama “iman,” TUHAN seringkali diletakkan pada posisi yang “sukar.” Seseorang bahkan dengan naif dan sombong pernah berkata: “Kalau kita memiliki iman, Allah tidak memiliki pilihan.” Tindakan ini bukan mempercayai, melainkan mencobai. Bukan iman, melainkan pemaksaan.

 

Jalan kemenangan adalah penderitaan, bukan kemudahan (ayat 8-10)

Upaya Iblis terakhir untuk menjatuhkan Yesus berhubungan dengan tawaran kekuasaan melalui jalan yang gampang. Seperti yang kita ketahui, Iblis merupakan penguasa dunia ini. Alkitab secara konsisten mengajarkan hal ini (Yoh. 12:31; 14:30; 16:11; 2Kor. 4:4; Ef. 6:11-12; 1Yoh. 5:19; Why. 12:9-17). Iblis memiliki kerajaannya sendiri (Mat. 12:26). Sekarang dia menawarkan kekuasaan itu kepada Yesus jika Yesus mau menyembah Dia.

Kali ini Yesus memulai jawaban-Nya bukan dengan kitab suci, tetapi sebuah hardikan: “Enyahlah Iblis”. Kalimat yang sama diucapkan kepada Petrus pada waktu dia berusaha menghalangi perjalanan Yesus menuju Yerusalem untuk disalibkan (16:23). Iblis selalu berusaha untuk menggagalkan jalan salib. Dia menawarkan jalan yang lebih mudah.

Godaan Iblis jelas merupakan perlawanan terhadap salah satu kebenaran terpenting dalam kitab suci, yaitu keesaan Allah dan kekhususan ibadah kepada-Nya. Objek penyembahan hanyalah Allah. Jawaban Yesus merupakan kutipan dari Ulangan 6:13 (“Engkau harus takut akan TUHAN, Allahmu; kepada Dia haruslah engkau beribadah”) yang merupakan peringatan terhadap bahaya penyembahan berhala (Ul. 6:14 “Janganlah kamu mengikuti allah lain, dari antara allah bangsa-bangsa sekelilingmu”).

Yesus tidak mau meladeni godaan Iblis karena Dia tahu bahwa Dia datang ke dunia untuk memberitakan kedatangan kerajaan Allah (Mat. 4:17, 23). Untuk itu Dia harus melewati perjalanan yang penuh penderitaan. Jalan Tuhan memang tidak mudah, tetapi itulah jalan yang terindah. Pada akhirnya Dia justru mendapatkan dari Bapa apa yang dijanjikan oleh Iblis: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi” (28:18). Otoritas yang Dia miliki bukan hanya atas segala kerajaan di bumi, melainkan segala makhluk di surga dan di bumi.

Dengan cara yang sama Iblis berusaha menjatuhkan kita. Dia mencoba menawarkan kenyamanan dan kemudahan sebagai jalan keluar. Iblis menjadikan perasaan kita sebagai raja. Dia menawarkan kuasa.

Sama seperti Yesus Kristus, kita sepatutnya menyampahkan tawaran Iblis. Posisi Allah dalam hidup kita tidak boleh tergantikan oleh apapun juga yang ada di dunia. Semakin kita menyadari dan mengalami keberhargaan Allah dalam hidup kita, semakin kita mampu untuk menyampahkan dunia dengan semua keindahannya. Soli Deo Gloria.

Photo by Kelly Sikkema on Unsplash
https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community