Tema REC tahun 2021 adalah “Togetherness: What We Value and Do” (Kebersamaan: Apa Yang Kita Hargai dan Lakukan). Adalah sangat tepat apabila kita melandasi rangkaian tema ini dengan perintah Tuhan Yesus tentang saling mengasihi seperti Dia telah mengasihi kita. Tanpa kasih yang benar, kebersamaan bisa berubah menjadi sesuatu yang merugikan: ketergantunga, persekongkolan, bahkan perpecahan.
Lebih daripada sekadar kesatuan organisatoris atau kesamaan personal, kita membutuhkan kebersamaan yang dibangun di atas kasih Tuhan. Tidak mudah memang. Tapi itulah yang kita akan tuju di depan.
Teks hari ini akan memaparkan alasan-alasan mengapa kita harus saling mengasihi seperti Yesus telah mengasihi kita (ayat 9-11). Teka kita juga mengajarkan bagaimana wujud konkrit mengasihi orang lain seperti Yesus telah mengasihi kita (ayat 12-17). Jadi, bagian awal berbicara tentang “mengapa” dan bagian selanjutnya tentang “bagaimana”.
Alasan-alasan menaati perintah (ayat 9-11)
Semakin banyak orang menyadari betapa pentingnya “mengapa” lebih daripada “apa” dan “bagaimana”. Ketika seseorang benar-benar menangkap alasan penting di balik apa yang dia lakukan, dia pasti akan mencari tahu “apa” dan “bagaimana” melakukannya. “Apa” dan “mengapa” tidak akan menjadi beban bagi mereka yang sudah paham alasan.
Jadi mengapa kita perlu menaati perintah untuk mencerminkan kasih Kristus? Alasan utama adalah perintah ini tidak sukar untuk dilakukan. Ya! Benar. Perintah ini seharusnya mudah untuk dilakukan.
Bagaimana tidak? Yesus hanya memerintahkan kita untuk tinggal di dalam kasih-Nya (ayat 9). Dia tidak meminta kita untuk mencari atau menemukan kasih itu. Kita tidak dituntut untuk mengupayakan atau membayar kasih tersebut. Kita sudah diletakkan di dalam kasih-Nya. Tugas kita hanya diam di sana saja.
Ayat yang sama bahkan mengajarkan bahwa kita sudah mengalami kasih itu (“demikian juga Aku telah mengasihi kamu”). Kasih Kristus bukan sebuah ide abstrak yang kering. Bukan pula sekadar wacana teologis. Kita sudah mengalami kasih itu. Lekat dengan kehidupan kita. Sesuatu yang kita sudah alami pasti lebih mudah untuk kita bagi. Dengan mengalami kita semakin memahami. Dengan memahami kita akan semakin termotivasi.
Bukan hanya itu. Yesus Kristus juga telah menyediakan sebuah teladan (ayat 10b “seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya”). Segala sesuatu yang Dia pikirkan, rasakan, atau lakukan menunjukkan kasih-Nya dan ketaatan-Nya pada perintah Bapa-Nya. Dia tidak hanya memberitahukan apa yang harus dilakukan, tetapi sekaligus menunjukkan bagaimana Dia melakukannya.
Semua penjelasan di atas seharusnya memberikan suntikan semangat bagi kita untuk melakukannya. Apa yang diperintahkan tidak sukar. Kita hanya diminta untuk tinggal di dalam kasih Kristus. Lagipula, kita juga sudah diberikan pengalaman dan keteladanan. Musuh utama kasih adalah kebebalan dan ketidakpedulian, bukan kemustahilan.
Alasan lain mengapa kita perlu menaati perintah untuk mencerminkan kasih Kristus adalah perintah ini menggembirakan. Poin ini sama pentingnya dengan yang pertama. Sesuatu yang mudah akan tetap menjadi sukar bagi mereka yang enggan untuk melakukannya. Karena itu Yesus mengajarkan bahwa perintah yang Dia berikan bukan hanya tidak sukar, tetapi menggembirakan.
Perintah Kristus sangat menggembirakan karena dilandaskan pada kasih. Ide tentang kasih muncul 5 kali di ayat 9-10. Ketaatan kita dimulai dengan kasih Allah kepada kita (ayat 9). Bahkan ketaatan merupakan upaya untuk tetap tinggal di dalam kasih-Nya. Dengan kata lain, ketaatan kita didirikan di atas pengalaman dan keyakinan bahwa Allah telah lebih dahulu mengasihi kita. Jika semua digerakkan oleh cinta, semua akan dilakukan dengan gembira.
Di samping itu, perintah Kristus juga menggembirakan karena mendatangkan sukacita yang besar. Secara hurufiah ayat 11 berbunyi: “hal-hal ini Aku telah katakan kepada kalian supaya sukacita-Ku di dalam kalian tetap ada, dan sukacita kalian menjadi penuh” (YLT). Dua kali kata “sukacita” diucapkan di sini. Sukacita milik Yesus sudah ada dalam diri kita. Dia ingin supaya sukacita itu tetap ada pada kita.
Apa yang sudah tetap ada adalah satu hal. Apa yang ada menjadi sempurna adalah hal yang berbeda. Kristus tidak hanya menghendaki supaya sukacita-Nya tetap ada dalam kita, melainkan supaya sukacita itu menjadi penuh. Orang-orang Yahudi yang memahami pengharapan mesianis pasti akan langsung mengaitkan sukacita ini secara eskhatologis (yang berkaitan dengan akhir zaman). Pada zaman akhir, ketika mesianis akan menahbiskan kerajaan Allah di bumi secara sempurna, semua orang yang percaya akan menikmati sukacita yang tidak terkatakan. Sempurna. Seperti yang direncanakan oleh Allah bagi mereka.
Wujud konkrit mengasihi seperti Yesus mengasihi kita (ayat 13-17)
Kasih Yesus kepada kita diungkapkan dalam banyak cara. Apa saja yang Dia katakan atau lakukan bagi kita merupakan wujud kasih-Nya kepada kita. Berdasarkan keluasan ungkapan kasih ini, kita perlu berfokus pada teks kita hari ini saja, terutama di ayat 13-17. Dari bagian ini kita dapat belajar dua wujud konkrit mengasihi orang lain seperti Kristus telah mengasihi kita.
Pertama, mengasihi seperti sahabat (ayat 13-15). Persahabatan merupakan jenis relasi yang sangat penting dan dihargai dalam budaya kuno. Hal ini tidak terlalu mengherankan. Dalam masyarakat kuno, identitas ditentukan oleh komunitas. Banyak hal dalam diri seseorang berkaitan dengan atau bahkan ditentukan oleh dengan siapa dia bergaul. Berbeda dengan konsep kita secara umum tentang persahabatan, ikatan persahatan kuno jauh lebih kuat. Sahabat bukan hanya berbagi waktu dan aktivitas yang sama. Bersahabat berarti mengadopsi cara pandang dan berbagi kehidupan. “Siapa seseorang” dapat diketahui dari “dengan siapa dia bergaul”.
Persahabatan juga menawarkan kedekatan yang khusus. Seorang sahabat bahkan bisa lebih dekat daripada saudara kandung (Ams. 18:24). Seorang sahabat selalu menaruh kasih sepanjang waktu dan memberikan pertolongan dalam kesukaran (Ams. 17:17).
Dalam tradisi religius Yahudi persahabatan juga dipentingkan. Sebagai contoh, banyak orang saleh dalam kitab suci, tetapi yang disebut sebagai sahabat Allah hanya segelintir saja. Yang paling terkenal tentu saja adalah Abraham. Beberapa kali Alkitab menyebut dia sebagai sahabat Allah (Yes. 41:8; Yak. 2:23). Selain Abraham, kita perlu menyebutkan nama Musa (Kel. 33:11). Dengan kata lain, dianggap sebagai sahabat oleh Allah merupakan sebuah kehormatan yang besar. Tidak semua orang diperlakukan demikian.
Sesuai dengan konteks Yohanes 15:9-17, aspek persahabatan yang ditekankan adalah pengenalan. Figur sahabat dikontraskan dengan hamba atau budak. Secara khusus, Yesus menyoroti perbedaan kualitas pengenalan di antara mereka: “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku” (ayat 15).
Sebagian orang berusaha mempersoalkan ucapan Yesus bahwa wujud kasih yang terbesar adalah memberikan nyawa bagi sahabat-Nya. Menurut mereka, kasih terbesar seharusnya ditujukan pada musuh, bukan sahabat. Sanggahan semacam ini terlalu mengada-ada dan tidak menghargai konteks pembicaraan. Yesus tidak sedang membicarakan tentang segala jenis relasi. Dia hanya mengontraskan budak dengan sahabat. Dalam konteks relasi persahabatan inilah, Yesus mengajarkan bahwa wujud kasih terbesarnya adalah memberikan nyawa bagi sahabat.
Sebagai contoh, ketika saya berkata: “Tidak ada yang lebih indah daripada memiliki rekan pelayanan yang sekaligus menjadi sahabat dalam kehidupan” isteri saya tentu saja tidak akan merasa tersinggung dan disisihkan. Dalam kalimat itu saya hanya membicarakan tentang dua jenis relasi: rekan pelayanan dan sahabat dalam kehidupan. Saya tidak sedang memikirkan relasi suami – isteri atau orang tua – anak.
Kedua, mengambil inisitaif untuk kebaikan orang lain (ayat 17). Apa yang Yesus katakan di ayat ini mengungkapkan kerinduan-Nya yang besar agar murid-murid-Nya mengalami segala kebaikan-Nya. Dia tidak menunggu hal itu terjadi. Dia mengambil inisiatif untuk memilih murid-murid-Nya (ayat 16a “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu”). Di telinga masyarakat kuno, tindakan ini cukup mengagetkan. Biasanya yang terjadi adalah sebaliknya: seorang murid memilih seorang guru; pemilihan ini juga belum tentu dikabulkan oleh sang guru.
Sejak awal Tuhan Yesus sudah memberitahukan tujuan dari pemilihan di atas, yaitu supaya murid-murid-Nya menghasilkan buah (ayat 16b). Bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali (“buahmu itu tetap”). Inilah yang disebut multiplikasi. Murid-murid dipilih bukan hanya untuk menambah pengetahuan atau membentuk tim elit. Mereka dimuridkan supaya dapat memuridkan orang lain dalam sebuah proses multiplikasi yang tanpa henti.
Tugas ini tentu saja tidak mudah. Target begitu besar, sementara kemampuan murid-murid terbatas. Itulah sebabnya Yesus memberikan sebuah jaminan: “supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu” (ayat 16c). Frasa “apa yang kamu minta” harus dipahami dalam kaitan dengan menghasilkan buah di bagian sebelumnya. Apa saja yang kita perlukan untuk memiliki hidup yang berbuah pasti akan disediakan oleh Bapa. Jaminan ini diberikan di dalam Kristus (“dalam nama-Ku”). Bagi siapa saja yang tinggal di dalam Dia dan kasih-Nya (dalam arti menaati perintah-perintah-Nya), Bapa sudah memberikan jaminan keberhasilan.
Pemuridan memang sukar. Multiplikasi tanpa henti memang kadangkala mengintimidasi. Walaupun demikian, kita perlu mengingat bahwa jika TUHAN memerintahkan, Dia pasti akan memampukan. Tugas kita hanya menunjukkan kemauan.
Akhirnya, mengasihi sesama seperti Kristus telah mengasihi kita bukanlah tugas yang mustahil. Pengenalan dan kedekatan dengan TUHAN adalah kunci ketaatan. Semakin kita melekat dengan kasih-Nya, semakin kita digerakkan oleh kasih itu. Keindahan-Nya mengaburkan kehinaan sesama. Pengampunan yang besar yang kita terima dari Tuhan membuat kesalahan-kesalahan orang lain menjadi tidak signifikan. Soli Deo Gloria.