Jika mau mau jujur, banyak di antara kita yang akan mengakui bahwa pertanyaan di atas pernah singgah di pikiran kita. Ada momen-momen tertentu dalam perjalanan rohani kita ketika kehadiran Tuhan tidak bisa kita rasakan. Hidup terasa kering-kerontang. Doapun terasa hambar.
Mengapa Tuhan terasa begitu jauh? Mengapa Dia diam? Untuk menjawab pertanyaan ini dengan benar, kita perlu mengerti dua hal: penyebab dan respons yang tepat. Faktor apa saja yang membuat orang meragukan kehadiran Tuhan? Bagaimana sebaiknya kita menyikapi situasi ini?
Ada beragam kemungkinan jawaban. Yang pertama adalah harapan-harapan yang tidak terpenuhi (unmet expectations). Dalam menjalin relasi dengan Tuhan, masing-masing memulai dengan harapan tertentu. Sayangnya, harapan-harapan itu belum tentu benar. Lebih parah lagi, kita kadangkala tidak menyadari bahwa kita membawa harapan-harapan tersebut ke dalam hubungan kita dengan Tuhan. Ketika cara Tuhan bekerja tidak sesuai dengan harapan-harapan itu, kita menjadi putus-asa.
Marilah kita mengambil contoh kisah Elia. Setelah kemenangan yang telak dan spektakuler atas ratusan nabi Baal (1Raj. 18), Elia justru mengalami keputusasaan hanya gara-gara ancaman Izebel (1Raj. 19:1-3). Dia bahkan ingin mati (1Raj. 19:4). Sebuah kisah yang sangat antiklimaks! Semua ini dapat terjadi karena harapan yang tidak terpenuhi. Sebelumnya dia berharap bahwa kemenangan di Gunung Karmel akan mengembalikan semua bangsa Israel kepada TUHAN. Kenyataannya tidak demikian. Elia merasa dirinya tidak lebih baik daripada para pendahulunya (1Raj. 19:4b). Dia bahkan merasa bahwa dirinya adalah satu-satunya yang masih menyembah TUHAN (1Raj. 19:10, 14). Ketika dia ingin menemui TUHAN, dia berharap akan menemukan TUHAN dalam angin yang besar atau api. Ternyata TUHAN justru menampakkan diri dalam angin yang sepoi-sepoi saja (1Raj. 19:11-13). Harapan yang tidak benar dan tidak tergenapkan seringkali membuat orang kecewa dengan TUHAN sehingga TUHAN terasa ada di kejauhan.
Penyebab kedua adalah persoalan yang tidak terselesaikan (unsolved problems). Salah satu harapan manusia terhadap Allah adalah kehidupan yang nyaman. Ketika harapan ini tidak terjadi, mereka mudah meragukan Allah. Penderitaan manusia selalu dikontraskan dengan kebaikan Allah. Tidak heran, ketika persoalan bertubi-tubi datang seolah-olah tanpa jalan keluar, mereka cenderung memertanyakan keberadaan dan kebaikan Tuhan.
Keraguan Yohanes Pembaptis mungkin bisa menjadi contoh konkrit yang baik untuk menerangkan poin ini. Setelah lama berada di dalam penjara, dia mulai mengalami kebimbangan tentang status Yesus yang sejati (Mat. 11:2-3). Yohanes mengutus beberapa muridnya untuk menanyakan langsung kepada Yesus benarkah Dia adalah Mesias yang dinantikan. Keraguan ini jelas mengagetkan. Bukankah kelahiran Yohanes sebagai pembuka jalan bagi Mesias sudah sedemikian dramatis? Bukankah dia sendiri menyaksikan keajaiban pada waktu baptisan Yesus? Mengapa dia perlu mengirim utusan untuk menanyakan kepada Yesus? Jawabannya cukup jelas: Yohanes berada dalam penjara. Dia tidak tahu sampai kapan hal ini akan berlangsung. Dia sudah lama berharap bahwa Yesus sebagai Mesias akan meruntuhkan kekuasaan asing (Romawi) dan antek-anteknya (termasuk Herodes yang memenejarakan dia) serta memberikan kelepasan kepadanya dari penjara. Ternyata yang dinantikan tidak kunjung datang. Kekecewaan dan keraguanpun mulai berkawan.
Penyebab yang terakhir adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab (unanswered questions). Beberapa orang mungkin masih dapat bertahan di dalam gelombang persoalan selama mereka mengantongi jawaban sebagai penjelasan. Keadaan menjadi lebih sukar apabila penderitaan-penderitaan itu menimbulkan beragam pertanyaan yang seolah tidak ada jawaban.
Contoh yang jelas adalah Ayub. Rentetan penderitaan yang datang tidak menggoyahkan imannya. Dia tetap mampu berkata: “TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil” (Ay. 1:21). Dia bahkan siap menerima yang buruk dari TUHAN (Ay. 2:6). Yang menjadi pergumulan Ayub adalah pertanyaan teologis yang sukar dijelaskan: Mengapa orang benar mengalami penderitaan? Sama seperti orang-orang sejamannya, Ayub meyakini teologi retribusi yang sempit: taat = berkat, tidak taat = kutuk. Selama ini dia mencoba menjalani keyakinan itu, dan hasilnya tampak bisa diandalkan (Ay. 1:1-3). Dia sangat diberkati dengan kekayaan dan keluarga yang besar.
Di tengah deretan kesusahan yang menghadang, Ayub tidak mengharapkan kelepasan, apalagi yang instan. Yang dia gumulkan adalah jawaban atau penjelasan. Mengapa orang benar dapat mengalami penderitaan yang sedemikian besar? Itulah inti dari seluruh kitab Ayub. Pergumulan untuk mendapatkan jawaban.
Apakah mencari jawaban merupakan sesuatu yang salah? Tidak selalu salah. Namun, kita perlu mengingat keterbatasan kita dalam memahami rencana-rencana Allah. Seperti Ayub, kita perlu belajar bahwa pasti ada pengetahuan (baca: alasan) di balik setiap keputusan TUHAN (Ay. 42:3-4). Allah yang bijaksana selalu memiliki alasan di balik setiap keputusan dan tindakan-Nya. Hanya saja Dia tidak selalu mengungkapkan alasan itu kepada kita. Dia memberi ruang untuk melatih iman kita.
Marilah kita merenungkan keadaan kita. Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Itu janjinya (Yos. 1:9; Ibr. 13:7). Kalau kita sampai tidak merasakan kehadiran-Nya, mungkin karena kita salah memahami kehadiran-Nya. Harapan-harapan kita keliru. Kita mungkin terlalu terhisab ke dalam berbagai persoalan. Kita mungkin menanyakan hal-hal yang TUHAN sengaja belum/tidak buka kepada kita sebagai sarana melatih iman kita. Soli Deo Gloria.