Keluarga: Ujian Kerohanian Yang Sebenarnya (1 Timotius 5:3-8)

Posted on 14/02/2021 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2021/03/Keluarga-Ujian-Kerohanian-Yang-Sebenarnya-1-Timotius-5-3-8.jpg Keluarga: Ujian Kerohanian Yang Sebenarnya (1 Timotius 5:3-8)

Bagaimana cara terbaik untuk mengetahui apakah seseorang benar-benar saleh? Jawabannya gampang. Tanyakan saja pada anggota keluarganya. Mereka tinggal bersama-sama tanpa bisa bersandiwara.

Keluarga adalah tempat yang sangat pas untuk otentisitas dan spiritualitas. Untuk otentisitas, karena seseorang tidak mungkin melakukan pencitraan. Semua topeng terpaksa ditanggalkan. Untuk spiritualitas, karena kesabaran dan kasih sayang benar-benar diuji setiap hari. Tidak ada tempat untuk melarikan diri.

Harus diakui, tidak banyak orang Kristen yang lolos (apalagi lulus) dari ujian ini. Yang penting adalah kemauan untuk mengoreksi dan memerbaiki diri. Slogan “tidak ada keluarga yang sempurna” bukan dalih untuk tetap hidup seadanya. Kita seharusnya bersyukur dan memaksimalkan keluarga sebagai ruang latihan untuk iman dan kesalehan.

Melalui teks hari ini kita akan belajar bahwa keluarga adalah gereja (individual) sekaligus mitra bagi gereja (komunal/institusional). Anggota gereja yang baik adalah anggota keluarga yang baik. Jika seseorang tidak mampu menjadi saksi di keluarga, bagaimana dia layak disebut rohani di gereja? Kalau dia tidak menjadi teladan yang baik di keluarga, bagaimana dia mampu menjalankan peranan dengan baik di gereja?

Dalam teks ini Paulus secara khusus membicarakan tentang perhatian keluarga dan gereja terhadap para janda. Pelayanan kepada para janda memang menjadi salah satu bidang pelayanan yang penting bagi jemaat mula-mula. Sejak awal gereja mula-mula ada, mereka sudah menjalankan pelayanan diakonia kepada para janda (Kis. 6:1-7). Rasul Yakobus secara eksplisit mengajarkan bahwa ibadah yang murni adalah mengunjungi janda (dan yatim-piatu) dalam kesusahan mereka (Yak. 1:27).

Gereja di Efesus yang dipimpin oleh Timotius tampaknya bermasalah dengan pelayanan untuk janda-janda. Ada beragam isu yang saling berkaitan. Beberapa janda bertindak telah bertidak tidak senonoh. Mereka suka mengumbar hawa nafsu dan menyebarkan gosip (5:11-15). Paulus menyebut mereka “telah tersesat mengikut Iblis” (ayat 15). Pelayanan diakonia kepada para janda tampaknya juga belum maksimal dan tepat sasaran (ayat 9). Ada sebagian janda yang patut ditolong tapi terabaikan, sedangkan yang tidak terbaikan justru tidak patut ditolong. Jemaat sebagai individu juga kurang memedulikan janda-janda dalam keluarga mereka (5:4, 8, 16). Ada kesan mereka dengan mudah menyerahkan persoalan itu kepada gereja.



Tanggung jawab gereja (secara komunal/institusional)

Situasi di atas tidak boleh dibiarkan. Perintah Tuhan dilanggar. Reputasi gereja bisa dipertaruhkan (ayat 14). Timotius tidak boleh takut untuk mengambil tindakan. Gereja memegang tanggung jawab dan peranan yang besar untuk menyelesaikan persoalan ini.

Apa saja yang harus dilakukan oleh gereja kepada janda-janda?

Yang terutama, gereja harus menyediakan tunjangan material kepada mereka (ayat 3). Kata “menghormati” (timaō) di bagian ini bukan hanya perasaan atau sekadar sikap, melainkan tindakan yang konkrit berupa bantuan material. Kata Yunani yang sama dikenakan pada para penatua yang bekerja keras dan berhak dihormati dua kali lipat dalam bentuk pemberian upah (ayat 17-18). Selain itu, kata ini juga digunakan dalam perintah ke-5: “Hormatilah ayahmu dan ibumu” (Kel. 20:12; Septuaginta/LXX). Dalam tradisi Yahudi, kewajiban untuk menghormati orang tua mencakup tugas untuk memelihara mereka sampai mereka meninggal dunia (bdk. Mat. 15:3-6). Gereja mengemban tugas yang sama kepada para anggota yang tua, apalagi yang berstatus janda.

Gereja juga patut menyeleksi siapa yang layak untuk menerima bantuan. Istilah “janda” (chēra) bisa merujuk pada siapa saja yang ditinggalkan oleh suaminya, baik ditinggal mati, diceraikan atau ditinggal pergi. Kasus seperti ini mungkin sangat banyak terjadi. Keadaan masing-masing janda juga pasti berbeda-beda. Sebagian lebih beruntung secara finansial daripada lainnya. Gereja perlu melakukan seleksi. Tanpa seleksi, beban gereja akan menjadi sangat berat (bdk. ayat 16 “sehingga mereka jangan menjadi beban bagi jemaat”). Tanpa seleksi, bantuan gereja juga bisa disalahgunakan. Beberapa janda seharusnya tidak perlu atau tidak boleh menerima bantuan dari gereja (ayat 11-14).

Yang benar-benar layak dibantu adalah “yang benar-benar janda” (ayat 3, 5). Maksudnya, mereka bukan hanya janda secara status perkawinan, tetapi secara kenyataan. Mereka tidak memiliki siapa-siapa maupun apa-apa. Kriterianya adalah “yang ditinggalkan seorang diri, menaruh harapannya kepada Allah dan bertekun dalam permohonan dan doa siang malam” (ayat 5). Usia mereka minimal 60 tahun (ayat 9a), memiliki kesaksian pernikahan yang baik (ayat 9b) dan terkenal baik (ayat 10).

Dengan patokan semacam ini, ada beberapa janda yang tidak layak menerima bantuan. Siapa saja yang tidak masuk dalam kategori pantas dibantu? Janda-janda yang tergolong berusia muda. Jika mereka masih muda, mereka masih bisa bekerja atau menikah kembali dengan orang yang percaya (ayat 14). Kemudaan mereka bisa menjadi kemudahan sekaligus persoalan bagi mereka. Beberapa janda yang masih muda juga cenderung mudah digairahkan oleh berahi, sehingga melakukan tindakan yang tidak memuliakan Tuhan (ayat 11-12). Sebagian yang lain suka bermalas-malasan dan menyebarkan gosip (ayat 13). Mereka tidak sepatutnya diberi bantuan, apalagi sampai menelantar janda-janda lain yang benar-benar membutuhkan tunjangan.

Tanggung jawab gereja juga berkaitan dengan anggota keluarga dari janda-janda tersebut. Gereja perlu mendorong setiap jemaat untuk memainkan peranan mereka di rumah masing-masing (ayat 4, 16). Keluarga menjadi kepanjangan tangan gereja. Keluarga adalah gereja kecil. Persoalan seputar janda adalah persoalan bersama: jemaat (secara individual) maupun gereja (secara komunal/institusional).



Tanggung jawab keluarga terhadap janda

Nasihat untuk melibatkan keluarga dalam pelayanan diakonia kepada janda-janda bukanlah upaya gereja untuk melarikan diri dari tanggung jawab. Paulus justru sedang meletakkan tanggung jawab setiap pihak pada posisinya masing-masing. Ada kemitraan, tetapi juga ada aturan.

Mengapa jemaat perlu dilibatkan untuk mengurusi janda di keluarga mereka masing-masing? Ada empat alasan.

Pertama, tanda kesalehan yang sejati (ayat 4). Setiap orang Kristen dipanggil untuk “pertama-tama belajar berbakti kepada kaum keluarganya sendiri” (LAI:TB). Terjemahan ini tidak tepat dan dapat memberi arti yang keliru. Kata “berbakti” (eusebeō) berarti menunjukkan kesalehan. Objek dari tindakan ini adalah Allah (Kis. 17:23). Jadi, di ayat 4 ini Paulus sedang menasihati jemaat untuk menunjukkan kesalehan mereka kepada Allah di depan anggota keluarga mereka. Bukan untuk dipamerkan atau diperlihatkan, tetapi dilaksanakan. Dengan dilaksanakan maka anggota keluarga akan melihat.

Kebenaran ini sangat penting untuk diberitakan dan ditekankan. Kesalehan itu untuk dituntaskan, bukan dipentaskan. Di keluarga, bukan hanya di gereja. Jangan sampai seorang yang mengaku Kristen berperilaku sebagai malaikat di gereja tetapi sebagai monster di rumah. Kesalehan sejati tidak mengenal lokasi.

Kedua, wujud balas budi (ayat 4). Setiap orang Kristen wajib “membalas budi orang tua dan nenek mereka” (LAI:TB). Ungkapan “membalas budi” (amoibas apodidonai) secara hurufiah berarti “membayar balik sebagai kompensasi kepada orang tua” (RSV “make some return to their parents”; NLT “repay their parents by taking care of them”).

Sebagian orang tua merawat anak-anaknya tanpa pamrih. Tugas merawat anak-anak memang kadangkala tidak mudah, tetapi orang tua melakukannya dengan cinta. Kasih sayang mereka melebihi kekesalan hati maupun keletihan tubuh mereka. Mereka tidak menuntut untuk dibayar atau diberi kompensasi. Walaupun demikian, sudah sewajarnya dan sepatutnya jika anak atau cucu membalas budi orang tua atau kakek-nenek mereka. Jika anak-anak menghitung pengurbanan orang tua, anak-anak tidak akan hitung-hitungan lagi dengan orang tua.

Ketiga, cara menyenangkan Tuhan (ayat 4). Ada banyak cara untuk menyenangkan hati Allah. Merawat orang tua sampai mereka meninggal dunia merupakan tindakan “yang berkenan kepada Allah” (LAI:TB). Kata sifat “berkenan” (apodektos) berkaitan dengan sesuatu yang baik, dapat diterima atau menyenangkan (2:3). Hati Allah disenangkan jika kita memedulikan keluarga kita.

Kebenaran ini sangat diperlukan oleh banyak orang. Memelihara orang tua jelas bukan tugas yang gampang. Dibutuhkan begitu banyak kesabaran dan pengertian. Tidak sedikit orang yang akhirnya memandang tugas ini sebagai beban yang tidak menyesakkan. Orang-orang yang berada pada posisi ini perlu belajar bahwa menyenangkan orang tua memang kadang tidak menyenangkan (kita), tetapi pasti menyenangkan (Tuhan). Memelihara orang tua adalah kesempatan dan kehormatan. Paling tidak, kesempatan untuk memberi penghormatan kepada Tuhan.

Keempat, ujian iman yang sejati (ayat 8). Orang Kristen yang tidak menghormati orang tua disebut sebagai “murtad” dan “lebih buruk daripada orang yang tidak beriman” (LAI:TB). Dua ungkapan yang digunakan ini benar-benar tegas dan keras. Paulus memandang kesalahan ini secara sangat serius.

Kata “murtad” (tēn pistin ērnētai) secara hurufiah berarti “menyangkali iman itu” (mayoritas versi Inggris). Makna yang pasti dari ungkapan ini sukar untuk dipastikan. Jika orang yang dimaksud sudah percaya kepada Yesus Kristus, murtad di sini mungkin lebih ke arah tersesat (sementara) daripada terhilang (seterusnya). Kita percaya bahwa yang sudah ditemukan oleh Allah tidak mungkin terhilang kembali. Jika yang dimaksud adalah orang yang belum sungguh-sungguh percaya, iman yang disangkali di sini bukan merujuk pada iman orang itu, tetapi ajaran Kristen (iman itu). Di suratnya yang lain kepada Timotius, Paulus menyinggung tentang orang-orang tertentu yang secara lahiriah menjalankan ibadah, tetapi pada hakikatnya memungkiri kekuatannya (2Tim. 3:5). Manapun yang benar di antara dua opsi ini, intinya tetap sama: ada orang yang hidupnya tidak sesuai dengan Injil Yesus Kristus. Injil yang menyapa mereka dalam ketidakberdayaan dan ketidakadaan harapan mereka ternyata tidak dipancarkan melalui tindakan nyata kepada mereka yang tidak berdaya dan tidak ada harapan.

Jika ini yang terjadi, orang-orang itu layak disebut lebih buruk daripada orang yang tidak percaya. Penelitian sumber-sumber tertulis kuno di luar Alkitab menunjukkan bahwa orang-orang non-Kristen saja sangat menekankan pentingnya penghormatan kepada orang tua. Ada hukum Yunani kuno yang mencabut kewarganegaraan siapa saja yang tidak mau memelihara orang tua. Orang yang tidak memedulikan keluarga dilarang untuk menjadi seorang orator. Bagaimana mereka bisa menjadi pembicara yang ulung di depan publik tetapi pada saat yang bersamaan menjadi orang yang buruk dalam keluarganya? Mereka yang tidak mau merawat orang tua juga disebut sebagai para pembenci dewa-dewa dan manusia. Jadi, menghormati orang tua merupakan bagian dari hukum moral universal yang ditaruh oleh Allah di dalam hati setiap orang. Kegagalan orang Kristen dalam memenuhi tuntutan moral ini pasti berdampak besar dan buruk. Tidak menghidupi Injil lebih buruk daripada tidak memercayainya. Jika dunia lebih baik daripada gereja, bagaimana dunia akan tertarik kepada kita? Sebuah pertanyaan yang tajam dan patut direnungkan. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community