Berbagai survei menunjukkan bahwa manusia cenderung semakin spiritual. Konsep tentang Allah tidak mati seperti yang diprediksi oleh Friedrick Nietzsche dan beberapa pemikir ateis lainnya. Sayangnya, spiritualitas ini seringkali dilepaskan dari pencarian kebenaran yang serius. Yang dipentingkan adalah pemuasan batin semata-mata. Gerakan SBNR (Spiritual But Not Religious) menjadi tren di banyak kalangan.
Gejala yang mirip juga terjadi dalam kekristenan. Sebagian orang Kristen cenderung hanya mementingkan aktivitas-aktivitas religius tertentu tanpa mempertimbangkan konsep teologis di baliknya. Indikator kerohanian hanya didasarkan pada persentuhan dengan hal-hal dalam dunia roh (mimpi, nubuat, penglihatan, dsb) atau semangat dalam melakukan disiplin rohani tertentu (doa, puasa, meditasi, dsb).
Teks hari ini mengingatkan kita untuk menguji performa religius dari kacamata firman Tuhan. Walaupun teologi yang benar tidak menjamin spiritualitas yang benar, tetapi tidak ada spiritualitas yang sehat tanpa teologi yang tepat. Tidak semua yang tampak “spektakuler” dan “religius” ternyata berkenan di hadapan Allah. Sebagaimana barang palsu merajalela di mana-mana, demikian pula spiritualitas palsu juga merembes ke dalam gereja-gereja.
Nasihat untuk tidak diperdaya oleh ritual palsu (ayat 18-19)
Ajaran sesat merupakan bahaya laten yang umum di gereja mula-mula. Banyak jemaat lokal menghadapi persoalan ini (Korintus, Galatia, Filipi, Tesalonika, dsb). Jemaat Kolose tidak dikecualikan. Ada sebuah ajaran sesat yang sedang mengintai mereka.
Dalam teks Yunani ayat 18-19 merupakan satu kalimat. Induk kalimat ada pada isi nasihat (2:18a), sedangkan bagian selanjutnya merupakan anak kalimat (partisip) yang menjelaskan ajaran sesat (2:18b-19).
Isi nasihat Paulus adalah ini: “Janganlah kamu biarkan kemenanganmu digagalkan” (LAI:TB dan mayoritas versi Inggris). Terjemahan ini diambil karena kata Yunani “katabrabeutō” digunakan dalam konteks menggagalkan kemenangan seseorang dalam sebuah pertandingan olah raga. Walaupun terjemahan ini cukup populer, kita sebaiknya memikirkan ulang. Kata ini hampir tidak pernah ditemukan pada zaman Paulus. Sebaliknya, kata dasar “brabeutō” muncul berkali-kali. Di 3:15 mengandung arti “memerintah.” Konteks Kolose 2 juga lebih mengarah pada arti “memerintah” atau “menghukum.” Dalam nasihat yang sejajar, Paulus berkata: “Jangan ada yang menawan kamu” (2:8) dan “Janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu” (2:16). Berdasarkan data ini, nasihat di 2:18 sebaiknya diterjemahkan: “Janganlah kamu biarkan orang menghukum/menghakimi kalian” (NLT).
Ajaran sesat yang dimaksud banyak diperdebatkan oleh para teolog. Tafsiran yang paling masuk akal adalah sejenis asketisisme campuran Yudaisme & agama misteri Romawi kuno yang digerakkan oleh ketakutan terhadap kekuatan alam yang dianggap ilahi. Unsur Yudaisme terlihat dari pemunculan isu seputar makanan halal-haram, bulan baru, dan Sabat (2:16). Pengaruh agama misteri terlihat dari kesukaan pengajar sesat pada penglihatan-penglihatan dan pengetahuan mistis yang spesial (2:18). Ibadah kepada para malaikat juga sesuai dengan kebiasaan pengikut agama-agama misteri yang gemar untuk berkomunikasi secara gaib dengan makhluk-makhluk spiritual.
Terlepas dari jenis aliran sesat di sini, apa yang mereka lakukan merupakan penolakan terhadap karya penebusan Kristus yang sempurna. Paulus menyebut mereka tidak berpegang teguh kepada Kristus sebagai Kepala yang dari-Nya semua bagian tubuh mendapatkan pertumbuhannya dari Allah (2:19 ESV “and not holding fast to the Head, from whom the whole body, nourished and knit together through its joints and ligaments, grows with a growth that is from God”). Dari kalimat ini Paulus ingin mengajarkan keutamaan Kristus dan kesatuan antar jemaat dalam pertumbuhan spiritual. Allah memberi pertumbuhan, tetapi hanya melalui Kristus sebagai Kepala. Spiritualitas sejati bukan hanya tentang “Allah yang umum & abstrak,” melainkan Allah yang bekerja di dalam Kristus. Di samping itu, pertumbuhan spiritual yang bersifat personal merupakan proyek komunal. Tidak ada elitisme atau eksklusivisme. Tidak ada orang yang berhak mengklaim bahwa dia memiliki pengalaman rohani tertentu dengan Allah yang tidak dimiliki oleh orang percaya lainnya.
Alasan untuk tidak membiarkan diri dihukum/dihakimi (ayat 20-23)
Model spiritualitas yang diusung oleh ajaran sesat di sini terlihat sangat spektakuler. Pengikutnya suka memamerkan pengalaman-pengalaman spektakuler tertentu. Mereka menyukai hal-hal di dunia roh. Tidak heran mereka menganggap kerohanian jemaat Kolose kurang memadai. Di tengah situasi berbahaya seperti ini, Paulus memberikan tiga alasan bagi jemaat Kolose.
Pertama, Kristus telah membebaskan kita dari roh-roh dunia (ayat 20a). Ungkapan “roh-roh dunia” (to stoicheion tou kosmou) di luar Alkitab seringkali merujuk pada elemen-elemen utama alam semesta (benda-benda tertentu yang dipandang penting atau luar biasa). Dalam tulisan Paulus ungkapan ini disamakan dengan roh-roh jahat di balik penyembahan berhala (Gal. 4:8-9). Menggabungkan dua hal ini kita bisa menafsirkan to stoicheion tou kosmou sebagai roh-roh (makhluk spiritual) yang berada di balik benda-benda alam tertentu yang ditakuti. Jika ini benar, ibadah kepada malaikat mungkin dimaksudkan untuk menghindari kemarahan mereka.
Pandangan seperti ini jelas tidak pantas untuk dipercayai oleh orang-orang percaya. Kristus adalah Pencipta segala sesuatu, termasuk segala kuasa dalam dunia roh (1:16). Anak-anak Allah dipenuhi di dalam Dia yang menjadi kepala dari semua kekuasaan (2:9-10). Fakta ini membawa dua konsekuensi: alam semesta perlu dipelihara tetapi tidak patut diperlakukan sebagai dewa.
Kedua, semua ajaran itu buatan manusia dan bersifat sementara (ayat 21-22). Di bagian ini Paulus lebih menyoroti unsur-unsur Yahudi dalam ajaran sesat di Kolose. Ada aturan tentang makanan halal-haram dan berbagai larangan lainnya. Semua ini hanya mengenai barang yang bisa binasa oleh pemakaian. Tidak bernilai kekal. Di bagian sebelumnya Paulus sudah menjelaskan: “semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus” (2:17). Kristus adalah penggenapan dari semuanya.
Poin yang ingin disampaikan adalah ini: Di dalam Kristus kita mendapatkan kegenapan esensial dari segala kebaikan. Semua aturan mengarah pada Kristus untuk digenapi. Sebagai contoh, esensi Sabat adalah beristirahat untuk menikmati Allah dan karya-Nya. Sabat sejati disediakan oleh Kristus bagi mereka yang letih-lesu dan berbeban berat (Mat. 11:28 “kelegaan” = Sabat). Sabat yang ultimat nanti adalah sorga kekal di mana kita beristirahat dari segala jerih-lelah dan menikmati persekutuan yang indah dengan Allah Tritunggal.
Ketiga, semua ajaran itu hanya memuaskan hawa nafsu (ayat 23). Banyak agama dan aliran keyakinan terjebak pada legalisme. Mereka menyukai deretan aturan: larangan maupun perintah. Tujuannya sekilas memang baik, yaitu menyenangkan hati Allah. Persoalannya, kebaikan manusia tidak mungkin dapat memenuhi standar kekudusan Allah. Lagipula, orang-orang yang terjebak pada legalisme cenderung menjadi sombong pada saat merasa berhasil memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut. Ada kebanggaan tersendiri atas pencapaian itu.
Hal yang sama terjadi pada gaya hidup asketisisme mistis yang dipraktekkan oleh orang-orang sesat di Kolose. Dengan menjauhi segala hal di dunia (yang pada dirinya sendiri belum tentu duniawi), mereka menunjukkan diri lebih hebat daripada yang lain. Dengan lebih sering berada di dunia roh, mereka ingin dilihat sebagai orang-orang super saleh. Mereka hanya ingin memuaskan keinginan duniawi.
Ini jelas sangat ironis. Di balik usaha untuk menjauhi dunia mereka justru menjadi duniawi. Ritual-ritual mistis-spiritis yang ditunjukkan justru untuk memuaskan hasrat duniawi tersebut. Gejala yang sama terjadi di sebagian gereja. Mereka yang paling getol berbicara tentang pengalaman-pengalaman spektakuler dalam dunia roh ternyata memiliki gaya hidup yang sangat duniawi (kemewahan, pencitraan, dsb).
Itulah yang akan terjadi apabila Kristus tidak diletakkan di pusat aktivitas spiritual. Ketika penebusan Kristus dianggap kurang sempurna, manusia pasti akan menambahkan sesuatu ke dalamnya. Manusia ingin memperoleh jasa dalam keselamatan mereka. Namun, yang terjadi justru kebalikannya. Tanpa persandaran total pada karya penebusan semua aktivitas rohani hanyalah pemuasan duniawi.
Lalu bagaimana kita menyikapi disiplin rohani (berdoa, membaca kitab suci, melayani, dsb)? Apakah semua ini merupakan legalisme yang bertabrakan dengan Injil? Kita perlu memahami bahwa disiplin rohani bukan ukuran maupun tujuan, melainkan sarana yang tidak terelakkan. Maksudnya, jika seseorang menganggap perkenanan Allah atas hidupnya ditentukan oleh disiplin rohaninya, orang itu tidak bersandar total pada karya penebusan Kristus. Tidak ada kebaikan kita yang bisa menambah kasih Allah kepada kita dan tidak ada dosa kita yang bisa mengurangi kasih-Nya kepada kita. Walaupun demikian, kita harus melakukan disiplin rohani dengan rajin sebagai ungkapan syukur kita atas keselamatan di dalam Kristus. Melalui disiplin rohani kita mengekspresikan kerinduan kita untuk bersekutu dan mengenal kehendak Allah. Melalui disiplin rohani kita juga persandaran kita pada kekuatan dan anugerah Allah untuk memampukan kita menjalani keselamatan yang Dia berikan. Soli Deo Gloria.
Photo by Михаил Секацкий on Unsplash