Setiap orang pasti memiliki ketakutan tertentu. Mereka yang cenderung penakut akan menghindari berbagai bahaya dan resiko. Mereka yang menderita fobia memiliki ketakutan hal tertentu yang spesifik dan (kadang) sukar untuk dijelaskan. Bahkan para pemberanipun pernah dihinggapi ketakutan. Tidak jarang sikap berani yang ditunjukkan justru merupakan strategi untuk menutupi atau mengalahkan ketakutan tersebut. Menariknya, tidak semua yang ditakutkan sebenarnya masuk akal atau menjadi kenyataan. Banyak orang dikuasai oleh ketakutan yang disebabkan oleh pikiran mereka sendiri.
Walaupun demikian, ada satu hal yang seharusnya ditakuti oleh semua orang, yaitu kematian. Alkitab menampilkan kematian dalam dua sisi yang berkaitan: kematian rohani (keterpisahan manusia dengan Allah) dan jasmani (keterpisahan jiwa/roh dari tubuh). Kematian merupakan sebuah kekuatan yang tidak terhindarkan dan tidak terkalahkan. Tidak ada manusia yang mampu menyediakan jalan keluarnya.
Tidak ada manusia yang bisa menyelesaikannya bukan berarti tidak ada penyelesaiannya. Allah menjadi manusia untuk melakukan apa yang tidak bisa diselesaikan oleh manusia: keluar dari kematian rohani dan jasmani yang sejak dahulu berkuasa. Ada harapan. Ada kepastian. Hanya di dalam Kristus yang adalah Juruselamat dan Tuhan.
Poin inilah yang akan menjadi sorotan dalam khotbah hari ini. Apa yang selama ini tidak terkalahkan (yaitu kematian) ternyata bisa dikalahkan, bahkan dijadikan sindiran. Apa yang selama ini berkuasa telah kehilangan tahtanya.
Problematika kebangkitan tubuh dan solusinya (ayat 54a)
Bagi sebagian besar orang Kristen di sepanjang zaman kebangkitan tubuh sudah menjadi topik yang terdengar begitu biasa. Di gereja-gereja tertentu yang mengikrarkan Pengakuan Iman Rasuli, kebangkitan tubuh selalu diucapkan sebagai salah satu butirnya. Banyak orang Kristen dengan mudah mengamini kebenarannya.
Keadaan ini sangat berbeda dengan yang dialami oleh sebagian jemaat di Korintus. Mereka bersentuhan dengan nilai kultural yang sangat negatif terhadap hal-hal yang jasmani. Yang material dianggap jahat atau tidak bernilai, sedangkan yang non-material dipandang baik atau sempurna. Tubuh dinilai negatif, sedangkan jiwa/roh dinilai positif. Dengan pemikiran seperti ini, tidak heran sebagian jemaat Korintus mengalami kesulitan untuk menerima doktrin kebangkitan tubuh. Mereka telah terpengaruh oleh pergaulan yang keliru (15:32-33). Secara sederhana kita bisa menamai ajaran ini dualisme Yunani (sejenis pemikiran Platonis).
Dualisme antara jiwa/roh dan tubuh ini sudah lama menjadi problem teologis – filosofis dalam budaya Yunani-Romawi. Berbagai solusi pernah ditawarkan sebagai penjelasan. Ada yang meyakini bahwa kematian jasmani adalah akhir dari segala-galanya. Tubuh dan jiwa/roh manusia akan hilang lenyap. Ada yang mempercayai kefanaan tubuh, tetapi kekekalan jiwa. Tubuh akan musnah setelah kematian, tetapi roh akan terus ada mengembara di dunia rohani. Ada juga yang mengadopsi konsep yang mirip reinkarnasi: tubuh akan binasa, tetapi jiwa akan mendapatkan tubuh yang lain di kehidupan berikutnya di muka bumi.
Paulus juga menyadari persoalan ini. Apa yang dapat binasa (sementara) tidak mungkin bisa berada dalam dimensi yang tidak dapat binasa (kekal). Apa yang jasmaniah (material) tidak mungkin berada dalam dimensi yang rohaniah (non-material). Jika demikian, apakah benar-benar tidak ada jalan keluar?
Paulus menawarkan sebuah solusi yang sangat masuk akal, yaitu kebangkitan tubuh. Tubuh dan jiwa/roh sama-sama kekal. Tubuh jasmani memang akan hancur dalam kematian, tetapi kelak diubahkan menjadi tubuh kebangkitan dan bergabung kembali dengan jiwa/roh. Ada kesamaan dan perbedaan di antara dua jenis tubuh ini, yang digambarkan oleh Paulus seperti kaitan antara biji dan tanaman yang dihasilkannya (15:36-38). Kita bisa mengenali tanaman dari bijinya dan sebaliknya. Demikian pula biji dan tanaman tetap memiliki perbedaan-perbedaan yang signifikan. Konsep ini menolak dualisme Yunani yang menempatkan tubuh dan jiwa/roh sebagai dua keberadaan yang tidak mungkin disandingkan. Konsep ini merupakan kritikan terhadap konsep reinkarnasi yang seakan-akan kurang menghargai tubuh sebagai identitas seseorang pada kehidupan sebelumnya.
Alasan di balik konsep tentang kebangkitan tubuh (ayat 54b-56)
Apa yang dipikirkan oleh Paulus bukan berasal dari pemikirannya sendiri. Sejak awal pasal 15 Paulus sudah menegaskan kebangkitan Kristus sebagai dasar dan model kebangkitan tubuh (15:3-11, 20-23). Sama seperti kita telah memakai rupa yang alamiah dari Adam, demikian pula kita akan memakai rupa yang rohaniah dari Kristus (15:44-49). Sama seperti Kristus telah dibangkitkan dalam tubuh kebangkitan, demikian pula kita akan menerima kebangkitan yang sama. Dalam kebangkitan di akhir zaman tubuh alamiah sekarang tidak ditiadakan, tetapi diubahkan. Bukan pemusnahan, tetapi pemulihan dan pemuliaan.
Dalam teks hari ini Paulus menambahkan satu alasan lagi, yaitu kitab suci (15:54b-56). Strategi apologetis dari wibawa kitab suci seperti ini sebelumnya sudah dilakukan ketika Paulus menyinggung tentang kematian dan kebangkitan Kristus yang terjadi “sesuai dengan kitab suci” (15:3-4). Di ayat 54b-55 Paulus mengulangi strategi yang sama. Kali ini dia menggabungkan dua kutipan kitab suci sekaligus, yaitu Yesaya 25:8 “Ia akan meniadakan maut untuk seterusnya; dan Tuhan ALLAH akan menghapuskan air mata dari pada segala muka; dan aib umat-Nya akan dijauhkan-Nya dari seluruh bumi, sebab TUHAN telah mengatakannya” dan Hosea 13:14 “Akan Kubebaskankah mereka dari kuasa dunia orang mati, akan Kutebuskah mereka dari pada maut? Di manakah penyakit samparmu, hai maut, di manakah tenaga pembinasamu, hai dunia orang mati? Mata-Ku tertutup bagi belas kasihan.” Dari kutipan yang ada terlihat jelas bahwa Paulus tidak sedang mengutip kata per kata. Dia hanya mengambil inti dari masing-masing teks ini.
Paulus bukan hanya merangkum dan menggabungkan inti dari dua kutipan di atas. Dia juga menafsirkan teks-teks tersebut dari perspektif karya penebusan Kristus. Umat Israel seharusnya pantas untuk dibinasakan (Hos. 13:14). Kematian menjadi alat hukuman di tangan TUHAN. Puji Tuhan! Kemarahan Allah diredakan oleh belas kasihan-Nya sendiri. Keadilan-Nya tidak ditiadakan, hanya “dikalahkan” oleh kebaikan-Nya. Dia akan meniadakan kematian yang seharusnya ditimpakan pada umat-Nya.
Allah menyediakan kelepasan ini dengan cara mematahkan sengat maut - yaitu dosa - dan mengalahkan kuasa dosa - yaitu Hukum Taurat (15:56). Manusia takluk kepada dosa. Natur yang berdosa dan godaan yang hebat di dunia membuat manusia menjadi tawanan dosa. Kita tidak bisa tidak berbuat dosa.
Hukum Taurat diberikan untuk semakin menunjukkan keberdosaan manusia. Kita menyadari betapa banyaknya perintah Tuhan yang kita tidak lakukan dan larangan-Nya yang kita justru lakukan. Bukan hanya itu, Hukum Taurat membuat kita tidak dapat berdalih. Kesalahan kita tidak lagi dilakukan karena ketidaktahuan tetapi karena kesengajaan. Persoalan manusia yang sebenarnya sedang diungkapkan: bukan tidak tahu, tetapi tidak mau tahu. Bukan tidak memahami kebenaran, melainkan menindas kebenaran.
Dua kekuatan ini sama-sama diselesaikan oleh Kristus. Kristus mati untuk menebus kita dari semua dosa. Upah dosa – yaitu maut – ditanggung oleh Kristus. Kuasa dosa – yaitu Hukum Taurat – telah digenapi secara sempurna oleh Kristus bagi kita (Rm. 8:1-4). Lebih jauh, kebangkitan Kristus telah mengalahkan upah dosa, yaitu maut. Jadi, upah dosa bukan hanya ditanggung, tetapi sekaligus dikalahkan oleh Kristus melalui kebangkitan-Nya.
Respons terhadap kemenangan (ayat 57)
Kebangkitan tubuh bagi Paulus bukan sebuah spekulasi filosofis yang kering dan abstrak. Bukan pula sekadar sebuah ajaran yang rasional. Ayat 57 sekaligus mengajarkan dua respons yang benar terhadap sebuah kebenaran. Teologi bukan hanya makanan bagi akal budi, tetapi juga asupan bagi emosi.
Pertama, kita harus memuji Allah (ayat 57a). Salah satu kebiasaan Paulus dalam menulis surat adalah menyisipkan sebuah pujian pada saat dia mengungkapkan sebuah ajaran yang besar (misalnya Rm. 11:33-36; 1Tim. 1:17). Dari teologi menuju pada doksologi. Mereka yang benar-benar menyukai teologi (yang tepat) pasti akan menjadi pemuji Allah (yang bersemangat). Perasaannya selalu dihangatkan oleh pemikiran dan keyakinannya.
Yang menarik untuk diperhatikan di sini adalah alasan di balik pujian Paulus. Dia tidak berfokus pada kebahagiaannya karena dibebaskan dari maut. Dia tidak menyoroti kemenangan yang dia terima. Dia memilih untuk menujukan pujian kepada Allah yang telah memberikan kemenangan. Inilah pujian yang berkenan di hadapan Allah.
Kedua, kita harus meyakini kemenangan di dalam Kristus (ayat 57b). Kata “telah memberikan” (LAI:TB) dalam teks Yunani berbentuk partisip present (didonti). Pemilihan kata ini menyiratkan kenyataan dan kepastian. Hampir semua versi Inggris memilih terjemahan “gives.” Penerjemah LAI:TB mencoba mengungkapkan makna tersebut melalui tambahan “telah memberikan.” Kita tidak perlu menunggu nanti di akhir zaman. Kemenangan sudah bisa dirasakan sejak sekarang!
Kenyataan dan kepastian kemenangan di dalam Kristus perlu untuk ditekankan, karena kita seringkali berperilaku seperti pecundang. Mudah didatangi oleh keraguan dan kekuatiran. Sering dikuasai oleh keputusasaan. Ingat, Kristus sudah memenangkan peperangan. Tugas kita hanyalah melanjutkan beberapa pertempuran. Jika ketakutan terbesar sudah dikalahkan, pantaskah kita membiarkan diri dalam kecemasan dan menenggelamkan diri dalam kehancuran? Sama sekali tidak! Kiranya kuasa kebangkitan Kristus menyegarkan hati kita sekali lagi. Soli Deo Gloria.