Bagi sebagian orang istilah “ibadah” cenderung dipahami sebagai relasi vertikal antara manusia dengan Allah. Ibadah hanya dikaitkan dengan berbagai ritual dalam sebuah kepercayaan religius. Hal-hal religius dibatasi pada doa, puasa, liturgi, korban, dan sejenisnya. Kesalehan adalah kedekatan dengan Tuhan. Semakin seseorang menarik diri dari pergaulan dengan sesama dan berfokus pada Tuhan saja, semakin tampak rohani orang tersebut. Dengan demikian kesalehan telah diceraikan dari seluruh aspek kehidupan.
Apakah ibadah mencakup relasi dengan Tuhan beserta berbagai ritual religius di dalamnya? Tentu saja! Apakah kedekatan seseorang dengan Tuhan merupakan salah satu indikator kerohanian? Tentu saja! Persoalannya, apakah ibadah hanya berkutat pada hal-hal seputar itu saja? Jawabannya tegas: tidak! Sama sekali tidak.
Alkitab secara konsisten mengajarkan bahwa ibadah yang benar melampaui batasan ruangan dan ritual. Ibadah sejati adalah pemberian diri sepenuhnya pada Allah (Rm. 12:1). Ketaatan dipandang lebih berharga daripada korban persembahan (1Sam. 15:22; Ams. 21:3; Hos. 6:6). Relasi vertikal dengan Allah seharusnya berdampak pada relasi secara horizontal, karena kasih kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari kasih kepada sesama (Mat. 22:36-40).
Teks kita hari ini juga mengajarkan konsep yang sama. Istilah “ibadah” (thrēskeia) tidak identik dengan kebaktian. Kebaktian komunal hanyalah salah satu bagian integral dalam ibadah (bdk. Kol. 2:18 “ibadah kepada para malaikat”). Kata Yunani thrēskeia merujuk pada keseluruhan aspek dari suatu kepercayaan, misalnya agama Yahudi (Kis. 26:5). Jadi, apa saja yang diajarkan atau dipraktekkan dalam sebuah kepercayaan termasuk ke dalam thrēskeia. Ini sesuai dengan konsep yang diajarkan oleh Yakobus di 1:27. Makna “ibadah” memang jauh lebih luas daripada yang biasanya dipikirkan oleh banyak orang.
Apa yang dituliskan di ayat 27 tentu saja bukan sebuah definisi lengkap tentang ibadah. Masih banyak aspek-aspek penting lain yang tidak disinggung di teks ini. Yakobus hanya menyinggung aspek tertentu yang memang relevan dengan situasi penerima surat. Ayat 27 lebih tepat dipahami sebagai salah satu tolok ukur bagi sebuah ibadah.
Tambahan keterangan “yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah” menyiratkan bahwa tidak semua yang dilakukan dalam sebuah ibadah berkenan kepada Allah. Mungkin ada yang dari luar terlihat hebat, tetapi di dalam penuh segala yang jahat (Mat. 23:26). Dari luar tampak sejati, tetapi sesungguhnya tidak murni jika dilihat dari mata Allah yang suci. Nah, apa saja tolok ukur ibadah yang murni dan tak bercacat di mata Allah?
Memberikan bantuan kepada kaum marjinal (ayat 27a)
Apa yang kita lakukan kepada sesama sama pentingnya dengan apa yang kita lakukan kepada Allah. Mengasihi Allah berarti mengasihi sesama sebagai ciptaan Allah. Beribadah kepada Allah tetapi tanpa kepedulian kepada sesama merupakan sebuah kontradiksi yang transparan. Allah dan ciptaan-Nya tidak terpisahkan.
Yakobus sebelumnya juga sudah mengajarkan poin ini ketika dia membahas penggunaan lidah (pasal 3). Bagaimana mungkin seseorang memuji Allah yang mulia tetapi pada saat yang sama menghina manusia yang diciptakan menurut gambar-Nya (3:9-10)? Apakah sebuah mata air bisa mengalirkan air tawar dan pahit secara bersamaan (3:11)? Apakah pohon A bisa menghasilkan buah B (3:12)? Tentu saja tidak, bukan? Relasi vertikal (dengan Allah) seyogyanya berdampak pada relasi horizontal (dengan sesama). Itulah sebabnya Yakobus dengan tegas mengatakan bahwa kegagalan untuk mengekang lidah merupakan salah satu tanda bahwa seseorang sedang menipu diri sendiri, alias menganggap diri beribadah padahal ibadahnya sia-sia belaka (1:26).
Yang menarik, menghindari apa yang jahat bagi sesama (1:26) tidaklah cukup. Ada larangan (yang tidak boleh dilakukan), ada pula perintah (yang harus dilakukan). Tidak melukai sesama dengan perkataan adalah satu hal (1:26). Memberikan pertolongan kepada yang membutuhkan (1:27a) adalah hal yang berbeda. Keduanya sama pentingnya.
Sebutan “yatim piatu dan janda-janda” (lit. “anak-anak yatim dan janda-janda”) hanyalah perwakilan dari kelompok marjinal. Yakobus sebenarnya memedulikan semua orang miskin (bdk. 2:1-5, 14-17). Dia memperhatikan para buruh yang dieksploitasi dan ditekan oleh tuan mereka yang kaya (5:4-9). Hanya saja, sesuai dengan konteks khusus penerima surat, anak yatim dan janda-janda berada dalam posisi yang lebih rentan terhadap pelecehan dan tekanan. Dalam budaya kuno yang sangat patriakhal, para wanita (apalagi janda) sukar mendapatkan pekerjaan. Bantuan sosial bagi para janda masih terbilang sangat langka di budaya kuno. Kesulitan yang sama dialami oleh anak-anak yatim. Perlindungan dan warisan biasanya disediakan oleh ayah. Tidak memiliki ayah berarti tidak memiliki sandaran hidup dan rasa aman.
Bukan kebetulan apabila Allah secara khusus disebut sebagai “Bapa” di 1:27a. Para janda biasanya akan kembali ke rumah orang tua dan menjadi tanggungan ayahnya. Allah menjadi Bapa bagi para janda. Anak-anak yatim yang tanpa perlindungan dan pemeliharaan ayah ternyata masih memiliki Ayah sorgawi. Allah adalah “Bapa bagi para yatim dan Pelindung bagi para janda” (Mzm. 68:6). Dia membela hak para yatim dan janda (Ul. 10:18). Dia memberikan peringatan yang keras bagi siapa saja yang bertindak sewenang-wenang terhadap yatim dan janda (Kel. 22:22, 24; Ul. 24:17).
Sangat tidak masuk akal apabila seseorang mengaku beribadah kepada Allah tetapi mengabaikan orang-orang yang dipedulikan oleh Allah. Sangat tidak konsisten apabila kita menyebut Allah sebagai Bapa tetapi menolak untuk mengakui Dia sebagai Bapa bagi para janda dan yatim. Jika slogan “kita menjadi sama dengan apa yang kita sembah” adalah benar, bagaimana mungkin kita tidak mengasihi apa yang Allah kasihi? Jika kita yang dulu tanpa harapan dan ketenangan diangkat menjadi anak-anak Allah berdasarkan kasih karunia sehingga boleh menyebut Dia sebagai Bapa, bagaimana mungkin hati kita tidak tergerak oleh keadaan mereka yang tidak memiliki bapa?
Kasih di sini tentu saja bukan sebatas simpati. Kasih adalah tindakan, bukan hanya perasaan. Kepedulian kepada sesama yang tidak diwujudkan melalui tindakan nyata hanyalah perasaan kasihan yang tidak membawa manfaat apa-apa. Kasih kepada para yatim dan janda ditunjukkan dengan cara mengunjungi mereka dalam kesusahan mereka. Kata “mengunjungi” (episkeptomai) menyiratkan pemberian bantuan, bukan sekadar datang untuk berjumpa dengan seseorang (Mat. 25:36, 43; Luk. 1:68, 78; 7:15-16; Kis. 7:23-24; 15:14). Kata “kesusahan” (thlipsis) bisa merujuk pada jenis penderitaan apapun (Rm. 5:3; 8:35), baik yang berhubungan dengan penganiayaan (misalnya Mat. 13:21; 24:9), kelaparan (misalnya Kis. 7:11), hukuman Allah (misalnya Rm. 2:9), atau beban dalam pelayanan (misalnya 2Kor. 1:8). Dalam konteks surat Yakobus, thlipsis di sini lebih berkaitan dengan kemiskinan.
Menjaga diri dari kecemaran dunia (ayat 27b)
Tidak semua yang ada di dunia adalah duniawi. Masih banyak kebaikan ilahi dalam dunia ini yang patut disyukuri dan dinikmati. Hanya saja, dunia tidak lagi seperti keadaannya yang semula. Dosa telah mengubah wajah dunia.
Apa yang dimaksud dengan “dunia” (kosmos) di ayat 27b? Pemunculan kata kosmos di surat ini tampaknya selalu mengandung makna negatif. Lidah merupakan sebuah dunia kejahatan kecil yang serius (3:6). Di 2:5 kata “dunia” merujuk pada cara pandang yang duniawi ( “dianggap miskin oleh dunia ini”). Dunia juga bisa berarti hawa nafsu duniawi (4:3-4 “…untuk memuaskan hawa nafsumu…persahabatan dengan dunia”). Pendeknya, segala sesuatu di dunia yang bertabrakan dengan kehendak Bapa (lihat 1Yoh. 2:16-17 “Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia. Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya”).
Pemunculan nasihat untuk menjaga diri dari kecemaran dunia (ayat 27b) tepat setelah perintah untuk membantu kaum marjinal (ayat 27a) merupakan hal yang menarik untuk dipikirkan. Apakah dua poin tersebut berdiri sendiri-sendiri atau memiliki keterkaitan yang erat? Penyelidikan teks yang lebih mendalam tampaknya berpihak pada opsi terakhir. Ada dua penjelasan untuk hal ini.
Pertama, ayat 27b sangat mungkin merupakan sebuah upaya antisipasi terhadap potensi kesalahpahaman yang berkaitan dengan ayat 27a. Bagi orang-orang religius tertentu yang menganggap perbuatan jahat bisa ditutupi atau ditebus dengan perbuatan baik, pemberian sedekah seperti di ayat 27a bisa dipandang sebagai solusi mudah bagi dosa. Mereka mungkin saja berpikiran bahwa selama perbuatan baik terus-menerus dilakukan sehingga jumlahnya sangat banyak, perbuatan jahat tidak akan mengancam keselamatan. Untuk mengantisipasi kesalahpahaman ini, Yakobus mengingatkan bahwa sedekah (ayat 27a) tetap harus disertai dengan kesucian hidup (ayat 27b). Perbuatan baik bukanlah pembenaran atau jalan keluar bagi perbuatan jahat. Kebaikan dan kekudusan tidak boleh dipisahkan.
Mereka yang beranggapan bahwa perbuatan baik bisa menyelamatkan manusia dari hukuman Allah perlu mengingat betapa seriusnya dosa dalam kehidupan manusia. Yakobus mengakui: “kita semua bersalah dalam banyak hal” (3:2). Jika kita tahu apa yang baik tetapi tidak melakukannya, kita sudah berbuat dosa (4:17). Bahkan seandainya kita mampu menaati 99% perintah Allah tetapi melanggar yang 1%, kita bersalah terhadap seluruhnya (2:10). Dengan konsep seperti ini, bagaimana mungkin perbuatan baik dapat menjadi solusi bagi dosa-dosa kita?
Kedua, keterkaitan antara ayat 27a dan 27b berhubungan dengan makna “dunia” (kosmos). Sesuai dengan makna “dunia” (kosmos) di surat ini, mereka yang dicemari oleh dunia pasti sangat sulit memedulikan kaum marjinal. Cara pandang dunia akan menghalangi mereka untuk menghargai kaum marjinal. Anak-anak yatim dan para janda dipandang tidak layak untuk diperhatikan (2:1-5). Hawa nafsu duniawi juga membuat orang berfokus pada diri mereka sendiri. Semua yang dilakukan hanyalah untuk mengejar berbagai kesenangan (4:1-4). Dengan orientasi hidup yang egosentris seperti ini mereka sukar untuk berkurban bagi kaum marjinal.
Bagaimana kita dapat menjaga diri dari kecemaran dunia? Satu-satunya cara adalah dengan mengingat kebaikan Allah bagi kita. Kepada beberapa penerima surat yang memandang muka kepada orang kaya dan menghina orang miskin (2:1-4), Yakobus mengajak mereka berpikir: “Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia?” (2:5). Kepada mereka yang menjalin persahabatan dengan dunia (4:4), Yakobus mengingatkan betapa Allah sangat menginginkan mereka (4:5) dan telah melimpahi mereka dengan kasih karunia (4:6a). Untuk mendapatkan mereka, Allah menjadi manusia dan memberikan segalanya. Masakan mereka akan lebih memilih dunia daripada Dia? Soli Deo Gloria.
Photo by Hannah Busing on Unsplash