Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman
(2 Tim 1:9)
Doktrin pemilihan sejak kekal (dikenal dengan nama “predestinasi”) seringkali dipandang sebagai salah satu penyebab kemunduran dalam upaya pekabaran injil. Orang yang mempercayai doktrin ini diyakini tidak akan bergairah dalam memberitakan injil kepada orang lain. Predestinasi adalah kambing hitam dalam kemandekan misi.
Benarkah demikian? Khotbah hari ini memberikan sebuah jawaban yang sangat tegas: sama sekali tidak! Sebaliknya, doktrin predestinasi justru menjaga agar bara api pekabaran injil tidak padam.
Konteks 2 Timotius 1:9
Terjemahan LAI:TB bisa memberi kesan bahwa ayat 9 merupakan sebuah pemikiran yang baru, karena ayat 8 diakhiri dengan titik. Dari sisi kalimat Yunani, kesan ini sama sekali tidak muncul. Ayat 9 berisi serangkaian bentuk partisip yang mengarah pada Allah (lihat akhir ayat 8) sebagai subjek. Hampir semua versi Inggris dengan tepat memulai ayat 9 dengan kata ganti penghubung “yang” (who). Jadi, secara hurufiah ayat 8b-9a dapat diterjemahkan sebagai berikut: “…ikutlah menderita bagi injil itu oleh kekuatan Allah, yang telah menyelamatkan kita dan memanggil dengan panggilan kudus…”
Terjemahan di atas memperjelas hubungan antara ayat 7-8 dan ayat 9. Doktrin predestinasi di ayat 9 dimaksudkan sebagai dorongan agar Timotius memberitakan injil tanpa takut dan tanpa malu (ayat 7-8). Poin ini diungkapkan kembali oleh Paulus di ayat 12a “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu”. Dua hal ini, yaitu takut menderita dan perasaan malu, merupakan penghambat utama dalam pekabaran injil. Solusi bagi persoalan ini? Keyakinan terhadap doktrin predestinasi!
Mengapa ada perasaan takut? Banyak alasan. Dalam kasus Timotius, dia mungkin masih terbilang muda sebagai pemimpin, dan berada di tengah kultur kuno yang sangat mengagungkan rambut putih (bdk. 1 Tim 4:12). Dia juga mungkin kurang memiliki figur maskulin yang kuat. Imannya ditumbuhkan melalui nenek dan ibunya (2 Tim 1:5). Dalam banyak kasus, penderitaan merupakan sumber ketakutan terbesar: penolakan, kehilangan pertemanan dan keuntungan, keterpisahan dengan keluarga, dsb. Banyak orang tidak tahan dengan penderitaan (1:15) dan mencari kenyamanan duniawi (4:10).
Mengapa ada perasaan malu? Banyak alasan. Kultur Yahudi maupun Yunani-Romawi kuno memang tidak bersahabat terhadap berita injil. Bagi orang-orang Yahudi injil adalah batu sandungan, sedangkan bagi orang-orang Yunani-Romawi injil adalah kebodohan (1 Kor 1:22-23). Tidak jarang para pemberita injil dimasukkan ke dalam penjara dan diperlakukan sama dengan para pengacau dan penjahat. Beberapa orang merasa malu jika dipenjara atau memiliki kerabat/keluarga yang dipenjarakan karena injil (2 Tim 1:15-17).
Bagaimana doktrin predestinasi memberi manfaat bagi pekabaran injil? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan disediakan di bagian akhir khotbah. Untuk sekarang, marilah kita lebih dahulu menyelidiki beberapa poin penting tentang predestinasi.
Predestinasi: kasih yang memilih sejak kekal
2 Timotius 1:9 memang tidak menjelaskan semua aspek dari doktrin predestinasi. Pemahaman yang tuntas perlu dilandaskan pada teks-teks yang lain (Kis 13:48; Rm 8:29-30; 9:6-26; Ef 1:4-5, dsb). Walaupun demikian, 2 Timotius 1:9 menyinggung tentang beberapa poin penting seputar doktrin ini.
Pertama, predestinasi berkaitan dengan kekekalan. Frasa “sebelum permulaan zaman” (pro chronōn aiōniōn) terdiri dari tiga kata: pro (sebelum) + chronos (“waktu”) + aiōnios (“kekal”). Frase yang sama dan dalam konteks yang sama juga muncul di Titus 1:2 “berdasarkan pengharapan akan hidup yang kekal yang sebelum permulaan zaman sudah dijanjikan oleh Allah yang tidak berdusta”. Terjemahan yang lebih pas mungkin adalah “sebelum ada waktu”. Aspek kekekalan juga ditemukan dalam teks-teks predestinasi yang lain: “sejak semula” (Rm 8:29-30; Ef 1:5) atau “sebelum dunia dijadikan” (Ef 1:4).
Kedua, alasan predestinasi terletak dalam diri Allah. Salah satu kesalahpahaman populer tentang predestinasi adalah pemilihan secara acak. Allah dianggap melakukan pilihan tanpa pertimbangan apapun. Predestinasi diibaratkan seorang anak kecil yang harus memilih sebuah kelereng di antara begitu banyak kelereng di sebuah kantong hitam. Anggapan ini jelas menyimpang dari ajaran Alkitab. Sebagai Pribadi yang mahabijaksana, Allah pasti memiliki pertimbangan tertentu. Sebagai Pribadi yang mahatahu, Dia pasti mengenal setiap orang yang akan ada di muka bumi.
Teks kita hari ini menegaskan bahwa predestinasi “bukan berdasarkan perbuatan kita” (ou kata ta erga ēmōn). Jika pilihan ilahi didasarkan pada perbuatan baik manusia, tidak akan ada satu pun yang pantas untuk dipilih. Sejak kekekalan Allah secara aktif telah menetapkan untuk membiarkan dosa terjadi. Semua manusia pasti berdosa di dalam Adam (Rm 5:12-21). Tidak akan ada yang mampu berbuat baik seperti yang dituntut oleh Allah (Rm 1:18; 3:20, 23; 7:17-23). Pilihan Allah bukan didasarkan pada kebaikan manusia (Rm 9:6-26).
2 Timotius 1:9 juga mengajarkan bahwa predestinasi “berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri” (kata idian prothesin kai charin). Pemunculan kata “sendiri” (idian) merupakan sesuatu yang perlu digarisbawahi. Paulus bisa saja berkata “menurut maksud dan kasih karunia Allah” (kata prothesin kai charin tou theou) jika ia mau, tetapi bukan kalimat itu yang ia pilih. Kata idian merupakan sebuah bentuk penekanan bahwa alasan predestinasi benar-benar ada dalam diri Allah sendiri.
Kata “maksud” (prothesis) sebenarnya lebih tepat diterjemahkan “rencana” (Rm 8:28; 9:11). Allah tidak hanya “bermaksud”, tetapi sungguh-sungguh merealisasikan hal tersebut (Ef 3:11 “sesuai dengan maksud abadi, yang telah dilaksanakan-Nya dalam Kristus Yesus, Tuhan kita”). Untuk menandaskan bahwa rencana ilahi yang kekal ini tidak didasarkan pada jasa atau talenta orang-orang yang dipilih, Paulus menambahkan kata “kasih karunia” (charis). Jikalau keselamatan adalah anugerah, maka keselamatan bukanlah jatah atau upah. Ini murni pemberian Allah bagi orang-orang berdosa. Kita tidak pantas untuk menerimanya.
Ketiga, predestinasi pasti terlaksana. Dalam 2 Timotius 1:9 Paulus mengajarkan predestinasi secara terbalik. Artinya, ia memulai dari keselamatan (“yang telah menyelamatkan kita”), panggilan ilahi (“dan memanggil kita dengan panggilan kudus”), lalu mundur sampai pada rencana kekal Allah (“…maksud dan kasih karunia-Nya sendiri…sebelum permulaan zaman”). Urutan seperti ini bermanfaat untuk menunjukkan bahwa keselamatan orang percaya merupakan bukti bahwa rencana kekal Allah tidak gagal. Tidak ada seorang pun yang dapat diselamatkan tanpa panggilan khusus dari Allah. Tidak ada seorang pun yang menerima panggilan ini jika dia tidak lebih dahulu dipilih oleh Allah sejak kekekalan. Semua orang yang dipilih dan ditentukan sejak semula, juga pasti akan dipanggil, dibenarkan, dan dimuliakan (Rm 8:29-30). Rencana Allah tidak mungkin gagal (Ay 42:2; Yes 14:23), termasuk dalam hal pemilihan kekal.
Terakhir, predestinasi tidak terpisahkan dari kekudusan. 2 Timotius 1:9 menjelaskan bahwa Allah memanggil kita dengan “panggilan kudus” (klēsei hagia). Di tempat lain Paulus berkata: “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya” (Ef 1:4). Tujuan pemilihan dan penentuan kekal adalah supaya kita “menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya” (Rm 8:29).
Adalah sebuah kekeliruan yang besar dan fatal apabila predestinasi dijadikan dalih untuk berbuat dosa. Mentang-mentang sudah dipilih dan diselamatkan, seseorang boleh berbuat dosa semaunya. Toh keselamatan tidak mungkin bisa hilang. Opini semacam ini bukan ajaran Reformed. Theologi Reformed secara konsisten mengikuti dan mengajarkan kebenaran Alkitab bahwa predestinasi dan kekudusan hidup tidak terpisahkan.
Predestinasi dan pekabaran injil
Seperti sudah disinggung di awal, Paulus mengajarkan konsep predestinasi di 2 Timotius 1:9 dalam konteks pekabaran injil. Predestinasi bukanlah doktrin yang abstrak dan kering. Bukan pula terbatas pada diskusi intelektual. Ada banyak faedah praktis dari doktrin ini. Salah satunya berkaitan dengan pekabaran injil.
Manfaat ini diungkapkan secara gamblang di ayat 12: “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan”. Doktrin predestinasi menampilkan Allah sebagai aktor utama dalam pekabaran injil. Allah tidak bekerja secara sembarangan. Ia memiliki rencana kekal.
Jika Allah memang mempunyai rencana kekal, Dia juga berkuasa merealisasikan apa yang Ia sudah rencanakan tersebut. Pekabaran injil bukanlah sebuah pertaruhan yang tidak jelas. Peluang keberhasilan bukanlah 50-50. Siapa saja yang dipilih oleh Allah pada akhirnya pasti akan dipanggil dan diselamatkan. Tidak ada alasan untuk malu terhadap berita injil yang dipandang sebagai batu sandungan dan kebodohan. Tidak ada alasan untuk takut terhadap penolakan, tekanan, dan penganiayaan. Pada saat Paulus menghadapi begitu banyak tantangan dalam pemberitaan injil di Korintus, Allah mengingatkan dia bahwa ada banyak umat pilihan di kota itu yang perlu mendengarkan injil dan diselamatkan (Kis 18:9-10). Sekali lagi, pekabaran injil bukan sebuah pertaruhan, melainkan keniscayaan. Hasilnya sudah jelas di mata Allah.
Bukan hanya itu saja. Mereka yang sudah diselamatkan pun akan berada dalam keadaan baik-baik saja. Allah berkuasa memelihara mereka (2 Tim 1:12b). Sama seperti Paulus yang mengenal Allah dan menyandarkan diri sepenuhnya kepada-Nya (“aku tahu kepada siapa aku percaya, dan aku yakin”), demikianlah setiap orang pilihan. Kita percaya bahwa rencana Allah akan terlaksana. Dia yang berkuasa menyelamatkan kita. Dia juga yang berkuasa memelihara iman kita. Soli Deo Gloria.