Kasih Yang Berkawan Dengan Keadilan (Keluaran 34:4-6)

Posted on 06/08/2017 | In Teaching | Leave a comment

Mengasihi dengan benar merupakan tugas yang sukar. Tidak sulit untuk membuktikan hal ini. Tengoklah keluarga-keluarga di sekitar kita. Banyak orang tua kurang mengasihi dan memperhatikan anak-anak mereka. Di sisi lain ada banyak orang tua yang menggelontor anak-anak mereka dengan kasih sayang, tetapi tanpa peraturan dan teguran. Mereka memanjakan, bukan mengasihi dengan benar.

Tidak demikian dengan TUHAN. Kasih-Nya besar atas kita, namun bukan berarti keadilan-Nya diabaikan. Dia pengasih, tetapi tetap adil. Kasih-Nya berkawan dengan keadilan.

Teks kita hari ini menyediakan contoh konkrit tentang poin di atas. Pada saat bangsa Israel melakukan dosa yang begitu besar, yaitu menyembah anak lembu emas (Kel 32), TUHAN menunjukkan kasih sekaligus keadilan-Nya kepada mereka. Dia sempat akan membinasakan seluruh bangsa Israel (32:9-10), tetapi Dia akhirnya menyesali rencana itu (32:11-14). Tiga ribu orang Israel memang dihukum mati (32:28), tetapi sisanya tetap diantar TUHAN ke tanah perjanjian (32:33-34). TUHAN memang hanya akan mengutus seorang malaikat untuk menuntun perjalanan bangsa Israel selanjutnya (33:1-3), tetapi Dia juga yang akhirnya memilih untuk berjalan bersama mereka (33:15-17). Singkatnya, Allah selalu menunjukkan kepada bangsa Israel betapa Dia tidak ingin kekudusan-Nya diremehkan dan dilanggar. Keadilan-Nya menuntut adanya teguran keras, bahkan hukuman. Bagaimanapun, kasih-Nya tidak pernahgagal mengiringi keadilan itu.

TUHAN yang penuh kasih (ayat 6-7a)

Tidak sulit untuk menemukan bahwa di antara dua sifat TUHAN di teks ini – yaitu kasih (ayat 6-7a) dan keadilan (ayat 7b) – yang pertama mendapat sorotan lebih banyak. Sifat-sifat maupun tindakan ilahi yang menunjukkan kasih TUHAN diletakkan di depan. Jumlah kata yang digunakan pun jauh lebih banyak. Selain itu, kita juga perlu mengingat bahwa penampakan diri TUHAN di depan Musa merupakan kesediaan-Nya untuk mengabulkan permintaan Musa yang ingin melihat kemuliaan-Nya (33:18-23). Semua ini TUHAN lakukan karena Musa mendapat kasih karunia di mata-Nya (33:17).

Kasih TUHAN dinyatakan melalui seruan yang diucapkan sendiri oleh TUHAN (34:5b, 6a). Pengulangan nama “TUHAN” (34:6) menambah suasana keagungan selama penampakan diri ini.  Pengulangan ini juga dimaksudkan untuk menegaskan bahwa semua peristiwa di pasal 32-34 hanya dimungkinkan karena siapa TUHAN, bukan apa yang dilakukan oleh bangsa Israel maupun Musa. Bangsa Israel tetap ada dipimpin ke negeri perjanjian bukan karena keberanian suku Lewi yang membela kekudusan TUHAN (32:26-29). Bukan pula karena doa syafaat Musa (32:11-14; 33:12-17). TUHAN melakukan semua itu karena Dia memang mengasihi umat-Nya. TUHAN adalah aktor utama. Itulah sebabnya nama-Nya diulang dua kali: “TUHAN, TUHAN”.

Ada beragam kata dan ide yang dipakai untuk mengungkapkan kasih TUHAN kepada umat-Nya (ayat 6-7a): “Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya, yang meneguhkan kasih setia-Nya kepada beribu-ribu orang, yang mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa”. Sebagian penafsir menangkap sebuah chiasme di sini. Artinya, ada pola ABCB’A’. “Allah penyayang dan pengasih” sejajar dengan “yang mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa”; “panjang sabar” sejajar dengan “yang meneguhkan kasih setia-Nya kepada beribu-ribu orang”. Pusat dari chiasme ini adalah “berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya” (lit. “berlimpah kasih setia dan kesetiaan-Nya”).

Jika struktur di atas diterima, kita dapat melihat inti penekanan dalam bagian ini, yaitu pada “kasih setia”. Kata Ibrani ḥesed muncul dua kali (kontra LAI:TB “kasih” dan “kasih setia”). Pada pemunculannya yang pertama dibarengi dengan kata “kesetiaan” (’ĕmet). Posisinya pun di tengah-tengah.

Kata ḥesed seringkali dikaitkan secara erat dengan perjanjian (covenantal love). TUHAN yang sudah mengikatkan diri-Nya dalam sebuah perjanjian dengan umat-Nya terus-menerus berkomitmen untuk menjaga perjanjian itu dan mengasihi umat-Nya. Kasih-perjanjian inilah yang mendorong Dia untuk berbelaskasihan, panjang sabar, dan mengampuni kesalahan.

Kebesaran kasih setia TUHAN di bagian ini dipertegas dengan tiga hal. Yang pertama adalah “berlimpah”. Bukan hanya kata “kasih setia” diulang dua kali, tetapi pemunculannya yang pertama diberi tambahan “berlimpah”. Ini bukan kasih setia yang sekadarnya atau secukupnya, apalagi pas-pasan.  

Yang berikutnya adalah “kepada beribu-ribu orang”. Ribuan orang Israel telah mati sebagai hukuman atas penyembahan berhala yang mereka lakukan (32:28; 1 Kor 10:8). Bangsa Israel mungkin tengah menggumulkan peristiwa ini. Apakah TUHAN setia kepada perjanjian dan umat perjanjian-Nya? Iya! Kesetiaan-Nya terhadap perjanjian mengharuskan Dia untuk menghukum siapa saja yang tidak taat. Kesetiaan-Nya pula yang membuat Dia tidak membinasakan seluruh-Nya sehingga perjanjian tetap bisa dipertahankan. Bukankah jauh lebih banyak lagi yang tidak turut dihukum?  

Penegasan yang lain terhadap kebesaran kasih setia TUHAN juga terlihat dari pemunculan kata “kesalahan”, “pelanggaran”, dan “dosa” secara bersamaan. Semua kata ini dimunculkan seolah-olah TUHAN tidak ingin melewatkan satu kata pun yang berkaitan dengan ketidaktaatan. Apapun dosa kita, selalu ada pengampunan dari Dia. Dosa kita memang besar, tetapi lebih besar lagi kasih-Nya kepada kita.

TUHAN yang adil (ayat 7b)

Kedagingan kita mungkin berharap bahwa penyataan TUHAN akan berakhir di ayat 7a. Jika itu terjadi, ini akan menjadi sebuah penyataan yang begitu indah dan sempurna. Paling tidak bagi kedagingan kita. Tetapi, bukan itu yang TUHAN lakukan. Apa yang kita ingin dengar seringkali tidak sama dengan apa yang kita seharusnya dengar. Kasih TUHAN selalu dibarengi dengan keadilan-Nya. Itulah yang kita dapatkan di ayat 7b.

Kombinasi sempurna dari kasih dan keadilan ilahi inilah yang seringkali sukar untuk dipahami. Paling tidak, ada dua kesulitan di ayat 6-7.

Pertama, “yang tidaklah sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari hukuman” (ayat 7b, LAI:TB/NIV). Dalam terjemahan lain yang lebih tepat, “tidaklah sekali-kali membersihkan orang yang bersalah”. Kesulitannya terletak di sini: Bagaimana bisa TUHAN mengampuni orang yang bersalah (ayat 7a) tetapi Dia tidak mau membersihkan orang itu (ayat 7b)? Bukankah seharusnya seseorang yang diampuni juga dibebaskan dari keadaannya yang bersalah?

Cara terbaik untuk memahami ini terletak pada penggunaan Keluaran 34:7 di bagian Alkitab yang lain. Nabi Yoel (2:12-13) dan Nabi Yunus (3:10-4:2) pernah mengutip teks ini dalam konteks pertobatan yang membawa pengampunan. Siapa saja yang mengakui dosanya dan berbalik pada TUHAN pasti akan diampuni, karena TUHAN itu penyayang, pengasih, panjang sabar, dan berlimpah kasih setia-Nya. Dengan kata lain, pengampunan di ayat 7a adalah untuk mereka yang bertobat, sedangkan ayat 7b untuk mereka yang tidak mau bertobat.

Cara lain adalah membedakan antara pengampunan (kasih) dan penghukuman (keadilan). Pertobatan pasti membawa pengampunan, tetapi hal itu tidak berarti bahwa hukuman ilahi atas kesalahan itu selalu dihapuskan. Contoh yang paling jelas adalah perzinahan Daud dengan Betsyeba (2 Sam 11-12). Dosanya diampuni karena dia mengakuinya (12:13), namun hukuman TUHAN tetap terus berlangsung (12:10, 12-14). Pemikiran seperti inilah yang melandasi terjemahan NIV maupun LAI:TB “tidaklah sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari hukuman”.

Kedua, “yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya dan cucunya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat” (ayat 7b). Kita mungkin merasa bahwa hukuman ini tidak adil. Mengapa seseorang harus menanggung kesalahan orang lain? Lagipula, Yehezkiel 18:20 mengajarkan: “Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya”.

Kunci untuk memahami ini terletak pada Yehezkiel 18:19. Di sana dikatakan: “Tetapi kamu berkata: Mengapa anak tidak turut menanggung kesalahan ayahnya? Karena anak itu melakukan keadilan dan kebenaran, melakukan semua ketetapan-Ku dengan setia, maka ia pasti hidup”. Dengan kata lain, semua keturunan yang menyerahkan diri-Nya kepada TUHAN di dalam kebenaran tidak akan menanggung kesalahan dari orang tua atau kakek-neneknya. Sebaliknya, hukuman akan tetap ada bagi mereka yang tidak mau bertobat. Bagi mereka yang berada di dalam TUHAN, semua kutukan yang bersifat keturunan (misalnya perjanjian tertentu dengan roh-roh jahat) tidak akan mengikat lagi.

Semua penjelasan di atas menunjukkan bahwa kasih TUHAN tidak dapat diceraikan dari keadilan-Nya. Dia selalu siap memberikan pengampunan, tetapi atas dasar pertobatan. Kasih-Nya dibungkus dengan kebenaran. Tidak ada anugerah murahan yang memberi keleluasan bagi seseorang untuk berkanjang dalam dosa. Keseimbangan yang sempurna antara kasih dan kebenaran ini terlihat jelas pada saat inkarnasi Yesus Kristus ke dalam dunia. Yohanes 1:14 mengatakan: “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran”. Kematian-Nya di atas kayu salib juga menyatakan keseimbangan yang sama. Roma 3:24-25 mengajarkan: “Oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus. Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya. Hal ini dibuat-Nya untuk menunjukkan keadilan-Nya”. Marilah kita menghargai kasih Tuhan kepada kita dengan cara menghormati kekudusan dan keadilan-Nya. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko